12. Main ke Lapangan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Reading, hope you enjoy this part ya🥰

🍡🍡🍡🍡🍡

Caesar menuruni tangga rumahnya sekitar pukul 4.30 sore. Suasana rumahnya sepi, yang ada di bawahnya hanya istri dan anak perempuannya. Kalau si sulung ngga perlu dicari, dia lagi mengurung diri di kamar untuk belajar karena senin lusa ada ulangan langsung dua. Yang justru jadi topik pencarian ayah tiga anak itu adalah si anak tengah a.k.a kembarannya a.k.a Ade yang sudah mulai mau dipanggil 'Mas' tapi tetap dengan embel-embel Ade.

"Ayaaaah ..." panggil Ceden yang sudah excited melihat Ayahnya yang baru bangun dari tidur siangnya. Iya, karena hari Sabtu adalah hari istirahat untuk Caesar.

"Haii Dede," ucap Caesar menghampiri si bungsu lalu mengusap puncak kepalanya.

"Ayah, Dede dua suap lagi maemnya, nanti Ayah antelin main ya," pinta si bungsu.

Sebenernya tadi temen-temennya Ceden sudah datang ke rumah untuk jemput buat jalan bareng ke lapangan tempat mereka main, tapi berhubung tadi Dede bangun bobo siang mengeluh lapar dan Buya sudah keburu di dapur dan cemplung-cemplungin bahan masak nasi goreng mentega jadilah dia ngga boleh pergi main sebelum makannya dihabisin.

"Loh, kan nanti mau main sama Abang Asraf, sekarang mau main kemana?"

"Ke Lapangan, kaya biasa itu looh," jawab Dede dengan nada yang sedikit meninggi karena merasa dia dilarang main sama Ayahnya, sedangkan tadi dia sudah keburu janji akan menyusul teman-temannya.

"Dede kenapa musti ke lapangan?" tanya Caesar, kali ini kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah yang masuk ke jarak pandangnya. Tetap, ia tidak menemukan kembarannya.

"Kok Ade boleh? Dede engGGAAAA," protes Ceden. Si bungsu ini sangat bersumbu pendek ya, jadi ada sedikit hal yang berjalan ngga sesuai keinginannya, maka itu akan menyulut emosinya.

"Heeeeh, jangan marah-marah, ngomongnya pelan-pelan," ucap Buya lembut mengingatkan si anak perempuan satu-satunya yang memang sifatnya lebih kaya laki-laki karena dikelilingi saudara laki-laki.

Merasa sebal dengan Ayahnya, Dede berjalan mendekat ke Buyanya, masuk ke antara dua paha Buyanya dan menyender ke bahu Buyanya – karena posisinya duduk di kursi yang cukup rendah. "Buya ... Ayah kok gitu, Ade boleh tapi Dede enggaaa..." ucapnya sambil manyun-manyun minta pembelaan dari sang Buya.

"Napa Ayah, kok Dedenya ngga boleh?" ucap Deana menatap sang suami, lalu kembali menatap anak perempuannya. "Gitu nanya ke Ayahnya."

"Ade kan mainnya di rumah?" ucap Ayah, namun ia sendiri kurang yakin dengan perkataannya. Sekali lagi ia mengedarkan pandangan namun tidak mendapat apa yang ia cari, ia sedikit berjalan ke arah taman belakang siapa tau bisa mendengar suara Aaron, namun nihil.

Ia kembali ke tempatnya, memandang bingung istri dan anak perempuannya yang ikut-memandangannya bingung. "Ade ... Eh, Mas Ade mana?"

"Main ke lapangan," jawab Dede cepat dan sedikit ketus, lalu ia kembali manyun.

"Loh? Sama siapa? Abang kan di atas lagi belajar,." Caesar mulai kuatir.

Caesar, secara sadar, ngga pernah melepas anak-anaknya main sendiri. Kalau main di lapangan ya hari senin sampai jumat karena tempat rumah makan istrinya persis di seberang lapangan, jadi dia ngga pernah takut. Kalau weekend begini, minimal para anak kecil ini main di lapangan kalau Abangnya juga ikut main, jadi main sekalian mantau adek-adeknya.

"Ya sama temen-temennya lah, Ade kan juga punya temen-temennya sendiri," jawab Buya.

Iya, meskipun Aaron ngga suka bersosialisasi dan ke sekolah ketemu banyak orang adalah suatu siksaan baginya, tapi dia masih punya temen kok, walaupun ngga sebanyak temen-temen Abang dan Dedenya.

"Kesananya sendiri?" tanya Caesar yang langsung bergegas kembali ke kamarnya.

Buya dan Dede yang ditinggal di ruang makan bingung, namun istri dari Caesar itu paham kalau suaminya panik dan mau nyusul ke lapangan.

"De ... Ayo Dede pake sendalnya, itu Ayah mau ke lapangan."

Dede bisa pakai sendal sendiri, tapi waktu make sendal itu dia harus pegangan sama Buyanya.

Disaat Buya dan Dede berjalan ke arah depan, Ayah sudah kembali turun dengan membawa kunci motor. "Kamu gimana sih, kamu kan Ibunya, masa bisa ngebiarin anak main ke lapangan sendiri tanpa diawasin."

Buya sudah biasa mendengar omelan kecil sang suami. Ya emang begitu kelakuannya. Kalau urusan anak pasti dia lebih banyak disalahin, tapi kalau dia yang berulah, suaminya akan menyalahkan diri sendiri karena jadi suami yang kurang baik.

"Yee ... Orang tadi Ayah yang bolehin Ade main," ucap Buya santai.

Karena sudah biasa diomelin sama suami urusan anak, Buya sudah ngga terlalu bawa perasaan dumelan suaminya. Eits, ini bukan ngga menghargai ucapan suami, tapi ini yang disebut sudah beradaptasi dengan pasangan hidup kita. Karena di pernikahan yang hampir menginjak 14 tahun ini, kalau hal kecil begini aja masih di bawa perasaan, dikit-dikit sakit hati, ngga akan bertahan sampai sejauh ini.

"Aku bolehin karena kukira main di rumah," jawab Caesar menaiki motornya. "Coba Buya WA Tari, tanyain ada Ade ngga di lapangan."

"Tari lagi balik ke rumah orang tuanya, warung kosong," jawab Buya.

"Aduuuh," keluh Ayah lagi.

"Ayaaah, Dede udah ledi," ucap Ceden yang mencairkan suasana.

Buya mengangkat kedua ketek bungsunya dan menaikan ke bagian depan motor matic yang digunakan suaminya.

"Kamu di rumah aja ya, jagain Daffin," ucap Caesar serius. "Sekalian bu, tolong bukain pagernya."

"Yes, Sir!"

🍡🍡🍡

Caesar bisa bernafas lega karena ia sudah melihat kembarannya di lapangan. Tanpa ba-bi-bu, tanpa melihat kondisi sang anak yang sedang asik bermain dengan teman-temannya, ia langsung memanggil anaknya.

"Ade tadi kesini sama siapa, Nak?" tanya Ayah lembut.

"Sama temen-temen," ucap Aaron sambil menunjuk kedua temannya yang tadi jalan bareng dia.

Ayah menghembuskan nafasnya. Kedua tangannya digunakan untuk menangkup wajah sang anak dua detik, lalu ia mengusap puncak kepala Aaron.

"Ade ... besok-besok kalo mau main ke lapangan, bilang sama Ayah dulu ya."

Aaron bingung dibilangin begitu. "Kan tadi udah bilang."

"Iya, Ade kan bilangnya mau main, Ayah kira Ade mau main di rumah," jawab Ayah.

"Enggaaa." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Ade.

Caesar mengangguk. Dia tak ingin mengganggu waktu anaknya main terlalu lama. Ia berdiri dan menunjuk ke tempat usaha istrinya. "Ayah tunggu Ade sama Dede main disitu ya."

Aaron mengangguk pelan. Saat ia melihat di tempat Buyanya ngga ada orang, dia berbisik ke Ayahnya, "Ayah, tapi temen-temen yang lain ngga ada Ayahnya. Ayah it's oke?"

"Ayah oke kok," jawab Caesar cepat.

Ia paham maksud anaknya. Selama ini kalau dia dan teman-temannya main ada istrinya yang menunggu bersama ibu-ibu lainnya, tapi kali ini ia harus sendiri menunggu dua buah hatinya main. Ngga apa-apa, lebih baik dia nunggu sendiri disitu, daripada dia cuman nunggu di rumah dengan rasa kuatir.

"Udah, Ade main lagi gih sama temen-temennya, Ayah tunggu disana ya."

"Iya Ayah ... Bye Ayah." Aaron melambaikan tangannya ke Ayah dua kali, lalu berbalik badan karena mau lanjut main bola dengan teman-temannya.

Caesar berjalan ke rumah makan istrinya. Langsung ia menghubungi istrinya dengn mode video call, dering pertama langsung diangkat.

"Ada kan anaknya? Panikan seeeeh," ledek Buya, bahkan sebelum Ayah bilang 'halo'.

"Iya ada untungnya. Bu, kamu tuh ngga tau paniknya aku," cerita Ayah kepada sang istri. "Aku kan ngga mau kehilangan."

"Iya-iya paham," jawab Buya lebih santai, nadanya kali ini ngga ngeledek lagi. "Ya udah pulang atuh, kan anaknya udah ketemu."

"Engga, aku nanti pulang bareng anak-anak, aku nungguin mereka main di tempat kamu," ia menggerekan ponsel pintarnya untuk menunjukkan posisinya yang lagi duduk di kursi depan rumah makan istrinya.

"Aduh duh, posesif amat sih jadi Ayah..."


🍡🍡🍡🍡🍡

Coba ceritain tentang momen kalian dan ayah kalian yang cukup berkesan😁

Dear Mocci 1...

Dear Mocci 2...

Dear Mocci 3...

Dear Ayah Mocci...

Dear Buya Mocci...

🦋10.04.2022🦋
Ta💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro