26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Diajarin itu adeknya," sindir salah satu perawat kepada Valentina saat dia mengambil bak instrumen berisi beberapa macam injeksi untuk jadwal suntik siang. "Masa jadi ners ilmunya diambil sendiri."

Si kampret ... kapan aku pelit ilmu! rutuk Valentina dalam hati. 

"Kayak minggu kemaren ada tuh mahasiswa dari kampus lain, adeknya enggak diajarin injeksi malah didiemin buat cari muka," ejek perawat itu seakan Valentinalah yang punya dosa sebesar gunung. 

"Kan bukan saya, Mbak," elak Valentina membela diri tak mau nama baik dan sucinya tercoreng karena ulah oknum dari kampus lain.

"Ih, enggak tahu ya, pokoknya ners kloter kemaren nyari gara-gara sama saya," kata perawat itu dengan nada ketus. "Tuh yang lain ambil tensi sambil dicatat di buku. Pokoknya tugas dibagi ya."

Valentina mengambil napas sebanyak mungkin, bila perlu dia ingin mengambil masker oksigen dan menancapkannya ke saluran oksigen sentral yang ada di kamar pasien agar pikiran dan suasana hatinya tak keruh. Manalagi jadwal jaga hari ini pagi dan jam di dinding masih menunjukkan pukul sebelas. Artinya masih ada tiga jam lagi dia harus menebalkan kuping jikalau disindir lagi.  

"Iya, Mbak," jawab Valentina menahan sabar lalu memandangi dua mahasiswa yang notabene adalah adik tingkat semester tiga.

Ini tidak enaknya menjadi ners sebagai kasta tertinggi dalam dunia mahasiswa keperawatan. Di tempat mana pun mereka berada akan selalu menjadi panutan merangkap pembimbing kedua setelah perawat senior. Padahal sebagai manusia yang belum sepenuhnya berkompeten dalam bidang medis mereka juga kadang lupa. Apalagi di hadapan Valentina adalah anak-anak semester tiga yang sebagian besar berbekal hafalan dari buku untuk melakukan tindakan ke pasien. Itu pun kalau ada yang tidak ketiduran di kelas, pikirnya. 

Tapi, setidaknya Valentina bisa sedikit bernapas lega bertemu mereka di ruang rawat inap. Kalau dia masih berada di ruang ICU dengan perawatan total juga pengobatan yang lebih kompleks, gadis itu akan mengibarkan bendera putih. Dia sendiri masih perlu belajar cara penghitungan obat-obatan di ruang ICU menggunakan syringe pump.

"Mbak Tina nanti injeksi dulu, baru ajarin kita ya," kata salah satu anak bernama Stella. "Semuanya intravena atau ada yang subkutan? Ini insulin kan?" tunjuk gadis berwajah Cina itu pada alat insulin berbentuk seperti bolpoin. "Nanti suntiknya di lengan apa di perut? Bedanya antara warna biru sama abu-abu yang di kulkas itu apa, Mbak?"

Ceriwis banget sih jadi anak! Apa sesuatu yang bernama Stella udah bikin mabuk duluan?

"Satu-satu, belum apa-apa udah vertigo duluan aku," kata Valentina lalu mengenakan sarung tangan. "Kalian udah bawa sarung tangan masing-maisng kan?"

"Bawa kok," sahut yang lain. "Kan katanya di sini disuruh bawa handscoen sendiri enggak boleh ambil dari ruangan."

"Iya, namanya juga mahasiswa. Kalian bel satu boks berapa?"

"Lima puluh ribu, ini aja kita bagi dua, Mbak Tina," timpal Stella lalu berbisik, "padahal di ruangan lain kami boleh aja tuh ambil handscoen, apa gunanya bayar uang kuliah sampai enam juta per semester?"

Mau tak mau Valentina terkikik lantas berjalan menuju kamar pertama di mana ada dua pasien kelas satu dengan usia lanjut. Diikuti dua adik tingkatnya, Valentina menyapa pasien sambil menanyakan apa ada keluhan untuk disampaikan ke dokter atau perawat senior. Sambil mengusap area selang infus tempat penyuntikan, Valentina menjelaskan nama obat yang akan dimasukkan. Ini salah satu komunikasi yang diajarkan di kampus juga etika selama bekerja nanti bahwa apa pun yang dilakukan ke pasien harus dijelaskan baik manfaat atau efek sampingnya. Apalagi di jaman serba digital dan serba viral, manusia tidak bisa luput dari sorotan kamera walau hal sekecil apa pun. 

"Suster sudah punya pacar?" tanya pasien lansia itu. 

"Eh? Saya, Mbah?" ulang Valentina memastikan telinganya tak salah dengar. 

"Iya. Soalnya suster paling sabar terus manis. Mau saya kenalin sama cucu saya mau? Dia lagi sekolah penerbangan di Magelang."

"Wuih ..." adik tingkatnya cengengesan di belakang punggung Valentina. 

"Sikat Mbak ... sikat ..." bisik Stella menyemangati. "Biar tiap hari naik pesawat." 

Waduh! Calon pilot? Kok mantap? Tapi...

"Saya sudah punya sua eh pacar, Mbah," kata Valentina hampir kelepasan menyebut status aslinya. 

"Oalah, tapi belum jadi suami kan? Masih bisa Mbah kenalkan kok, mau ya..."

Sebelum gadis itu berucap, suara deheman terdengar membuat ketiga mahasiswa itu menoleh. Raditya berdiri di ambang pintu dengan tatapan tak suka lalu menyiratkan agar Valentina segera pergi. Sayang, sepertinya Valentina tak cukup peka sehingga Raditya berkata, "Pasien kamar dua butuh bantuan. Sana pergi."

"Dek, kamu aja yang--"

"Saya nyuruh kamu bukan dua mahasiswa lain," sela Raditya membelalakkan mata. "Suaminya marah-marah tuh. Nyuruh istrinya nurut enggak mau."

Ini maksudnya nyindir kan? Iya kan? batin Valentina merasa kalau kalimat itu menohok perutnya. 

Melempar tatapan tajam ke arah sang residen, Valentina segera berpamitan kepada pasien lantas pergi menuju kamar dua diikuti dua mahasiswa lain yang berbisik-bisik menanyakan kenapa Raditya seakan mengenal dekat dengan kakak kelas mereka. Jika bukan di lingkungan rumah sakit, sudah dari tadi Valentina akan menegur Stella yang terlalu ikut campur urusan pribadinya. Seolah label senior di dada tak berarti lagi.

Padahal, dulu di kampus sewaktu awal-awal semester, Valentina sangat takut terhadap senior. Untuk mengajak berbicara pun harus hati-hati daripada kena sembur yang berujung dihukum di lapangan. Pernah sekali waktu dia tak sengaja memakai baju sedikit ketat dan langsung mendapat teguran di depan umum tanpa sungkan.

"Mau kuliah apa open BO?" ejek seniornya kala itu. "Pakai baju tuh yang nutupin pantat bukan pamer kayak gitu. Dipikir cowok doyan pantat triplek kayak gitu?"

Dunia mahasiswa kesehatan tidak seindah sinetron kawan, pikir Valentina hendak memutus rantai senioritas seperti itu. Dia ingin menjadi senior yang dikagumi bukan ditakuti karena kejam kepada juniornya. Tapi kalau mendapat anak macam Stella, apakah boleh bibirnya mengeluarkan umpatan kasar?

Mengabaikan pertanyaan Stella, Valentina tercengang kalau pasien kamar dua sedang terlelap dan tidak ada suami seperti yang dikatakan Raditya. Apakah dia tersulut api cemburu ketika ada keluarga pasien ingin mengenalkan kerabatnya ke Valentina? Padahal Raditya sendiri mendua secara terang-terangan dan masih belum bisa memastikan perasaan setelah disidang para mak-mak. 

"Nih, injeksi ibu itu kayak yang aku lakuin tadi. Dibangunin pelan-pelan ya," kata Valentina. "Aku ke pasien satunya."

"Iya, Mbak."

###

Selesai menyuntik pasien hampir dua puluh orang bersama adik tingkatnya, Valentina melihat Raditya tengah berdiri di samping seorang dokter yang dinilai agak sepuh mengingat banyaknya rambut beruban. Sesekali dia menjawab pertanyaan dokter spesialis itu dengan tegas dan lancar membuat telinga Valentina betah mendengar penjelasan Raditya. Dia mencuri-curi pandang sambil mencuci tangan di wastafel yang berada dekat dengan kamar mandi perawat, mengagumi betapa encer isi kepala Raditya. 

"Untuk yang pasien ini tensinya sudah turun belum?" tanya si dokter tua. 

"Sudah, Dok, tadi 143/80 setelah pemberian captopril sublingual," jawab Raditya. "Oh iya, tadi saya sudah lihat Ct-Scannya ada ada batu di bagian ginjal kiri juga di ureter* mungkin saran untuk ke urologi, Dok."

"Sudah kamu laporkan?"

Raditya menggeleng. "Belum, Dok."

"Lah kenapa belum? Kamu PPDS ngapain aja daritadi? Tidur?" cibir dokter itu membuat Valentina memandang tak suka.

"Saya tidak ingin mendahului Dokter Bambang," jawab Raditya. "Tadi saya sudah telepon untuk minta ACC tapi Dokter sedang sibuk."

"Iya kalau sibuk bisa kamu konsulin dulu, masa iya nunggu saya? Kalau pasiennya makin memburuk gimana? Ini lihat nih!" tunjuk dokter Bambang pada hasil CT-scan pasien.

Diam-diam Valentina berdiri di belakang dokter judes itu, tepat di samping kiri Raditya menilik lembar CT-Scan area perut di mana banyak lingkaran kecil tak beraturan memenuhi ginjal kiri. Dia mengangguk-angguk dan membantin kalau pantas saja pasiennya kesakitan meski diberi obat nyeri paling ampuh.

"Udah kamu konsul ke bagian urologi bilang untuk alih DPJP!"

"Siap, Dok!" kata Raditya melirik sekilas Valentina.

"Sabar," gumam Valentina mengerlingkan mata. "Nanti makan es krim yuk!"

###

Valentina menguap lebar lalu memijit tengkuk lehernya setelah selesai melakukan operan jaga dengan Dyas. Kedua betisnya terasa nyut-nyutan akibat tidak bisa duduk tenang harus berjalan ke sana ke mari melayani dua puluh pasien. Ini masih shift pagi, apalagi shift malam di mana mahasiswa harus bangun lebih pagi dari senior untuk melakukan tindakan mengukur tekanan darah secara manual?

"Enak di ICU ternyata," keluh Valentina. "Pasiennya dikit tapi tindakannya teratur. Lah di sini, bolak-balik belnya bunyi."

"Sus, infus macet. Sus, infus habis. Sus, saya demam," timpal Dyas menirukan gaya pasien-pasien. "Namanya juga praktek, Tina. Untuk banyak temennya kan jadi bisa bagi tugas."

"Tapi capek. Mana aku belum selesai bikin askep*," kata Valentina. "Oh iya, penyuluhannya udah di print?"

"Sudah. Nih!" Dyas mengeluarkan beberapa lembar penyuluhan yang di desain cantik. "Besok kamu bawa roti. Si Okin bawa doorprizenya."

"Oh iya, aduh ... Mana jaga siang ya. Sama aja aku dari pagi lanjut siang terus pulang malam. Lelah bestie ... butuh ayang," sambat Valentina memanyunkan bibir.

Tak berapa lama pintu mahasiswa terbuka menampilkan sosok tinggi nan ramping nyelonong begitu saja. Detik berikutnya sebelum Valentina sempat bertanya kepada gadis imitasi Donita, wajahnya keburu disiram dengan air selokan sampai mengenai kertas penyuluhan di atas meja.

"Wedok gatel!" seru Julia terbakar emosi.

(Perempuan gatal!)

*ureter : saluran kemih
*askep : asuhan keperawatan

Yang pengen nostalgia jaman kuliah mari merapat! Bener enggak sih dunia anak kesehatan itu kejam? Angkat tangan wkwkwkwkw karena aku sudah pernah merasakan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro