Bab 7. Hujan Pagi Itu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

"Gue udah dibantu Zaki sama Eren, lo nggak usah khawatir."

Raka sedang ada di ruangannya, sibuk merevisi beberapa pekerjaan dari anak-anak paruh waktu. Dia sudah memberi izin cuti untuk Jihan karena rekannya itu masih sakit dan butuh istirahat.

'Tapi kerjaan gue banyak, Ka. Belum selesai, meski cuma nunggu revisian dan butuh approvment dari beberapa orang.'

"Iya, udah gue handle semua. Lagian ini anak-anak udah nggak terlalu sibuk. Bisalah beberapa bantuin kerjaan gue."

'Tapi, Ka ....'

"Lo istirahat aja yang bener." Raka melepas kacamatanya lalu menyandarkan punggungnya lelah. "Lo pasti begini karena terlalu mikirin omongan Pak Hendra kemarin, ya?"

'....'

"Han, lo nggak perlu merasa terbebani dengan itu. Lo nggak sendirian, ada gue di samping lo yang selalu siap kapan pun lo butuh. Ada anak-anak lain yang bisa bantuin juga. Masalah pelayanan dan kualitas kerja yang dibilang sama Pak Hendra, nanti kita bicarakan bareng-barenga sama anak-anak setelah lo balik. Biar semua ada dan paham dengan tugas dan kewajiban mereka."

'Iya, gue tau.'

"Lo tau, tapi lo batu dan tetep mikirin semuanya sendirian. Semua yang ada di kantor adalah tanggung jawab kita bersama, Han. Bukan hanya lo atau gue. Lagian, percuma kita berdua berusaha mati-matian kalau rekan kita yang lain nggak melakukan hal yang sama. Hasilnya akan timpang di akhir. Makanya, lo istirahat yang cukup. Nanti kalau lo udah enakan, bisa masuk kerja lagi, nanti kita omongin bareng-bareng. Okay?"

'Iya. Thanks ya, Ka. Lo selalu jadi temen sekaligus partner terbaik gue.'

"Yup, sama-sama, Han. Gue seneng kok ngelakuinnya."

Jihan tersenyum mendengar ucapan Raka sekalipun temannya itu tidak dapat melihatnya. Sungguh, rasanya memiliki seorang teman seperti Raka adalah hal terbaik dalam hidup Jihan.

'Em, Ka? Bisa nggak, lo kirim beberapa kerjaan gue yang udah revisi ke email. Biar gue bantu cek dari rumah.'

"Nggak! Jihan, lo tuh ya-"

'Okey, okey, nggak usah. Nggak jadi, iya gue percaya sama lo.'

"Please, jangan ngeyel dan bikin gue pusing, nih."

'Maafin...'

"Iya dimaafin, emang kapan gue bisa marah ke lo? Eh, btw, lo udah bilang makasih ke Saga belom? Gue maksa minta tolong ke dia pas dia ngabarin lo pingsan kemarin. Gue sempet ragu, soalnya, lo dalam keadaan sehat pas gue pergi sama Pak Hendra."

'Oh, itu gue juga nggak tau kenapa tiba-tiba pingsan. Tapi gue udah bilang terima kasih kok, ke tuh anak. Heran, dia ngeyel banget dan beneran berpotensi bikin gue emosi. Pake maksa-maksa gue di Rumah Sakit dan bilang kalo lo yang nyuruh dia.'

"Emang gue yang nyuruh, soalnya gue masih pergi sama Pak Hendra waktu itu. Gue aslinya pengen balik ke lo, tapi nggak bisa."

'Ka, makasih banyak ya. Untuk semua hal yang udah lo lakuin buat gue.'

"Iya, makasih mulu, lo. Udah istirahat sana, gue mau lanjut kerja."

Raka tersenyum begitu sambungan teleponnya dengan Jihan terputus. Baginya, Jihan adalah seseorang yang tidak hanya menjadi rekan, teman, tetapi juga sekaligus wanita yang dikagumi olehnya. Jihan itu berbeda, dia kuat, mandiri.

***

JIhan sebenarnya sudah merasa lebih baik. Tubuhnya tidak selemas kemarin, tetapi mungkin benar apa yang dikatakan oleh Raka bahwa dia perlu istirahat,

Berjalan ke dapur lalu membuka lemari penyimpanan yang ternyata hanya berisi camilan ringan, Jihan menghela. Dia belum sempat belanja untuk keperluan bulanannya. Awal bulan kemarin masih ada sisa stok makanan, jadi dia tidak belanja. Maklum, anak kos sepertinya harus menyetok banyak sebelum terlupa oleh banyaknya kebutuhan yang lain.

Segera mengambil jaketnya, Jihan pergi berbelanja ke supermarket lalu berniat m membeli sarapan di dekat pasar Minggu. Dia jarang memasak, lebih sering membeli di luar atau makanan instan yang harus dipanasi saja.

Abang ojek online sudah menunggunya di luar gerbang, Jihan tidak memiliki kendaraan atau motor. Ada sih di rumah, tapi dia malas membawanya ke kos. Lebih suka naik kendaraan umum untuk bepergian atau ojek online seperti ini.

Di hari Selasa pagi seperti ini, suasana supermarket tidak terlalu ramai. Jihan bersyukur, karena itu artinya dia bisa belanja dengan tenang dan lebih cepat. Mengambil keranjang lalu segera mencari keperluan yang ada di daftar belanjaannya, Jihan mulai menyusuri rak demi rak. Mengambil beberapa sayur segar, telur, mie instan, selai, roti, juga mie instan yang tidak pernah ketinggalan dari listnya. Keperluan toiletris juga tak lupa dibelinya.

Jihan berhenti di depan rak sikat gigi, stoknya sudah habis, sisa yang dipakainya sekarang. Diamatinya sikat gigi yang tergantung, melihat mana yang menarik meski sebenarnya semua sikat gigi hampir sama. Matanya teralih pada satu set sikat gigi isi tiga dengan warna cerah yang tinggal satu. Tangannya terulur untuk mengambilnya, namun ada tangan lain yang bersamaan mengambilnya juga.

"Maaf, saya duluan yang ambil."

"Nggak bisa dong, saya duluan. Sebelumnya nggak ada orang selain saya."

"Mbak Jihan?"

Kedua mata Jihan membola saat menoleh dan mendapati sosok yang tak ingin dilihatnya itu berdiri di sampingnya. Saga.

"Lo? Kok ada di sini?"

"Ini Mbak, saya sedang belanja," jawab Saga yang kemudian melepas tangannya dari set sikat gigi. "Kalau begitu sikatnya buat Mbak Jihan aja."

"Nggak deh, ambil aja kalo lo mau. Gue bisa nyari lainnya." Jihan mengulurkan set sikat gigi itu pada Saga.

"Nggak usah, Mbak. Saya masih ada kok," tolak Saga sopan sambil menyunggingkan senyum tipis. Dia tidak mau menjadi korban kekesalan Mbak Jihan lagi.

Jihan menatap Saga sejenak sebelum akhirnya melempar set sikat gigi itu dalam keranjang Saga. "Ambil dan jangan bikin gue kesel."

Saga hanya meringis dan memilih untuk menuruti seniornya itu.

"Mbak Jihan udah sehat?"

Pertanyaan yang membuat Jihan melirik sekilas pemuda yang kini sama-sama berjalan mendorong troli di sampingnya itu.

"Ya, seperti yang lo liat. Udah mendingan."

"Syukur deh, kalau gitu," gumam Saga begitu pelan namun ternyata masih terdengar oleh telinga Jihan.

"Kenapa? Lo harusnya seneng 'kan gue libur gini? Nggak ada yang ngomelin lo sama temen-temen lo."

"Kok Mbak Jihan mikir gitu?" Saga menoleh untuk melihat raut wajah Jihan, apakah seniornya itu marah. Namun Jihan terlihat biasa saja.

"Ya, kenyataannya gitu, 'kan? Kalian pasti seneng kalo gue nggak ada. Bukannya kalian benci gue omelin tiap hari?"

"Ya ... nggak gitu juga, Mbak-" ucapan Saga terhenti saat mereka sampai di kasir. Jujur dia tidak tahu harus menjawab bagaimana.

Jihan dengan cepat menyelesaikan pembayaran, ingin cepat-cepat pergi. "Gue duluan ya,"

Belum sempat Saga membalas, Jihan sudah melenggang pergi. Melihat itu, Saga segera menyelesaikan belanjaannya sendiri sebelum bergegas mengejar Jihan. Sayangnya, sosok Jihan sudah tidak terlihat di manapun. Saga menghela, dia sebenarnya tidak ingin berada di situasi yang tidak nyaman saat bersama Jihan. Dia ingin rasa canggung dan sedikit takut yang membatasinya itu hilang. Dia ingin bekerja dengan tenang tanpa rasa was-was dengan sosok seniornya itu.

Saga pun pergi ke parkiran untuk mengambil motor, namun siapa sangka tiba-tiba hujan turun deras. Terburu menggunakan mantelnya, Saga bergegas untuk pulang. Dia lapar, ingin segera memasak mie di kosnya.

Begitu melewati pos satpam, kedua netranya menangkap bayangan tidak asing yang sedang berteduh di samping tempat jaga tersebut.

"Mbak Jihan!"

Yang dipanggil pun menoleh, meyakinkan Saga bahwa dia tidak salah orang.

"Nungguin siapa, Mbak?" Saga menghentikan motornya di hadapan Jihan.

"Gue nunggu ojek online, tapi malah hujan," jawab Jihan yang berusaha menghindari percikan air hujan.

"Bareng saya aja, Mbak!" tawar Saga setengah mengeraskan suaranya yang teredam bunyi hujan.

"Nggak usah, udah terlanjur pesen."

"Dibatalin aja, Mbak. Daripada nunggu kelamaan, Mbak Jihan kehujanan. Nanti sakit lagi."

"Nggak apa-apa, lo duluan aja."

Saga hanya diam menatap seniornya itu, tidak ada kata yang terucap selama beberapa aaat.

"Mbak Jihan, boleh nggak sih sekali aja, nerima bantuan orang lain tanpa nolak? Saya nggak ada maksud jahat loh sama Mbak Jihan. Saya begini karena saya peduli sama Mbak Jihan sebagai senior saya."

Lagi, Saga tidak bisa mengerem mulutnya untuk tidak bicara panjang dan menyuarakan isi kepalanya.

"Gue nggak ada mantel," jawab Jihan pada akhirnya.

Tanpa berkata-kata lagi, Saga turun dari motornya, membuka jok lalu mengulurkan sebuah mantel pada Jihan.

"Ini saya ada, pake aja "

Meski sedikit ragu, Jihan menerima mantel dari Saga lalu memakainya. Kemudian naik ke belakang boncengan Saga

"Ya udah, buruan. Gue nggak mau kebasahan."

Saga mengangguk, lalu mulai menjalankan motornya meneroboa hujan dengan segaris senyum di bibirnya.

***

"Thanks, udah mau anterin."

Mereka sudah sampai di kosan Jihan. Hujan sudah mereda, menyisakan gerimis yang masih awet sampai siang.

"Iya, Mbak. Sama-sama, kalau gitu saya pamit dulu ya," pamit Saga setelah menerima kembali mantelnya.

Namun, sepertinya rasa canggung diantara mereka memang tidak bisa diputus begitu saja. Begitu Saga hendak berbalik, bunyi tak asing dari perutnya tiba-tiba memecah keheningan diantara mereka.

Sial.

Dia tadi memang lapar dan membeli mie instan untuk sarapan, tetapi bertemu Jihan membuatnya melupakan rasa laparnya. Lalu sekarang, cacing di perutnya dengan tidak tahu malu justru menagih makan di waktu yang tidak tepat.

"Masuk dulu deh. Gue bikinin sarapan. Gue juga laper, tadi niatnya mau sekalian beli bubur di deket pasar Minggu tapi malah hujan." Jihan membuka pagar kosannya, mempersilahkan Saga untuk masuk.

"Eh, nggak usah Mbak. Saya pulang aja," tolak Saga kepalang malu.

Ting!

Bunyi notifikasi pesan masuk ke ponsel keduanya. Dari grup Serenity paruh waktu.

'Tolong dikirim contoh desain logo bakery yang tadi pagi ya. Bukan tag urgent tapi klien minta dikirim hasil sementara untuk diskusi.' - Raka

'Eh, siapa yang ngerjain ya?' - Raka

'Saya, Mas.' - Raga

Raga dengan cepat membalas pesan dari Raka, tadi pagi dia sudah melihat pembagian tugas dan materi di emailnya. Tetapi Saga belum mengerjakannya, niatnya sih mau dikerjakan setelah belanja.

'Udah kamu kerjain? Sorry, tapi bisa kamu selesaikan 1 jam lagi nggak, Ga?' - Raka

Tanpa sadar Saga mendengus kecil sebelum, kembali mengetik balasan untuk Raka.

'Saya sedang keluar, Mas. Akan saya usahakan secepatnya.' - Saga

Menutup ponselnya cepat, Saga menatap Jihan. Tiba-tiba saja dia merasa sedikit nge-blank. Untung saja hari ini dia tidak ada jadwal kelas, tapi dia khawatir gerimis akan menghambatnya melaju cepat dari kos Jihan ke kosnya sendiri.

"Masuk deh, capek gue berdiri di gerbang." Jihan berbalik masuk ke kosnya, meninggalkan Saga yang masih diam di samping motornya. "Lo masuk, atau gue bilang Raka untuk ambil tugasnya sekarang."

"Tapi, Mbak ..."

"Masuk. Sekarang. Lo bisa kerjain di atas."

Saga mau tidak mau akhirnya membawa motornya masuk ke parkiran kos Jihan. Lalu mengekori seniornya itu, yang sudah menunggu dengan wajah datar di depan pintu.

.
.
.

Bersambung.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro