Bab 10. Beban dan Jawaban

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mungkin sebagian orang menjalani hidup mereka dengan mudah seolah tanpa beban.
Namun, kenyataanya hal-hal tak terduga dalam hidup, datang tiba-tiba membawa pengaruh dan tanggung jawab bagi kita.

Entah diinginkan atau tidak
.
.
.

Serenity di akhir pekan nyatanya lebih sibuk dari biasanya. Mulai dari keinginan para klien yang mengejar deadline, juga mereka yang ingin segera mengakhiri tugas pekan itu tanpa beban di waktu weekend.

Raka dan Jihan masing-masing berada di ruangan mereka dengan klien. Sama halnya dengan ruang depan yang juga sibuk. Hanya terdengar suara samar beberapa klien yang berdiskusi diiringi klak-klik dari mouse para desainer.

"Saya sebenarnya suka pada logo kedua Mbak, tapi rasanya komposisi warnanya kurang pas, saya bingung. Kalau desain kedua, itu warnanya pas tapi bentuknya tidak mencerminkan identitas perusahaan," ucap Pak Bagas, orang dari perusahaan properti yang desain logonya dikerjakan oleh Jihan.

"Yang ini memang logo baru yang saya sesuaikan dengan kriteria permintaan perusahaan, Pak. Kalau yang satunya saya ambil komposisi warna dari logo lama Anda, saya padukan dengan logo baru," jelas Jihan.

"Misal desain pertama menggunakan warna kedua?"

Jihan dengan cepat menggerakkan tangannya untuk merubah sesuai yang diinginkan klien.

"Seperti ini."

Pak Bagas diam sesaat, fokusnya pada layar. "Kok jelek ya, Mbak. Nggak pas, gimana ya?"

Jihan menghela pelan sebelum kembali mengutak-atik desainnya. Sampai pintu ruangannya diketuk oleh seseorang.

"Mbak Jihan, permisi. Mohon maaf mengganggu waktunya. Saya mau memberitahukan kalau di luar ada Pak Juna. Beliau meminta bertemu dengan Mbak Jihan," ucap Eren, salah satu karyawan yang bisa Jihan andalkan.

Jihan mengernyitkan keningnya.

Apa lagi? Bukannya dia sudah mengirim desain permintaan Pak Juna? Beliau bahkan memberi balasan pada surelnya.

"Tolong diberitahu untuk menunggu sebentar, ya? Saya masih ada klien."

"Baik, Mbak."

Pintu kembali di tutup, namun sebelum kembali fokus pada pekerjaannya, Jihan meraih ponselnya untuk menghubungi Raka.

"Halo, Ka? Gue boleh minta tolong nggak?"

'Hei, Han. Ada apa? Minta tolong apa?'

"Tolong, lo ketemu sama Pak Juna di depan, bisa nggak? Gue masih sama Pak Bagas, nih."

'Aduh, sorry banget, Han. Gue nggak bisa. Ini gue masih sama Pak Danang juga. Bukannya udah selesai ya, yang dari Pak Juna?'

"Iya, udah selesai. Maka dari itu gue nggak tahu kenapa beliau ke sini. Ya udah, thanks." Jihan menutup teleponnya, menghela begitu pelan agar tak terlihat oleh klien yang sedang bersamanya.

"Mohon maaf ya, Pak Bagas. Ada sedikit interupsi," lanjutnya meminta maaf karena meninggalkan waktunya sebentar.

"Iya, Mbak Jihan. Nggak apa-apa. Kita lanjut aja."

Sebenarnya Jihan mulai merasa jengah, pasalnya Pak Bagas terus menerus bingung dengan konsepnya sendiri. Sudah ada 6 desain berbeda yang Jihan buat, namun tidak juga membuat kliennya itu puas.

45 menit kemudian, akhirnya dengan dalih akan mendiskusikannya kembali dengan direksi, Pak Bagas meninggalkan kantor Serenity setelah 3 jam lebih dengan 6 desain.

Jihan meregangkan lengannya, rasanya kebas. Lehernya pun terasa kaku. Namun, ingat masih ada yang menunggunya, Jihan bangkit lalu segera menuju ruang depan.

"Eren, Pak Juna masih menunggu?"

"Oh, tadi udah di temui sama Zaki, Mbak. Tapi kayaknya beliau belum puas kalo nggak ketemu Mbak Jihan."

Jihan bernapas lega. Zaki memang bisa diandalkan, tanpa diminta dia bisa mengerti situasi dan menangani keadaan dengan baik, di saat dia dan Raka sedang sibuk oleh pekerjaan. Menuju ruang depan, Jihan melihat Zaki sibuk dengan laptopnya bersama Pak Juna. Mereka menoleh saat menyadari kedatangan Jihan.

"Selamat siang, Pak Juna. Mohon maaf, menunggu lama," sapa Jihan menjabat tangan Pak Juna, meminta maaf atas karena sudah membuat kliennya ini menunggu.

"Nggak apa-apa, Mbak. Sudah biasa, kalau mau ketemu Mbak Jihan kudu sabar dan harusnya bikin janji dulu ya. Saya tadi kebetulan lewat, sekalian mampir," ucap Pak Juna ramah.

Memang kliennya ini cukup ramah dan tenang dibandingkan dengan yang lain. 

"Bagaimana, Pak. Apa ada masalah dengan pekerjaan yang kemarin? Saya ingat, Anda sudah approve dengan surel yang saya kirimkan."

"Oh, iya. Memang yang itu sudah saya approve, Mbak. Ini saya ada tambahan aja, masih menggunakan konsep yang sama, hanya menambahkan beberapa informasi tambahan dari kantor cabang. Yang kemarin udah acc untuk kantor pusat, Mbak."

"Oh, gitu. Saya mengira ada kesalahan pada file yang saya kirim."

"Tenang Mbak, itu sih aman."

Jihan tersenyum mendengar jawaban Pak Juna, setidaknya dia tidak menghadapi revisi lagi dan menghabiskan waktunya.

"Mbak, minta aksesnya untuk file milik Pak Juna, dong." Zaki menyodorkan laptopnya dengan laman access drive milik Jihan.

"Ini langsung dilanjut sama Mas Zaki aja ya, Pak?" Tanya Jihan memastikan pada kliennya itu.

"Iya, Mbak. Tapi nanti akan tetap di koreksi sama mbak Jihan, 'kan?"

"Iya, Pak."

Pak Juna mengangguk sebagai persetujuan atas jawaban Jihan.

"Kalau begitu, saya permisi dulu."

"Iya, Mbak. Silahkan," ucap Pak Juna tersenyum, kemudian melanjutkan diskusinya bersama Zaki.

Jihan berjalan ke area pelayanan, semua penuh dengan pelayanan. Tampaknya sudah tidak ada lagi klien yang ada di ruang depan. Lantas, Jihan kembali ke ruangannya, namun berhenti di tempat Eren yang masih sibuk mengutak atik desainnya.

"Hari ini full, Ren?"

"Iya, Mbak. Seperti biasa, banyak yang ngejar deadline akhir pekan."

"Klien dari web online ada yang belum di tangani?"

"Ada sih,Mbak. Tapi ini aku udah mau selesai kok. Abis ini aku kerjain, tadi juga udah aku kirim ke surel Mas Raka sama Mbak Jihan, yang tugas untuk anak paruh waktu."

"Oh, saya belum sempat cek. Ya udah, saya cek dulu, nanti saya follow up ke anak paruh waktu. Makasih ya." lalu Jihan kembali ke ruangannya untuk mengecek surel dari Eren.

Dilihatnya dinding kaca ruangan Raka masih tertutup, yang artinya rekannya itu masih bersama klien di dalam. Mungkin nanti Jihan harus mengajak Raka makan siang di warung soto kesukaan Raka, sebagai apresiasi kecil atas kerja keras sahabatnya itu.

***

Saga menghela saat melihat saldo ATM nya yang hanya tersisa 6 digit itu. Dia harus membayar tagihan di tempat printing langganannya. tetapi dengan sisa saldonya, dia tidak yakin bisa cukup dibagi dengan kebutuhan sehari-harinya sampai akhir bulan.

Tak lama, ponselnya berdering menampilkan nama wanita terkasihnya sebagai pemanggil.

"Halo, Bunda."

'Halo, Nak.  Apa kabarnya kamu? Minggu ini kamu nggak pulang, ya?'

"Mm, iya, Bun. Maaf, kayaknya Gara nggak bisa pulang dulu. Masih banyak kegiatan di kampus."

Sial. Dia bahkan harus berbohong pada Bundanya tentang alasannya tidak pulang.  Kampus tidak ada kegiatan, dia hanya mau berhemat. Tidak mau menambah beban sang Bunda apabila dia meminta uang lagi. Perjalanan dari kos ke rumahnya cukup dengan menempuh kereta api yang tiketnya lebih murah. Namun, Saga lebih memilih menyimpannya untuk keperluan lain.

'Nak, uang sakunya masih kah?' tanya sang Bunda tiba-tiba, seolah tahu kegundahan hatinya.

"Masih kok, Bun." 

Masih tapi kayaknya nggak cukup sampai akhir bulan, Bund.

'Kalau nggak cukup, bilang ya. Nanti Bunda transfer.'

"Iya, Bun."

'Gara, maaf ya. Mungkin jatah uang saku kamu nggak sebanyak dulu lagi. Bunda tahu ini sulit buat kamu, tapi kalau kamu butuh sesuatu jangan ragu untuk bilang sama Bunda, ya, Nak?'

"Iya, Gara mengerti kok, Bun. Jangan terlalu khawatir sama Gara, 'kan Gara udah gede Bun. Lebih baik, Bunda fokus ke Danar dulu," ucapnya sambil tersenyum, ada sedikit kegetiran terlihat di senyum itu, dan Saga bersyukur Bundanya tidak bisa melihat itu.

'Gara, kalau Bunda minta izin ke kamu boleh?'

"Izin apa, Bun?"

'Bunda ingin bekerja kecil-kecilan di rumah. Mau buka jasa catering, boleh?'

Saga memjamkan matanya, kepalanya seketika merasa seperti dihantam sesuatu yang besar dan mengaburkan pikirannya. Apakah sekarang Bundanya juga harus ikut bekereja? Memang masih ada tunjangan bulanan sepeninggalan Ayanhnya, namun Saga menyadari itu hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari keluarganya. Belum lagi, biaya pendidikannya dan Adiknya. Membiarkan sang Bunda bekerja rasanya keterlaluan. Tapi dia sendiri tidak bisa melakukan banyak hal sekarang.

'Ga? Kamu masih dengerin Bunda, 'kan?' Tanya sang Bunda dari ujung sana.

"Eh, Gara denger kok, Bun. Mm, kalau Bunda kerja lagi memangnya nggak capek? Nanti siapa yang bantuin Bunda? Gara 'kan nggak ada, Bun."

'Ada Adikmu, Bunda juga sudah ngomong sama Danar. Dia mau bantuin Bunda, jadi kamu ggak perlu khawatir.'

Saga terdiam lagi, seandainya dia ada di rumah pasti dia bisa membantu Bundanya. Tetapi melanjutkan pendidikannya juga hal yang penting.

'Jadi, kamu kasih izin Bunda atau nggak?'

"Iya, boleh, Bun. Asal saat Bunda ngerasa capek, jangan memaksakan diri, ya?"

'Iya, Sayang. Terima kasih ya, sudah menjadi anak pengertian dan Kakak yang baik buat Danar. Kalian berdua kebanggaan Bunda.'

Saga tersenyum, ada panas meremang di pelupuknya. Hingga tak tahan, setitik kristal bening itu meleleh dari sudut matanya. 

"Iya, Bun. Gara sama Danar juga Sayang Bunda. Sehat-sehat selalu ya, Bun. Maaf Gara belum bisa pulang sekarang."

'Iya, nggak apa-apa, Sayang. Kalau begitu, Bunda tutup dulu ya.'

Setelah sambungan terputus, Saga kembali mengusap matanya. Berusaha menghapus sendu yang kini menggelayut di hatinya. Apa pun tentang keluarganya selalu berhasil membuatnya merasa seperti ini. Ingin melindungi sekaligus merasa bersalah karena sadar dia tidak cukup mampu melakukannya. Ingatannya kembali pada sosok sang Ayah.

Ayah, doain Saga supaya bisa sekuat Ayah, ya.

Ponselnya kembali berbunyi, kali ini sebuah notifikasi pesan dari Mas Raka di grup paruh waktu.

'Halo, semuanya. Maaf telat banget ngabarinnya. Gaji kalian udah minggu ini udah ditransfer ya. Terima kasih untuk kerja sama nya dalam minggu ini' - Raka

Rasanya bagaikan menemukan sebuah sumur penuh air di tengah panasnya terik matahari, saat Saga membaca pesan dari Mas Raka. Seketika tangannya menyentuh aplikasi m-banking di ponselnya, nyaris membelalak tak percaya melihat nominal saldonya yang sudah berubah drastis itu.

Ini ... nggak salah?

Bingung dan takut ada kesalahan, Saga memutuskan untuk mengirim pesan pribadi pada Raka.

'Selamat siang, Mas Raka. Maaf mengganggu waktunya. Saya mau menanyakan mengenai gaji saya. Apa tidak ada kesalahan, Mas?'

Terkirim.

'Gimana, Saga? Apakah kurang banyak dari perkiraan kamu? Kami sudah menghitungnya sesuai dengan proyek yang kamu kerjakan selama satu minggu ini. Itu sudah kami kurangi dengan perhitungan potongan pajak yang seharusnya.'

'Maaf, Mas. Bukan itu maksud saya, tetapi apakah nominalnya tidak kebanyakan? Ini jumlah dua kali lipat dari gaji saya sebelumnya. Takutnya salah transfer.'

Saga menggigiti kuku ibu jarinya menunggu balasan dari Mas Raka. 

'Itu udah benar, kok, Ga. Itu dihitung sesuai proyek yang kamu kerjakan. Dan dalam minggu ini kamu mengerjakan lebih banyak dari Tristan dan Salsa.Dan lagi, banyak proyek dari saya dan Jihan yang kamu kerjakan. Itu nominalnya lumayan gede. Hehe.'

Saga tidak bisa berkata-kata, bahkan tanpa sadar tangannya terangkat menutup mulut saking tidak percayanya. Dilihatnya lagi nilai saldo di rekeningnya itu.

'Ini banyak banget, Mas. Terima kasih banyak.'

Ada rasa bahagia dan haru yang dirasakan Saga sekarang. Apa ini jawaban Tuhan atas kegundahannya sebelumnya? Jawaban atas ketidakmampuannya membantu sang Bunda? Hingga Tuhan dengan berbaik hati memberinya solusi tanpa disangkanya?

Sepertinya, keputusannya untuk melamar di Serenity tidak salah. 

.

.

Bersambung.

.

Riexx1323

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro