5. Pinces

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haiiii WKWKWKK Aku kembali setelah 3 minggu ngga update hihihih😂😂

Tadinya mau update minggu lalu, tapi laptop minta diupdate, dan seminggu ini full WFO jadi pulang-pulang udah tepar..

Mohon dimaklumi dan dimaafkan ya🙏

🍡🍡🍡🍡🍡

Sepertinya yang pernah diceritakan dulu oleh Deana bahwa perumahannya terdiri dari tiga cluster, yang mana Cluster 1 atau cluster yang paling dekat dengan jalan raya itu kebanyakan kost-kost-an. Di cluster 1 tersebut ada beberapa rumah yang menjadi tempat kost polisi. Dari beberapa polisi itu, ada 2 polisi yang menjadi langganan rumah makan Deana.

Polisi tersebut datang saat Deana sedang duduk santai di salah satu meja pelanggan sambil membuka buku tulis milik anak bungsunya. Jadi, karena sebentar lagi anak tengahnya mau masuk sekolah jadi suami diikuti anak sulungnya itu sok ide untuk kasih PR harian. Tapi karena yang dikasih PR harian cuman Ade – yang merasa jam mainnya jadi lebih berkurang dibanding dede – mulailah protes buat Dede juga dikasih PR harian. Dan jadilah Ade dan Dede dapet PR harian, yang setiap harinya pelajarannya beda-beda. Kadang matematika, bahasa inggris, menulis huruf dan angka, tulis nama hewan, menggambar, mewarnai, pokoknya banyak deh. Kebetulan hari ini PR-nya mewarnai, yang mana itu adalah kelemahan Dede.

"Siang Teh..."

"Siaaaang," jawab Deana ramah. "Hari ini mau yang prasmanan atau butuh menu nih?"

"Prasmanan aja, Teh, udah agak kesiangan," jawab salah satu polisi.

Deana mengangguk sambil tersenyum. Lalu ia kembali fokus ke anak bungsunya yang sama sekali ngga terlihat berminat dengan gambar kelinci besar yang ada di depannya.

"Deee, ini warnain," ucap Deana sambil menyodorkan crayon.

Bukannya mengambil crayon tersebut, Dede Ceden malah membalik badannya dan memilih menonton TV yang tergantung di dinding rumah makan itu. "Dede ndaaa..."

"Dede ngga suka mewarnai ya?" tanya Deana.

Ceden mengangguk, namun dengan posisi yang masih sama, membelakangi Buya-nya sambil fokus ke layar TV.

"Dede sukanya belajar apa?" tanya Deana.

Ceden membalikan badannya, dengan memamerkan giginya yang sudah hampir penuh ia menjawab, "Maiiiin."

Kening Deana berkerut. "Deee, jangan yang main doooong. Dede sukanya belajar apa? Berhitung? Menulis? Cerita? Bahasa Inggris? Apa de?"

"Maiiiin. Dede suka main henpon Buya," jawab Ceden santai.

"Ihh, jangan main henpon terus. Dede harus ada 1 pelajaran yang disuka dong, biar nanti Buya minta Ayah bikinin PR yang Dede suka aja."

"Main henpon aja," jawab Ceden tetap berfokus pada yang dia suka a.k.a main handphone.

Deana menarik nafasnya dan membuangnya perlahan. Dari ketiga anaknya, cuman Ceden yang belum ketauan minatnya dimana. Kalau si sulung keliatan minat di bahasa dan hitung-hitungan dari kecil, dan ngga lupa hobi joget-jogetnya. Yang tengah udah keliatan banget suka yang menggambar dan mewarnai, sampe-sampe sering dimanfaatin Abangnya. Nah yang paling kecil ini membingungkan, selain ngga pernah minta beliin mainan jadi kurang tau cenderung milih mainan kaya gimana, dia cuman suka minta mie tiap malem.

"Tapi dede musti suka 1 pelajaran, coba tanya sama Pak Polisi tuuuh," ucap Deana. "Tanyanya gini, pak pol emangnya dede harus suka belajar, coba gih tanya."

Disuruh begitu, Ceden yang berani ngomong sama orang lain – ngga kaya Daffin dan Aaron – pun langsung turun dari bangkunya dan berjalan ke dua polisi yang lagi makan itu.

"Papol, Ceden nda suka bajal, sukanya main henpon." Ceden langsung membuat pernyataan, bukannya pertanyaan seperti yang diminta oleh Buyanya.

"Ceden juga harus suka belajar. Main handphone-nya sebentar aja."

"Iya tuh Pak Pol, marahin aja Ceden-nya, ngga suka belajar katanya," Buya mengompori.

Ceden langsung melempar lirikan sinis ke Buyanya yang ikut-ikutan, dan bahkan bukan cuman ikut-ikutan, malah minta dia dimarahin lagi. Karena itu, balita perempuan ini memilih duduk disebelah para polisi dibanding balik ke Buyanya untuk kerjain PR-nya.

🍡🍡🍡

"Bye-bye Om Poooool, beso' man-man lagi yaaa," ucap Ceden sambil melambaikan tangan ke kedua polisi tadi.

Deana melotot mendengar ucapan bungusnya itu. Bisa-bisanya dia nyebut kedua polisi berbadan tinggi dan tegap itu dengan sebutan 'ompol'. Ia langsung menghampiri si bungsu dan menutup mulut dengan tangannya. "Dede ... jangan bilang begitu, nanti ditangkep loh sama Pak Polisi. Itu Pak Polisi, kalo ompol itu dede tiap pagi."

Namun dengan cepat Ceden menggeleng dan melepaskan tangan Buyanya dari mulutnya. "Nda Buyaaah, itu Om Pol. Om Pol temen dede, dede nda ditangkap."

"Kenapa panggilnya ompol? Itu kan Pak Polisi."

"Itu tadi masih om-om cenah, jadi dede panggil Om Pol..." Ceden berusaha menjelaskan.

Dan otak Deana yang memang berjalan cukup lambat baru mencerna, Om Pol itu Om Polisi bukan ompol pipis di celana.

"Ooooooohhh, ih dede, Buya kira ompol-nya tuh pipis di pempers loh..."

Ceden menggeleng lalu pergi, ia masuk ke dalam kamar tempat ia biasa tidur siang, dan melihat Ade dan juga Mas Abi masih bobo siang dengan nyenyak. Dia mulai manyun karena kenapa dia doang yang bobo siangnya udah selesai, padahal mulai bobo siangnya barengan.

Ceden mulai naik ke kasur itu lagi. Ia mulai mencubit pipi Ade supaya bangun, tapi bukannya bangun yang ada tangannya malah ditepis. Ia beralih ke Mas Abi, mencubit pipinya, dan kali ini Mas Abi bereaksi.

"Apa sih dede!"

"Eh, kok malah? Mas Abi ini udah musti bangun," ucap Ceden dengan mata melotot namun tetap menampilkan wajah polos tanpa rasa bersalahnya itu.

Mas Abi melihat ke arah Ade yang masih memejamkan mata, lalu beralih memandangi Ceden yang tetap pada posisinya yaitu ngeliatin dia cuman tangannya udah berubah posisi di ketek sambil garuk-garuk keteknya.

Fyi, Ceden selalu pake baju ketekan a.k.a kutang kalau siang karena dia lumayan gampang keringetan jadi kalo pake baju ketutup cepet basah.

"Itu Ade masih bobo," ucap Mas Abi.

"Ntal lagi bangun," ucap Ceden. Ia menarik tangannya yang habis garuk ketek, dan langsung diletakkan tepat di hidung Ade.

Ade langsung membuka mata dan kurang dari 2 detik, ia sudah menangis karena tidurnya diganggu sama Dede. "Buyaaaahhhh..."

"Kan, bangun kan," ucap Ceden sambil memamerkan giginya ke Mas Abi. "Mas Abi bangun, bantuin Dede wana-wana yok."

Mendengar teriakan histeris Ade, Deana langsung bergegas. Dia bisa tau siapa yang bisa bikin si anak tengah seheboh itu, tanpa perlu melihatnya atau bertanya apa yang terjadi. Pokoknya kalau siang-siang yang bikin ulah pasti Dede, kalau malam baru Ade yang bikin ulah untuk cari perhatian abang.

"Dede apain Ade?" tanya Deana sambil memeluk Aaron.

Ceden mengangkat bahunya, pura-pura ngga tau.

"Mas Abi?" Deana beralih pandangan ke anak adiknya itu.

Mas Abi ingin menjawab, namun pelototan Ceden bisa ia lihat dari posisi tidurnya. Ia menutup mulutnya kembali.

"Dede..."

"Dede kasih bau-bau ke Ade, Buya..." ucap Aaron, karena melihat Dede dan Mas Abi enggan untuk buka mulut.

"Ndaaa..." Ceden melotot, ngga terima. "Ketek Dede nda bauuuuu. Nda mau kan Mas Abi?" tanyanya sambil mengangkat kedua tangannya.

Deana mix feeling saat itu. Di satu sisi ia tau ketek si bungsunya suka bau asem dan dia kasian sama Aaron, tapi di sisi lain bau asemnya itu yang selalu dicari dia tiap malem. Bahkan dia suka dengan sengaja buka ketek anaknya buat dicium-ciumin. Ini bukannya jorok ya, tapi pasti ibu-ibu begitu deh.

Deana mengelus Aaron, lalu mengusap kepala dan rambutnya. "Ade ... Ade suka mewarnai kan? Kan hari ini PR-nya mewarnai, Ade mewarnai gih biar ngga bete lagi."

Bibir manyun Aaron langsung ditarik dan berubah menjadi senyuman. Ia langsung bersemangat untuk turun dari kasur dan pergi ke taman belakang untuk mewarnai, diikuti Ceden yang menarik tangan Mas Abi untuk bantuin dia mewarnai.

"Ayo Mas Abi, nanti Mas Abi dimalahin Ayah loh kalo ngga bantuin Dede. Dede kan pinces, you know."

🍡🍡🍡🍡🍡

Abang ngga ada karena Abang sekolah ya😂

Dear Mocci 1...

Dear Mocci 2...

Dear Mocci 3...

Dear Sepupunya Mocci ...

🦋17.10.2021🦋
Ta💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro