Bab 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gyan mengambil paksa ponselnya dari genggaman tangan Lavina,  terdengar suara maminya yang masih memanggil Lavina.  Lelaki itu menatap nyalang ke arah gadis yang kini terlihat merasa bersalah. 

"Halo,  Mami?" panggil Gyan. "Tadi,  Gyan masih di toilet."

"Lavina itu siapa,  Ko? Kok enggak dikenalin ke Mami?"

"Temen kerja,  Mam. Udah ya, Gyan mau pulang," pamit Gyan kemudian mematikan sambungan telepon. "Kamu pernah diajari etika, kan?"

"Maaf,  Pak. Tadi,  hapenya bunyi terus. Saya sungkan sama orang-orang,"ungkap Lavina menunduk tak berani menatap mata sipit Gyan yang menghunus dadanya. 

Tak menimpali ucapan gadis itu,  Gyan memilih beranjak dari tempat duduknya untuk membayar pesanan mereka. Lavina memukul kepalanya dengan kepalan tangan, merutuki diri sendiri betapa bodoh dirinya ini.  Gyan dengan pasti akan murka jika ada yang mengusik teritorialnya. 

Lavina mengikuti arah Gyan keluar dari lesehan tanpa mengajak pulang.  Dia segera melingkarkan sling bag ke bahu, mengejar lelaki yang sudah memasang helm. 

"Bapak marah?" tanya Lavina.

Gyan hanya terdiam. Sungguh Lavina adalah orang pertama yang berani menyentuh ponselnya. Bahkan orang lain masih memiliki etika untuk tidak mengutak-atik apalagi menjawab panggilan ponsel yang bukan hak-nya. Belum lagi maminya pasti mencecar ribuan pertanyaan terkait Lavina.

"Naik!" perintah Gyan. 

"Maaf, Pak.  Mendingan saya pakai ojek saja,  daripada dibonceng tapi enggak ikhlas," kata Lavina mengambil helm pink yang ditahan Gyan. 

"Semarah apapun saya kepada kamu,  saya bukan laki-laki yang membiarkan perempuan pulang seorang diri," tegas Gyan. "Naik!"

Terpaksa menuruti perkataan lelaki yang sudah terbakar emosi. Akhirnya,  Lavina naik ke jok belakang motor Gyan dengan takut-takut.  Detik berikutnya, dia memutar stang dan melaju menuju Cubic kitchen & bar untuk mengambil motor Lavina. 

Dalam perjalanan, Lavina sengaja menjaga jarak agar tidak dimarahi Gyan.  Bahkan dia juga tidak berani untuk berpegang pada pinggir kemeja lelaki itu. Gyan sekarang dalam mode senggol bacok,  padahal niat Lavina hanya menjawab telepon. 

Gyan melirik Lavina dari spion motor,  dia menoleh sekilas kemudian menarik tangan Lavina untuk memeluk pinggangnya.  "Saya enggak mau nambah masalah kalau kamu jatuh."

Bibir Lavina menahan senyum sambil menggeser pantat untuk maju agar tidak terjatuh dari motor.  Dia memiringkan kepalanya seraya berkata,  "Maaf ya Pak,  saya enggak aneh-aneh kok tadi."

"Saya tahu," jawab Gyan.

"Pak Gyan masih marah?"

"Kenapa masih tanya?"

Lavina tak berani menimpali ucapan Gyan kala mereka sudah sampai di latar parkiran bar.  Lavina pun turun dari motor Gyan lalu berlari menyapa tukang parkir dan mengambil motornya seraya berterima kasih. 

"Rumah saya deket,  Pak, enggak usah dianterin lagi," kata Lavina menghidupkan mesin motor. 

"Kamu mau bikin saya marah lagi?"

Jadi serba salah sih,  batin Lavina kemudian melajukan motornya untuk kembali ke perkampungan dekat Pasar Giwangan, bersama Gyan yang berada di belakang. 

###

Gyan mendapati rumah Lavina tampak sepi, hanya lampu teras dan lampu ruang tamu yang menyala. Dia sedikit melongok ketika Lavina membuka pagar untuk memasukkan motornya.  Dia berpikir, apakah gadis itu tinggal seorang diri di rumah ini. 

"Saya pulang ya," pamit Gyan. 

"Bapak enggak mampir dulu? Minum mungkin?"

"Tidak, terima kasih. Saya takut menganggu orang tua kamu," kata Gyan.

"Orang tua saya sudah meninggal, Pak," jawab Lavina membuat Gyan tercengang. "Ya udah,  besok saya masuk sesuai jadwal. Pak Gyan hati-hati di jalan,  nanti kirim WA ya kalau udah sampai."

Gyan hanya menganggukkan kepala lalu meninggalkan Lavina dengan perasaan bersalah yang mulai menghantuinya. 

Apa aku terlalu kejam sama anak yatim-piatu ya? 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro