Bab 8. Penilaian Sikap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Berulang kali hembusan napas panjang terdengar pelan dari sosok Saga yang kini duduk di ruang tamu kos Jihan.

Bilangnya sih kos, tapi bagi Saga ini lebih mirip seperti rumah mini yang memang cocok untuk ditinggali satu orang. Sangat berbeda dengan kosnya yang hanya petak ruangan ukuran 4x4 meter yang di dalamnya sudah termasuk kamar mandi.

Sebenarnya yang membuatnya paling bingung dan heran adalah dirinya sendiri yang entah kenapa setuju untuk mengikuti tawaran Jihan. Logikanya sedang menimbang apakah sikapnya ini benar atau salah. Terlebih orang itu adalah Mbak Jihan, bukan teman kampusnya, tetapi sosok senior yang ditakutinya.

Ngomong-ngomong, setelah mengajak Saga masuk ke ruangannya di lantai 2, Jihan sendiri sibuk di dapur mininya. Memasak sarapan untuk mereka berdua. Jihan juga meminjamkan laptopnya pada Saga, agar pemuda itu bisa memenuhi tugasnya pada Raka.

"Gue udah selesai masaknya, sini sarapan."

Suara Jihan yang sebenarnya biasa saja itu berhasil mengagetkan Saga, pandangannya beralih pada sosok Jihan yang kini sesang memindahkan masakannya di meja makan.

"Iya, Mbak."

Ragu, Saga menatap bergantian antara laptop dan meja makan.

"Tinggalin dulu, Raka nggak akan marah kalaupun lo telat ngirim. Nggak kayak gue."

Saga membuka mulutnya untuk menyanggah, sungguh sepertinya Mbak Jihan adalah pendendam mengingat seniornya itu tidak lupa dengan kata-katanya beberapa waktu lalu.

Akhirnya, Saga beranjak dari duduknya menghampiri Jihan yang sudah menunggunya.

"Udah selesai?" tanya Jihan ssaat Saga duduk di hadapannya.

"Kurang dikit, Mbak."

Jihan mempersilahkan Saga untuk mengambil makanannya lebih dulu.

"Maaf ya, Mbak. Saya justru ngrepotin Mbak Jihan kayak gini."

"Anggap ini rasa terima kasih serta balasan dari gue, karena lo udah anterin gue di tengah hujan."

Saga melirik Jihan sekilas, seulas senyum tipis tersemat di bibirnya. "Iya, Mbak. Sama-sama."

Menit-menit selanjutnya, hanya diisi oleh suara denting peralatan makan tanpa sepatah kata apa pun dari keduanya.

"Biar saya yang beresin aja, Mbak," tawar Saga setelah mereka selesai makan. Lebih baik dia mencuci piring kotor sebagai balasan sarapan dari Jihan.

"Nggak usah, nanti gue cuci aja."

"Nggak apa-apa, Mbak."

Jihan hanya diam saat Saga kemudian berdiri memunggunginya, mencuci piring dan bekas masak yang tadi ditinggalkannya.

Jihan sendiri tak habis pikir kenapa dia akhirnya justru membawa Saga ke kosnya dan menawarkan sarapan. Biasanya dia tidak akan peduli pada hal-hal semacam itu dengan orang lain. Apa karena ada sedikit rasa bersalah yang masih tersisa atas kejadian tempo hari?

Entahlah, Jihan tidak tahu dan tidak mau berpikir jauh. Dia lalu beranjak ke ruang tamu, melihat hasil pekerjaan Saga.

Lumayan.

Saga memang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Dia banyak menuangkan ide kreatif dan menarik pada setiap pekerjaannya. Memperhatikan detail kecil, bahkan menyelaraskan warna, font, juga kalimat di dalamnya. Itu cukup membuat Jihan terkesan. Tak banyak anak muda yang sedetail itu dalam mengerjakan tugas, apalagi mereka hanya paruh waktu. Biasanya hanya asal-asalan kerja, cari aman tanpa kesalahan dan kurang maksimal.

"Apa ada yang salah, Mbak?" Saga sudah berdiri di samping Jihan, sedikit merasa was-was karena ekspresi serius Jihan saat melihata hasil pekerjaannya.

"Nggak."

"Ini saya lanjutin dikit di sini, nggak apa-apa, Mbak? Soalnya nanggung kalau saya pulang, nanti ditungguin Mas Raka."

Jihan hanya mengangguk sebagai jawaban, tanpa mengatakan apapun lagi dia sibuk dengan ponselnya dan membiarkan Saga kembali fokus pada pekerjaannya.

Gerimis masih setia menemani di pagi ini, membuat orang-orang yang harus bekerja menjadi sedikit repot atau bahkan malas untuk keluar bagi mereka yang masih terjebak di rumah.

Jihan memeriksa beberapa email dari pekerjaannya yang kemudian dia follow up pada Raka. Jihan sendiri tidak terlalu suka berdiam diri di rumah seperti ini. Dilirikya Saga yang masih mengutak-atik pekerjaannya. Kemudian Jihan beranjak ke kamar mandi, meninggalkan Saga sendirian yang tampaknya juga tidak sadar dengan kepergian Jihan.

Meski masih belum sempurna, Saga akhirnya mengirim hasil pekerjaannya setelah menerima pesan dari Raka. Sedikit tidak puas, tapi dia dikejar waktu. Semoga masih ada revisi lanjutan nanti, dia tidak masalah.

Saga sendiri heran, pekerjaannya jarang ada revisi lanjutan seperti teman-temannya yang lain. Mungkin hanya satu-dua saja, tapi kebanyakan tidak ada revisi.

"Lo udah selesai, 'kan?" Jihan kembali dengan pakaian rapi dan membawa tasnya.

"Udah, Mbak. Baru submit ke Mas Raka. Mbak Jihan mau kemana?"

"Anterin gue ke Serenity."

"Eh? Ngapain, Mbak? Bukannya masih cuti sakit?" Saga tidak mengerti kenapa seniornya itu sekarang justru repot ingin pergi bekerja. Padahal orang lain pasti lebih suka menghabiskan masa cuti mereka dengan nyaman di rumah.

"Lo mau anterin, nggak? Kalau lo keberatan, gue bisa naik taksi." Jihan kemudian berjalan menuju pintu yang langsung disusul oleh Saga setelah buru-buru mengemasi barangnya.

"Saya antar! Tunggu, Mbak!"

Jihan menatap datar pada Saga yang sedang memakai jaketnya buru-buru di depan pintu sebelum Jihan menutupnya lalu berjalan mendahului.

***

"Lo dimana deh? Kan udah gue bilang kalau gue ada kelas jam 11," omel Aksel saat Saga akhirnya pulang.

"Sorry, tadi ada kejadian nggak terduga. Gue ketemu Mbak Jihan."

"Mbak Jihan? Oh, senior lo di kerjaan paruh waktu? Yang lo bilang galak banget itu?"

Saga mengangguk, menyandarkan punggungnya di kursi kayu yang ada di teras kos mereka.

"Kok bisa? Terus lo ngapain?"

"Ya nggak sengaja ketemu, terus pas mau pulang tadi hujan deres, 'kan. Gue nawarin diri buat nganter dia barenga balik ke kos."

"Hah? Lo aneh deh, Ga. Bukannya lo bilang kalo lo nggak suka sama dia? Lo kesel tiap diomelin sama dia, 'kan?" Aksel tidak menyangka sahabatnya itu akan bernasib tak beruntung bertemu senior galak.

"Iya, sih. Gue kesel, tapi nggak tega liat dia berteduh sendirian di tengah hujan."

Mendengar jawaban Saga, membuat Aksel hanya bisa menggeleng tak habis pikir.

"Lo tuh kayaknya emang punya penyakit terlalu baik deh, Ga. Kebiasaan yang bikin lo dimanfaatin sama orang-orang nggak bertanggung jawab."

"Tapi 'kan tadi gue yang nawarin."

"Iya, tadi lo yang nawarin. Bisa jadi besok-besok lo yang disuruh-suruh."

"Mbak Jihan nggak kayak gitu, Sel."

"Dih, malah dibelain. Benerandi manfaatin nanti baru tahu rasa lo. Udah, gue berangkat dulu."

Aksel kemudian mengambil kunci motor dari atas meja, lalu segera memacu kuda besinya itu ke kampus. Sebenarnya kosan Aksel dan Saga berbeda dan hanya berjarak dua gang, tetapi Aksel lebih suka menitipkan motornya di kos Saga.

Saga meregangkan otot lengannya sebentar sebelum kemudian masuk ke kamarnya.

Meletakkan kantong belanjaannya tadi, dia kemudian mengeluarkan isinya untuk di tata. Namun, gerakan tangannya terhenti saat mengambil set sikat gigi.

Di kepalanya kembali terputar adegan saat dia dan Jihan merebutkannya. Lucu, seperti adegan di film-film romantis. Tetapi itu tidak romantis, karena wanita itu adalah Mbak Jihan.

Dipikir-pikir lagi, kenapa dia tiba-tiba menawarkan diri dengan begitu baik pada Jihan?

Benar apa yang dikatakan Aksel, kalau seharusnya dia tidak perlu melakukan hal-hal baik seperti itu. Tetapi setelah kejadian kemarin saat dia mendapati Jihan pingsan, rasanya ada setitik rasa iba dan kasihan pada sosok seniornya itu. Ada rasa tidak tega, terlepas betapa jutek dan galaknya sikap Jihan padanya.

Tadi pun, Jihan masih bersikap galak. Yah, meski Saga berterima kasih karena berkat Mbak Jihan dia bisa menyelesaikan tugas dari Mas Raka tepat waktu.

Saga jadi berpikir, seandainya tadi dia sedang tidak bersama Jihan, dan tugas itu diberikan oleh Jihan, apakah dia akan kena amuk jika tidak tepat waktu? Apakah Jihan dapat menerima alasannya seperti tadi?

Tanpa sadar Saga mendengus lalu menggeleng pelan.

Sepertinya tidak mungkin. Dia pasti akan kena omelan dan amukan seperti biasanya.

Saga tidak membawa set sikat gigi barunya ke kamar mandi, malah justru menyimpannya di dalam lemari. Disertai senandung kecil dari bibirnya.

***

Raka mengernyitkan dahinya kesal, berkacak pinggang, menatap perempuan yang kini duduk di depan komputernya.

Jihany Saraswitha.

Perempuan yang beberapa jam lalu diberi izin olehnya untuk tidak masuk, perempuan yang tadi diomelinya untuk tidak memikirkan pekerjaan dan menyuruhnya untuk beristirahat. Sekarang perempuan itu sudah berada di ruangannya, sibuk dengan pekerjaannya.

"Nggak usah liatin gue kayak gitu. Nanti bola mata lo bisa lompat keluar kalo terlalu lama melotot," ujar Jihan santai pada Raka.

"Lo ngapain di sini sih, Han? Gue udah bilang 'kan, lo tuh butuh istirahat!" sembur Raka langsung.

"Nggak enak, Ka, di rumah diem kayak orang bego. Lagian seperti yang lo liat, gue udah sembuh."

Raka berjalan cepat menghampiri Jihan, lalu menarik wajah Jihan untuk menghadapnya.

"Sembuh dari mana? Lo masih pucet, badan lo masih anyep begini, dan lo maksain diri buat tetep kerja?" melepas tangannya dari wajah Jihan, Raka kemudian duduk di tepian meja dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Gue nggak pucet, ini tadi buru-buru nggak sempet make up. Terus ini badan gue cuma dingin karena cuaca habis hujan, Ka. Nggak usah berlebihan, Raka."

"Lo itu beneran kepala batu ya, Han. Capek gue ngomong sama lo," sungut Raka masih kesal.

"Lo segitu nggak percayanya sama gue untuk handle kerjaan lo, Han?"

"Nggak gitu, Raka. Gue nggak enak kalau harus ngerepotin lo lagi. Beneran gue udah lebih baik kok, nggak apa-apa." Jihan menatap Raka dengan senyum yang sengaja dia tunjukkan agar sahabatnya itu tidak marah.

"Huft, terserah lo deh, Han. Tapi lo kerjain di ruangan gue aja, biar gue bisa ngawasin lo."

Jihan meringis, tidak berusaha membantah Raka lagi. Lebih baik dia menurut daripada harus berdebat dan menimbulkan keributan.

Raka sendiri baru kembali dari bertemu klien mereka. Zaki yang memberitahunya kalau Jihan datang ke kantor, jadi setelah urusannya selesai, Raka buru-buru kembali ke ruangannya.

"Tau gitu, gue jemput, Han. Lo sih, ngeyel masuk. Pasti ribet nunggu angkot, mana gerimis 'kan tadi," gerutu Raka yang kemudian duduk di samping Jihan.

"Gue nggak naik angkot."

"Lah? Naik ojek online? Lo tuh ya—"

"Nggak. Gue nebeng si anak freelance."

"Hah?"

Jihan melirik sekilas pada Raka yang menaikkan alisnya bingung dan meminta jawabannya.

"Siapa?"

"Hm, itu si anak senja."

"Hah? Siapa lagi?"

"Saga. Namanya Arung Sagara Senja, 'kan?" Jawab Jihan dengan malas.

"Kok bisa?"

Satu pertanyaan dengan suara naik beberapa oktaf dari Raka membuat Jihan menutup telinga dan melirik temannya itu dengan kesal.

Apa sih, Raka? Emang salah ya, kalau dia nebeng Saga?

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro