Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Makasih,  Pak," ucap Valentina setelah turun dari jok motor ojek online.

Kaki yang terbungkus sepatu pantofel hitam itu menuju ICU Anestesi sambil memegangi pinggang seperti orang jompo. Valentina menjadi atensi di sepanjang lorong rumah sakit melewati orang-orang yang lalu lalang termasuk petugas medis yang mendorong kursi roda.  Dari wajah mereka tersirat sebuah tanda tanya besar apalagi wajah penuh rintihan itu tampak jelas. 

Dia menggerutu kesal akibat insiden nahas kemarin ditambah Raditya menambah deret penderitaan.  Selain tidak mau mengantar, motor kesayangannya kini dipakai Raditya karena mobil lelaki itu belum selesai di cat. Suaminya mengatakan kalau butuh sekitar seminggu sampai sepuluh hari untuk membuat si putih benar-benar putih seperti sedia kala. Ingin rasanya Valentina menaiki mobil yang sudah menjadi nyawa kedua Raditya dan menumpahkan seember cat hitam agar lelaki itu tak perlu mengkhawatirkan ada noda yang mengotori kesucian si putih. Bagaimana bisa dia disandingkan dengan roda empat yang bisa saja soak suatu hari nanti?Belum lagi, Raditya juga bilang kalau sakit yang diderita Valentina akan hilang dalam kurun waktu dua minggu.

"Jangan sok tahu deh!"

"Dikandani kok ngeyel," tandas Raditya jengah.  "Yang dokter aku apa kamu?"

(dibilangin kok bandel)

"Dasar setan," desis Valentina jikalau mengingat ucapan Raditya. 

Mana pantatku udah enggak perawan lagi!

Kakinya belok ke arah koridor berisi ruang-ruang perawatan pasca bedah dan langsung bertemu dengan pintu belakang ruangan ICU Anestesi di sisi kanan yang jadi satu dengan ruang operasi.  Ternyata di sana ada beberapa ners dari kampus lain tengah berdiri mengelilingi salah satu bed pasien seraya mendengarkan seorang perempuan berambut keriting. Mungkin sedang bed side teaching, pikir Valentina.  

Sorot mata cokelat itu menangkap kedua temannya,  Okin dan Dyas menunggu di lorong dekat pintu masuk kamar operasi yang berbatasan dengan ruangan besar berisi pasien koma di sisi kanan.  Dyas merangkul bahu Valentina membuat gadis itu mengerang dan refleks menyikut tulang rusuk temannya. 

"Jangan pegang-pegang,  pantatku sakit," keluh Valentina. 

"Kenapa?" tanya Okin. 

"Terpeleset. Sekarang nih kita menghadap ke kepala ruangannya?"

"Iya. Semoga aku enggak satu shift sama Tina lagi,  Ya Allah," rapal Okin yang dibalas cubitan di lengan. 

Mereka akhirnya menemui perempuan paruh baya dan berperawakan bongsor bernama Christina. Menerima beberapa arahan termasuk pembagian kasus dan jadwal,  Valentina dkk diajak untuk berkeliling mengenal satu-persatu pasien yang membutuhkan perhatian total akibat beberapa penyakit yang mengakibatkan penurunan kesadaran.

Beberapa dari mereka adalah pasien pasca operasi pembedahan kepala,  baik akibat stroke hemoragik maupun cedera kepala berat karena kecelakaan.  Bunyi monitor penanda aktivitas kelistrikan jantung saling sahut menyahut, termasuk kala perawat di sana menyalakan mesin suction untuk menyedot lendir dan dahak yang menyumbat jalan pernapasan pasien. 

"Nanti kalian akan diajari cara mengukur CVP,  JVP,  memasang syrimp pump dan cara menghitungnya. Sudah diajari di kampus kan?" tanya Christina tegas dan berwibawa. 

Ketiga mahasiswa itu mengangguk. 

"Oke, sekarang kalian bisa ikut perawat atau dokter PPDS untuk belajar ya. Nanti ada koas juga kok," ucap Christina dengan senyum ramah. "Kalau ada yang enggak tahu tanya ya, jangan diam kayak mahasiswa lain, datang cuma absen doang tanpa dapat ilmu."

"Siap, Bu."

Ada rasa tak enak menyelubungi hati Valentina.  Dia berharap tidak satu ruangan dengan si mata empat dan nenek lampir.  Sudah cukup penderitaannya mendapati dua manusia bucin tak tahu tempat walau harus diakui kalau kadang mereka itu kombinasi apik dalam menyelamatkan pasien gawat. 

Mengingat kejadian beberapa waktu lalu,  Valentina sedikit insecure. Bagaimana tidak, dibanding Julia,  otaknya yang kadang lemot kadang enggak ini kalah jauh. Apalagi kalau sudah berhubungan dengan hasil rekam jantung pasien. Sementara di sini,  banyak tindakan dan istilah baru yang belum didapat di kampus meski sudah ada embel-embel sarjana keperawatan di belakang namanya.

Maklum saja,  dia hanyalah lulusan sarjana yang diwajibkan matang dalam hal teori. Itu saja kadang dia ketiduran akibat jadwal kuliah yang padat hingga senja.  Belum lagi tugas makalah yang wajib dipresentasikan keesokan harinya bersama ujian tiap selesai materi.  Oleh karena itu,  selama setahun magang di rumah sakit dengan tugas seabrek bagai gunung anakan,  Valentina harus mengejar waktu untuk menandingi Julia. 

Apakah aku bisa? batin Valentina. 

###

"Cuk ... jadwal neraka," desah Valentina kala melihat daftar jaga yang dirasa tidak menguntungkan. 

Ini sudah kedua kali dirinya mendapat jadwal shift malam pertama setiap ganti ruangan bahkan masa sebelum ners. Bagi sebagian siswa mungkin jaga malam adalah hal paling menyenangkan karena tidak banyak tindakan seperti saat praktik pagi ditambah akan mendapat libur di keesokan hari. Tapi, tidak dengan gadis yang sedang dirundung nyeri di tulang ekor itu. Setelah jaga malam, dia harus kembali di siang hari sementara di hari pertama pindah ruangan selalu ada konferensi laporan pendahuluan bersama pembimbing. 

"Malam, siang, pagi, siang, mampus ..." ledek Okin membaca jadwal Valentina. "Hayoloh ..."

"Jancuk, lambemu, Kin," ketus Valentina emosi. "Mana sendirian lagi."

"Iya mau gimana lagi, Tina. Lagian ada dua anak dari kampus lain, adik kelas, sama anak koas kan kata Bu Christin? Enggak usah takut," sahut Dyas membidik jadwal itu ke dalam kamera ponsel dan membagikannya di grup WhatsApp 'Pejuang Ijazah dan Sah'. "Udah aku share di grup."

"Kasusmu enak banget, Kin, tuker dong!" pinta Valentina. 

"Dibilangin juga apa, setelah lepas jeratan dari Tina, keberuntunganku berdatangan," timpal Okin mengabaikan permintaan temannya. "Dyas iki loh mesti bejo. Jadwal enak, kasus gampang. Melbu awan, prei, isuk, awan, bengi. Auramu ae Tin rodok peteng!"

(Dyas ini loh selalu beruntung. Jadwal enak, kasus gampang. Masuk siang, libur, pagi, siang malam. Auramu aja Tin agak gelap!)

Jika tidak dilerai Dyas, mungkin saja Valentina sudah memukul badan besar Okin tanpa rasa takut tulangnya diremukkan begitu mudah. Maklum saja, kasus yang didapat gadis itu terbilang cukup sulit dan tidak heran pula di ruang intensif yang penuh dengan pasien koma, diagnosa yang diberikan dokter selalu berbaris seperti kereta api. 

Dia mendapat kasus pada wanita berusia 76 tahun yang baru saja menjalani operasi laminektomi--prosedur untuk menghilangkan tekanan pada tulang belakang akibat penyempitan saluran tulang belakang yang berisi saraf. Jangan lupakan juga, diagnosa acute paraplegia + HHD + hipoalbumin yang perlu Valentina gali dan tulis dalam laporan pendahuluan. Valentina sudah bisa membayangkan betapa keriting jarinya nanti harus menulis laporan di buku jurnal. 

Di sisi lain, pembimbing ruangan mereka adalah si perpustakaan berjalan yang tak lain adalah kepala ruangan ICU Anestesi. Meskipun sosoknya tak sekejam penyihir di UGD, tapi Bu Christina sudah terkenal sangat perfeksionis terhadap mahasiswa. Tak segan pula saat dia bertugas akan melempar pertanyaan dadakan yang bisa saja menjebak. 

"Oh iya, ujian praktiknya minggu depan," sahut Dyas mengingatkan. "Tapi, Bu Christin belum spill apa yang diujikan sih."

"Aku cari infonya dari kelompok sebelumnya aja," timpal Valentina. "Oke, deh, kalau gitu aku sama Dyas ke perpus. Okin selamat jaga terakhir di UGD," tambahnya menepuk bahu temannya keras. 

Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi dan menunjukkan nama kontak 'Monyet Mata Empat'. Buru-buru Valentina berjalan menjauhi kedua temannya untuk menjawab panggilan dari suami jahanam. Setengah berbisik dia berkata, "Apa?"

"Bisa temui aku di kantin rumah sakit?"

"Ngapain? Mau beliin seblak?"

"Kenapa otakmu cuma makanan aja sih!" cerocos Raditya. "Pantat kamu masih sakit kan?"

"Iya masih lah! Dit, aku enggak lumpuh kan, Dit? Rasanya mau mati tahu," rengek Valentina. 

"Dibilangin juga apa, kamu itu lebay banget. Dua minggu bakal hilang sendiri. Mau taruhan?"

"Dasar mata duitan," ejek Valentina kesal. "Iya-iya, aku ke sana, tungguin. Eh, tapi enggak ada si nenek lampir kan?"

"Kenapa?"

"Males aja kalau ketemu dia."

"Bilang aja cemburu kan?"

"Amit-amit aku cemburu sama kamu, Dit. Dah lah, aku ke sana. Hari ini sibuk!"

###

Menyisir pandangan ke segala penjuru area kantin yang berada di belakang UGD itu, Valentina menangkap sosok Raditya tengah duduk sendirian sambil membaca sebuah buku. Tertatih-tatih, dia berjalan mendekati suami jahanamnya sambil menggerundel kenapa pula harus mendekati lelaki tak punya hati itu. Kalau sampai ada sesuatu tak penting yang diucapkan Raditya, mungkin meja bundar yang dihiasi segelas kopi dan tumpukan buku tebal di sana akan dilempar ke arah muka sang suami tanpa ampun. 

Waktu adalah emas. Valentina tidak mau menyia-nyiakan waktu sementara tugas dari ICU Anestesi sudah menanti untuk dipresentasikan besok. Tak hanya menulis di atas jurnal, namun juga harus memahami sebab-akibat suatu penyakit hingga timbul diagnosa keperawatan yang nantinya akan diintervensikan kepada pasien. Karena dari sana pembimbing ruangan maupun dosen akan menanyai laporan kasusnya. 

Kepala Raditya mendongak saat Valentina sudah datang. Lalu lelaki itu memberikan kontak sepeda motor milik Valentina yang diberi gantungan Dorameon dan sebungkus obat anti-nyeri juga vitamin B kompleks seraya berkata, 

"Minum sehari tiga kali, kalau vitaminnya sehari sekali saja. Aku beliin dosis yang agak besar."

"Hah?" Valentina memandangi kantung plastik putih berisi dua strip obat dan membukanya. "Tumben, kena setan mana nih?"

"Aku enggak bakal pulang beberapa hari," pamit Raditya merogoh dompet dan mengeluarkan lima lembar uang seratus ribu rupiah. "Nih! Buat beli makan tapi jangan boros."

"Asyik ..." Valentina tersenyum lebar menerima uang saku dari suaminya. "Kamu enggak pulang sebulan pun aku rela kok, asal duitnya ngalir terus buat aku."

Sudut bibir tipis Raditya tertarik ke atas, dia mengambil satu kantung plastik hitam besar berisi baju kotornya dan memberikan kepada Valentina. "Nih, jangan lupa nyuci dan setrika bajuku. Rumah jangan lupa dibersihin terutama kamar mandi. Dikira aku kasih uang ke kamu gratis?"

"Dasar setan!" sungut Valentina tahu kalau kebaikan Raditya selalu ada maksud terselubung. 

Tanpa mereka sadari, sosok lelaki berambut hitam berdiri agak jauh dari pasangan suami-istri itu. Jutaan pertanyaan muncul memenuhi benaknya mendapati pujaan hati tengah berbincang dan terlihat begitu akrab dengan lelaki yang diyakini sebagai seorang dokter magang. Dia sadar dan tidak menyangkal kalau praktik di rumah sakit bakal bisa mendapat kenalan sesama mahasiswa perawat bahkan anak kedokteran. Dia sendiri pun juga mendapat koneksi baru dari kampus lain untuk saling bertukar informasi baik pelajaran maupun lowongan kerja.

Masalahnya, selama ini Valentina tidak pernah bercerita tentang kedekatannya dengan lelaki lain. Lantas, apakah kekasihnya ini mulai main belakang?

Apa ini juga berhubungan dengan perubahan sikapnya yang mulai slow respon balas pesanku?

Daftar Istilah : 

stroke hemoragik : perdarahan yang terjadi di otak. Biasanya akibat tekanan darah yang tinggi atau cedera kepala berat.

syringe pump : alat yang digunakan untuk memberikan cairan obat atau makan ke pasien dalam jumlah dan waktu tertentu. 

HHD (Hypertensive Heart Disease) : istilah untuk menyebutkan penyakit jantung secara keseluruhan termasuk pembesaran pada ventrikel kiri, irama nadi yang tak teratur, sampai jantung koroner. 

Acute paraplegia : kelumpuhan anggota gerak bisa anggota gerak atas atau bawah.

Hipoalbumin : kadar albumin di bawah normal. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro