Bab 9. Seseorang dan Tanggung Jawab

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jalan hidup manusia memang tidak pernah ada yang tahu.

Kadang seperti badut, ngeselin tapi pengen diketawain.

.
.
.

Aksel tidak bisa berhenti melirik seseorang yang sejak tadi diam melamun, tersenyum, menggeleng, lalu menggumam sendiri, kemudian berdehem. Begitu saja terus berulang kali, sampai-sampai dia mempertanyakan keadaan sahabatnya itu.

"Lo nggak kena gejala gila, 'kan, Ga?" tanyanya was-was pada Saga yang sejak tadi bertingkah aneh.

Yang ditanya hanya menoleh lalu meringis tanpa menjawab apapun. Membuat Aksel menaikkan alisnya heran dan semakin cemas.

"Saga! Nggak lucu kalo lo cuma bercanda, ya!" Aksel meninju pelan lengan Saga, membuat Saga justru semakin tergelak.

"Saga! Gue tinggal ya kalo lo tetep begini!"

Aksel bangkit dari posisi duduk bersilanya, namun ditahan oleh Saga yang masih berusaha untuk tidak tertawa.

"Mau kemana?"

"Balik ke kosan gue! Ngeri sama lo yang udah gejala nggak waras!" sungut Aksel menahan merinding karena ulah sahabatnya itu.

"Siapa yang gila sih? Gue baik-baik aja, Sel. Balik sini, tugas kita belum kelar ya. Gue nggak mau ngerjain sendirian," bujuk Saga yang akhirnya membuat Aksel kembali duduk.

"Ya, lo bertingkah aneh dari tadi. Gue takutnya lo kesambet penunggu kosan apa gimana?"

"Gue baik-baik aja, Aksel. Lo parno sih jadi orang. Hehe." Saga terkekeh lagi.

"Kan? Lo nggak waras kayaknya, perlu gue bacain doa apa gimana?" Aksel mengangkat kedua tangannya siap berdoa, namun mendapat geplakan dari Saga.

"Sakit!"

"Ya makanya jangan mikir aneh, lo."

Aksel  mendengus, kemudian kembali menghadap laptopnya. Mereka berdua sedang mengerjakan tugas bersama, bukan tugas kelompok sih, tetapi sudah jadi kebiasaan Aksel untuk numpang mengerjakan di kosan Saga.

"Sel, menurut lo, Mbak Jihan itu gimana?" Tanya Saga tiba-tiba.

"Hah? Ngapain lo mikirin senior lo itu? Lo suka?"

"Nggak gitu, tapi dari apa yang gue tahu kemarin tuh, kayaknya Mbak Jihan nggak sejahat yang gue pikirin deh."

"Emang kemarin lo diapain sama Mbak Jihan?  Dia berubah jadi lemah lembut apa gimana?"

Saga menatap Aksel sejenak kemudian menggeleng, "Nggak yang berubah lemah lembut gitu, Sel. Tapi apa ya ... ucapannya tetep galak dan dingin sih, tapi sikap dia nggak seburuk itu. Dia bisa aja loh, mengabaikan gue dan masuk sendirian setelah gue anter. Mengingat betapa kejamnya dia sama gue pas telat ngirim desain waktu laptop gue rusak, justru kemarin dia minjemin laptop dia ke gue supaya bisa kejar deadline dari Mas Raka."

"Ya, bisa jadi dia mau bantu si Mas Raka itu, 'kan? Bukan lo nya, tetapi Mas Rakanya."

Ucapan Aksel barusan membuat Saga tertegun.

Iya juga, ya?

Mungkin maksud Mbak Jihan bukan untuk membantunya, tetapi secara tidak langsung membantu Mas Raka. karena pasti Mas Raka banyak kerjaan dan handle semua sendirian di kantor. Dan lagi, kebetulan dia memang sedang bersama Mbak Jihan waktu itu. Misal mereka tidak sedang bersama, mana mungkin Mbak Jihan membantunya, iya 'kan?

Seketika Saga merasa tak menyukai pemikiran itu. Tidak tahu kenapa, rasanya kecewa jika sikap Jihan padanya hanya sekedar perantara.

"Heh! Kenapa malah ngelamun?" Aksel melambaikan tangan kanannya di depan Saga, mengalihkan kembali perhatiannya.

"Apa sih?"

"Lo kenapa? Patah hati karena omongan gue?" tatapan menyelidik dari Aksel bisa melihat bahwa suasana hati Saga sudah berubah. "Sorry, deh. Maksud gue nggak gitu."

"Gue nggak patah hati. Biasa aja," jawab Saga yang kemudian fokus kembali menghadap laptopnya.

Aksel tersenyum melihat perubahan sikap Saga. Sahabatnya ini memang tidak banyak berinteraksi dengan perempuan, padahal Saga tipe cowok yang banyak disukai para wanita. Saganya aja yang cuek.

Tapi sepertinya si Mbak Jihan ini bisa membuat kecuekan Saga berubah menjadi ketertarikan.

***

Jam kantor sudah usai sejak tadi, namun ruangan berdinding kaca yang terletak di sebelah area pelayanan, masih tampak diterangi lampu.

Raka masih ada di sana, ditemani satu layar komputer utama dan satu laptop yang menyala menampakkan pekerjaan yang berbeda.

Sebenarnya, Raka meng-handle hampir semua pekerjaan. Khususnya milik klien lama atau klien rekomendasi dari Pak Hendra. Belum lagi, dia harus mengecek ulang pekerjaan karyawan yang lain, memastikan tidak ada kesalahan dalam pekerjaan mereka, yang biasanya akan dia perbaiki diam-diam. Bukannya sok baik, tapi Raka hanya ingin menjaga segala sesuatunya dengan rapi tanpa kesalahan yang berarti.

Meski di posisinya yang sekarang, dia bisa dan berwenang memberi perintah atau menegur siapa pun di kantor. Tetapi Raka tidak suka situasi rumit dimana dia harus menjelaskan banyak hal, mengulang kembali semua hal yang perlu dikatakan, membuat orang lain paham akan tanggung jawab dalam pekerjaan mereka, itu cukup melelahkan.

Cukup dia selesaikan sendiri, diam-diam.

Tetapi Jihan adalah kebalikannya.

Jika Raka tidak mau ada keributan yang melelahkan, maka Jihan suka meributkan semua hal yang merupakan kesalahan. Entah kesalahan besar atau kecil. Bagi Jihan, menanamkan kesadaran pada orang lain itu perlu. Dalam hal ini Jihan akan melakukannya dengan kalimat atau ucapan yang bisa membuat orang lain tertampar keras.

Karena itu, hampir semua karyawan di Serenity merasa takut pada Jihan. Namun, Jihan bukan sosok yang hanya bisa marah dan menyambar siapa saja yang menurutnya salah. Pekerjaan Jihan selalu sempurna.

Raka selalu bersyukur memiliki Jihan sebagai rekannya. Dan hal inilah yang membuat Pak Hendra mempercayakan Serenity pada mereka berdua.

Raka menghela, bahunya sudah terasa nyeri akibat terlalu lama duduk di depan layar. Hari ini dia tidak kemana-mana, full di kantor karena Jihan masih cuti. Tetapi kenyataannya Jihan justru ke kantor tiba-tiba.

"Lo tuh mau tidur sekalian di kantor, apa gimana?"

Suara yang akrab di telinga itu mengagetkan Raka. Dilihatnya Jihan kini berdiri di depan pintu ruangannya.

"Han, kok lo di sini? Ngapain? Bukannya gue udah nyuruh lo pulang dari jam 3 tadi?" Tanya Raka heran, tidak menyangka Jihan muncul.

"Gue udah pulang kok, tapi gue balik lagi karena lo nggak ada di rumah. So, I think you're already still here."

Jihan melangkah masuk lalu duduk di hadapan Raka.

"Ka, lo tuh sampe kapan sih mau begini? Nggak semua hal harus lo urus sampe segitunya, Ka."

Raka hanya tersenyum mendengar omelan Jihan. "Coba deh lo ngomong sama diri sendiri. Lo juga sama kayak gue, Han. Gue cuma mau memastikan semua baik-baik aja."

"Ya, kalo gue nggak mau sampe segitunya benerin kesalahan mereka. Dengan cara membebani diri lo sendiri, trus diem-diem ngerjain semuanya sendirian? It was a stupid things, Ka."

"Jihan, gue nggak apa-apa ...."

"Ya, lo emang ngerasa nggak apa-apa. Tapi, gimana dengan orang-orang yang lo bantuin ini? Mereka nggak ada rasa terima kasihnya sama lo."

"Gue ngelakuin ini bukan pamrih, Han."

Jihan menatap Raka dengan tatapan kesal, dia tahu Raka sebenarnya sama keras kepala sepertinya dalam hal seperti ini.

"Lo tinggal tegur dan kasih mereka arahan untuk mereka memperbaiki diri dan kerjaan mereka. Bukan lo yang turun tangan begini."

"Nggak apa-apa, Han."

"Hahh ... capek gue ngomong sama lo."

Raka hanya membalas ucapan Jihan denga  cengiran kecil, berharap sang sahabat bisa memakluminya.

"Sekarang lo matiin semua komputer. Kalo nggak, gue cabutin semua kabelnya," ancam Jihan.

"Ini kurang dikit, Han. Masih ada tiga email yang—"

"Sekarang, Raka."

Raka hanya bisa menghwla pasrah, mungkin ada baiknya dia mengistitahatkan tubuhnya. Dimatikannya semua komputer setelah menyimpan kembali semua pekerjaannya.

"Bebek goreng di Mang Jafar, oke? Gue laper," ucap Jihan yang kemudian berjalan keluar ruangan lebih dulu.

"Terserah deh, kita juga lama nggak ke sana," jawab Raka sambil mengunci pintu, lalu menyusul Jihan.

"Lo tadi ke rumah, ngapain?" Tanya Raka lagi setelah mereka berada di parkiran.

"Mau ngajakin lo makan malam."

"Kebiasaan, coba deh sekali-kali lo masak, Han."

"Nggak."

Raka tersenyum mendengar jawaban Jihan. Lagi pula, Jihan masuk ke dapur adalah keajaiban. Dan sudah jadi kebiasaan bagi Jihan untuk selalu mengajaknya makan malam di luar. Raka yang memang hanya tinggal sendiri di rumahnya, justru sering memasak untuk Jihan.

"Han."

"Hm?"

"Kalau gue nggak bisa lagi pegang semua kerjaan dengan baik, gimana?"

Jihan menoleh hanya untuk mendapati wajah murung Raka. "Kenapa lagi, deh? Tadi semangatnya berapi-api sekarang padam tanpa jejak?"

Raka hanya menjawab dengan cengiran khas dirinya sebelum kena gebuk dari Jihan karena keusilannya itu.

Keduanya naik motor meninggalkan pelataran Serenity. Tanpa menyadari sepasang mata yang mengamati kepergian mereka dari seberang jalan. Tatapan yang biasa saja namun, membuat si pemilik harus menbelan fakta bahwa pemikirannya benar adanya. Semua hanya karena eksistensi seseorang dan tanggung jawab yang di embannya.

.
.
.

Bersambung.

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro