8. Daisuki, Hime-chan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hime-chan."

Aku merasakan pundakku ditepuk dan seseorang memanggil namaku. Aku menoleh ke samping. Ternyata Kento. Dia berdiri dan memamerkan senyumannya yang—menurutku—manis.

"Oh, Ken? Ada apa?"

Kento tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia duduk di kursinya yang berada di depanku.

"Pulang sekolah," dia menggantung ucapannya, membuatku mengerutkan kening tanda bingung, "mau menemaniku ke suatu tempat?"

Astaga.

Aku mengangguk. "Baiklah. Tapi ... aku setuju bukan berarti aku mau menemanimu, ya? Aku hanya kasihan."

Kento tersenyum, tangan kirinya mengusap pelan puncak kepalaku. "Sampai bertemu di gerbang sekolah."

Dan untuk kesekian kalinya...

...aku tersipu akan perlakuannya.

Aku mendecih pelan, berusaha menutupi wajahku yang merona. "Kau ini ... kita bahkan sekelas dan bertetangga. Kau masih mengucapkan 'sampai jumpa'? Haha ... lucu sekali Yamazaki-san." Aku tertawa datar.

Dan Kento hanya tersenyum.

***


"KENTO-SAN!"

"KYAAAA~! KENTO-KUN!"

"KENTO-KUN, PULANG BERSAMAKU, YA?"

"YAMAZAKI-KUN, AKU MENYUKAIMU!"

Aku memutar bola mataku malas. Telingaku terasa panas mendengar teriakan-teriakan dari fangirls Kento. Ya, memang setiap hari aku selalu mendengar teriakan tidak jelas dari fans Kento. Tapi, tetap saja itu membuatku kesal! Apa mereka tidak tahu jika Kento menyukai seseorang, huh? Dan orang itu adalah...

"Hime-chan!"

...aku.

Bu-bukannya aku terlalu percaya diri atau apa. Ta-tapi ... dari gerak-gerik Kento saja aku sudah bisa melihat jika dia menyukaiku. Sahabatnya sendiri. Dan ... dan ... dan ... bukan berarti aku juga menyukainya!

Eh? Apa aku baru saja bilang—

Ugh! Sudahlah. Lupakan!

Aku merengut saat Kento sudah berdiri di hadapanku setelah berhasil keluar dari kerumunan gadis-gadis penggila lelaki di depanku.

"Haahh ... Haahh ... Maaf," ucapnya dengan napas tersengal-sengal.

"Tidak apa."

Dia tersenyum dan itu membuatku merona—lagi—.

"Kenapa tersenyum? Bukan berarti aku memaafkanmu, Ken!"

Aku berjalan mendahului Kento dan aku mendengar sahabatku itu terkekeh pelan. Ugh! Aku tidak peduli!

Tak lama, Kento sudah menyusulku dan berjalan di sampingku. Aku menatapnya heran. Pasalnya, sejak tadi dia terlihat sedang menahan tawa. Memang ada yang lucu, huh?

"Kenapa wajahmu seperti? Aku bertanya bukan berarti aku ingin tahu!" ucapku ketus.

Akhirnya tawa lelaki yang menyandang status 'sahabat'-ku meledak dengan sempurna. Ia memegang perutnya dan kedua matanya sedikit berair.

Hei, aku tidak tahu apa yang lucu disini!

Aku memandang Kento dengan wajah super datar. Dan hal itu berhasil membuat Kento berhenti tertawa. Yaa ... walaupun dia masih sesekali tertawa.

"Kau lucu."

Blush!

Dua kata. Tapi, berhasil mengacaukan ritme jantungku. Dapat di pastikan jika wajahku memerah entah sudah berapa kali hari ini. Aku membuang pandanganku darinya agar Kento tidak melihat jika aku merona karena ucapannya.

"Kau tahu, kau lucu, Hime-chan."

Tolong jangan ulangi perkataanmu, Baka Kento!

Aku diam. Hingga...

"Memangnya kau tahu aku akan mengajakmu kemana, hm?"

...aku mematung karena ucapannya.

Skakmat!

Aku mengerucutkan bibirku dan mengembungkan kedua pipiku. Aku tidak mau mengakui jika aku tidak mengetahui tempat yang akan Kento kunjungi karena lelaki ini memang tidak memberitahuku kemana kami akan pergi.

Ugh! Menyebalkan!

"Baiklah. Baiklah. Ayo!" Kento menarik tanganku dan berjalan kearah mobil berwarna hitam yang berada di depan gerbang sekolah. Itu artinya, kami berdua memutar balik langkah kami.

Kento memersilakanku untuk masuk terlebih dulu lalu disusul oleh dirinya yang duduk di sebelahku.

"Jalan."

"Baik, Tuan Muda."

***

Aku menatap Kento tidak percaya. Untuk apa dia membawaku kesini? Aku memang sudah biasa ke tempat seperti ini bersama keluargaku maupun bersama Kento sendiri atau bersama keluarga Yamazaki, tapi aku selalu mengenakan pakaian selain seragam sekolah. Dan hari ini kami berdua pergi ke tempat ini dengan masih mengenakan seragam sekolah.

"Ken?" Aku mendelik.

Kento menatapku polos dan rasanya aku ingin meremas-remas wajahnya. Aku membutuhkan jawaban! Bukan tatapan polos yang terkesan menggemaskan seperti itu. Argh!

"Ayo."

Dia meraih tanganku lalu menggenggam jemariku, lantas membawaku ke dalam tempat ini. Tidak menghiraukan tatapan-tatapan aneh yang ditujukan pada kami berdua dari orang-orang yang ada di sini.

"Ken!" Aku membentaknya setelah kami berdua duduk berhadapan dan terhalang sebuah meja berbentuk persegi panjang.

"Ada apa, Hime-chan?"

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu!"

"Hm ... apa yang ingin kau tanyakan?"

Aku memutar bola mataku lalu menatapnya tajam. "Untuk apa kita ke sini? Maksudku, kita pergi ke restoran mewah seperti ini dengan seragam sekolah yang masih menempel di tubuh kita. Kau gila, huh?"

Kento menautkan kedua alisnya. "Memangnya ada yang salah?"

"Ada!" Aku menggebrak meja—refleks—dan membuat beberapa pengunjung mengarahkan pandangannya kearah kami.

"Gomen nasai." Kento sedikit menundukan kepalanya dan pengunjung-pengunjung tadi sudah tidak melihat kearah kami lagi.

Aku mendengkus, bersiap untuk menyemprot Kento lagi. Tapi, beruntunglah Kento. Seorang pramusaji datang dengan membawa buku menu kearah kami.

"Sama," ucapku saat Kento hendak menanyakan pesananku.

Pramusaji itu mengangguk paham dan melangkah pergi. Namun, ia sempat tersenyum malu-malu pada Kento dan itu sukses membuatku meradang.

Bukan berarti aku cemburu atau apa!

Posisi duduk Kento berubah. Kini dia berada di sampingku. Maksudku, di kursi yang berada di sisi lain meja yang kami tempati dan posisinya tidak lagi berhadapan denganku.

Ugh! Bagaimana aku menjelaskannya? Intinya, posisi duduk dia berubah.

Kento menyerahkan selembar kertas dengan pola menyerupai panda padaku. "Ini. Dibuka ketika sampai di rumah. Jangan sekarang."

Aku mengambil kertas itu tanpa mengatakan apapun. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing hingga seorang pramusaji membawakan pesanan kami dan meletakannya di atas meja.

Pramusaji itu pergi setelah aku dan Kento mengucapkan terima kasih. Untunglah pramusaji kali ini bukan seorang perempuan.

Aku menyesap hot chocolate hingga menyisakan setengahnya. Sesekali aku melirik Kento yang sangat menikmati minuman di tangannya.

Lagi. Kami diselimuti keheningan.

Aku masih memegang kertas tadi tanpa berniat memasukannya ke dalam tas sekolah.

Kento menopang dagunya dengan tangan kanan yang ia letakkan di atas meja, kemudian menatapku lamat-lamat. Dan aku salah tingkah dibuatnya. Menyebalkan!

Aku sedikit menunduk. "A-ada apa? Ke-kenapa kau melihatku seperti itu?"

Kenapa aku gugup?!

"A-aku bertanya bukan berarti aku—"

"Manis."

Aku diam. Kento memotong ucapanku. Wajahku terasa panas. Tidak, bahkan seluruh tubuhku terasa panas hanya karena satu kata yang meluncur dari bibirnya; Manis.

"Kau benar-benar manis dengan wajah merona karena malu dan sifat tsundere-mu itu, Hime-chan," lanjutnya.

"Aku tidak tsundere!" sanggahku.

Dia tersenyum miring. Dan ... sialan! Dia terlihat berkali-kali lebih tampan dari biasanya.

Oh, Kami-sama, selamatkan jantungku!

"Berhentilah menatapku seperti itu! Bu-bukan berarti aku malu atau apa!"

"Aku tidak mengatakan kau sedang malu, Hime-chan," ucap Kento dengan sangat santai.

Wajahku semakin memerah. Kento baka! Baka! Baka! Baka!

"Daisuki, Hime-chan."

Deg.

Deg.

Deg.

Suaranya sangat lembut. Jantungku semakin berpacu dengan tidak normal. Aku sudah bisa menebaknya. Aku juga sudah tahu jika Kento menyukaiku. Tapi, mendengarnya secara langsung seperti ini...

...aku tidak tahu harus bersikap bagaimana!

"Hime-chan?"

Aku berucap dengan sangat lirih, "baka!"

=OMAKE=

"Apa isinya?" Aku membuka kertas dengan pola panda yang Kento berikan tadi.

Ah, omong-omong soal pernyataan Kento tadi, aku tidak menjawabnya sama sekali. Aku bingung.

Kenapa aku harus bingung? Aku sendiri tidak tahu. Aku hanya takut semuanya berubah jika tadi aku menjawab pernyataannya.

Dan ternyata kertas yang ku pegang adalah sebuah surat. Aku mulai membaca kata demi kata yang tertulis disana, membuatku membulatkan kedua netra hazel-ku

Aku mengambil secarik kertas berukuran 10cm X 5cm yang tadi sempat terjatuh ke lantai saat aku membuka kertas—surat—tadi.

"Festival Hanabi?" []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro