Bab 22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sayang ... sini-sini,  my baby angry bird," panggil Lavina seraya melambaikan tangan kanan.

"Kenapa kamu?" tanya Gyan mengernyitkan alis mendengar ucapan Lavina. "Mabok ya?"

"Ih,  Sayang kok gitu?"

Lavina masih meneruskan akting abal-abalnya dengan mengerjapkan mata memberikan kode kepada lelaki itu. Sayang,  Gyan yang terlahir tidak peka dengan sandi morse ala perempuan, tidak memahami maksud Lavina. Alhasil, dia mencubit pipi kenyal bak kue mochi yang baru matang seraya berkata, 

"Jangan membuat saya merinding sama ucapan gila kamu, Lavina."

Bibir kemerahan Lavina mengerucut, menepuk tangan kanan Gyan yang masih Setia menarik pipinya. Lavina membungkuk mendekati wajah sang captain bar seraya berbisik, "Saya sedang melindungi Pak Gyan. Masa enggak bisa baca akting saya, sih!"

Lavina menunjuk dua gadis di belakangnya yang kini masih saja berbisik. Gyan melirik mereka sejenak lalu melempar senyum manis yang bikin dua kaum hawa itu girang. "Maafin, adek saya,  Mbak. Rada gila dia."

Yang disindir memukul lemah dada bidang yang tertutup kemeja dengan garis vertikal tipis itu.  Matanya melotot seakan ingin keluar dari rongga, sedangkan Gyan tersenyum miring ketika salah seorang pegawai lesehan terang bulan datang membawakan pesanan. 

"Makasih,  Mas," ucap Lavina. 

"Sama-sama,  Mbak cantik," jawab lelaki yang seumuran dengan Lavina, mengeringkan mata.  "Selamat makan."

"Sayang,  ayo makan dulu!" perintah Gyan melihat lelaki berkaus hijau masih saja mencuri pandang ke arah Lavina.  "Katanya tadi muntah-muntah abis dari bidan."

Lelaki berkaus hijau seketika membungkam mulutnya dengan tangan kanan,  kedua matanya membeliak kaget kemudian segera pergi meninggalkan pelanggannya. Lavina yang merasa dibalas oleh Gyan, seketika berteriak ke arah lelaki berkaus hijau, 

"Maaf,  Mas! Teman saya baru ditinggal kawin!"

Beberapa orang yang mendengarnya terkekeh. Kini Gyan seakan mendapat karma langsung. Lavina bukanlah lawan yang mudah jika melibatkan ide untuk mempermalukan diri sendiri.  Menyipitkan mata, mendengkus kesal terhadap si gadis ceroboh yang kini menyeruput segelas teh hangat.

"Selamat makan, Sayangnya aku yang barusan muntah-muntah!" sindir Lavina emosi.

"Udah makan sana!" perintah Gyan yang kini mencampur nasi dengan sambal menggunakan tangan kanan.

"Pak," panggil Lavina,"yang minuman di bar tadi. Namanya apa?"

"Negroni. Itu PR kamu buat cari tahu sampai ke formulanya," titah Gyan. "Saya bakal tanya saat kita kerja nanti."

Menganggukkan kepala, sesekali Lavina melirik wajah Gyan dari bulu matanya.  Lelaki itu terlihat begitu lahap,  tak salah juga jika Gyan tumbuh begitu tinggi di atas rata-rata laki-laki Indonesia. Lavina jadi membayangkan bagaimana seandainya dia memiliki suami setinggi Gyan.  Dia yakin anak-anaknya akan tumbuh mengikuti gen terkuat ayahnya. 

Lavina terkekeh sendiri sambil mengunyah nasi dengan bebek goreng yang terasa lezat di lidah.  Saat suapan keempat, Gyan telah menyelesaikan makannya tanpa disadari gadis itu.

"Kamu makan atau sedang menghisap nasi?" tanya Gyan. "Kalau cara makan kamu lama,  bagaimana bisa menang kompetisi?"

"Maaf,  Pak! Saya makan sambil berimajinasi," tutur Lavina membuat geleng-geleng kepala.

"Saya titip ponsel. Saya mau ke kamar mandi sekalian cuci tangan," pamitnya menaruh ponsel IPhone silver di atas meja,"saya tidak terbiasa cuci tangan hanya dengan air dan kemangi."

Sebelum Lavina mengejek ucapan Gyan,  lelaki itu beranjak ke kasir dan terlihat menanyakan arah kamar mandi. 

"Mangan lesehan ae endel!" sungut Lavina memandang jejak Gyan. 

(Makan lesehan saja centil!)

Beberapa saat, ponselnya bergetar menandakan ada notifikasi Whatsapp. Lavina diam-diam curi pandang untuk menilik ponsek atasannya itu. Nampak wajah Gyan sedang tersenyum begitu tampan dengan seorang perempuan manis yang merangkulnya erat. 

Ada sesuatu yang aneh mendadak menjalari perasaan Lavina, kala Gyan ternyata sudah memiliki tambatan hati yang jarang diketahui orang. Tapi,  dia teringat perkataan Irvan jika Gyan masih jomlo dan gosip di hotel tidak pernah menerpa tentang kisah Asmara Gyan.  Lavina menggumam dalam hati,  mana mungkin antar teman lama masih menyimpan rahasia,  apalagi berhubungan dengan perempuan. 

Kemudian,  ponsel itu menyala kembali dengan sebuah nama kontak 'Mami'.  Lavina panik karena suaranya cukup nyaring, tapi dia ragu menjawab panggilan berulang itu. 

"Dia BAB ya?" gumam Lavina merasakan Gyan terlalu lama di kamar mandi. 

Panggilan ketiga muncul, Lavina jadi tidak selera makan.  Dia paling tidak betah ada panggilan dari keluarga yang mungkin mendesak atau tidak.  Dengan tangan kiri,  Lavina meraih ponsel Gyan dan menjawab panggilan itu. 

"Selamat malam,  Maaf, saya Lavina. Pak Gyan sedang ke kamar mandi,  Tante."

"Lavina?  Temen perempuan Gyan?"

"Iya. Maaf,  Tante, sa--"

"Ngapain kamu pegang ponsel saya?" tanya Gyan tiba-tiba datang. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro