Bab 6. Situasi Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Saga berkeringat dingin setelah mengirimkan pesan pada Jihan yang sebenarnya tidak bermaksud buruk itu. Hanya saja dia merasa kesal pada seniornya itu. Saga tahu, itu salah satu bentuk profesionalisme kerja Jihan, tapi terlalu sering marah-marah pada rekan apalagi junior bukan sesuatu hal yang bagus juga. Bisa jadi sikap Jihan nanti justru jadi bumerang dan membuat rekan lain tidak nyaman.

Tapi setelah dipikir-pikir seharusnya dia tidak mengatakan hal seperti itu, 'kan? Apalagi dia hanya anak magang. Tapi sudah terlanjur. Dan dia kini harus bersiap menunggu amukan dari sang senior.

Oke, sorry. - Jihan

Hah?

Saga mengerjapkan matanya beberapa kali, demi meyakinkan bahwa dia tidak salah lihat dan tidak salah baca.

Hanya itu tanggapan Mbak Jihan?

Nggak marah?

Nggak ngomel?

Saga hanya bisa diam dan tiba-tiba saja merasa tidak enak. rasanya seperti akan menghadapi badai setelah hari yang tenang.

***

Setelah itu, berhari-hari kemudian Saga tidak pernah lagi mendapat omelan dari Jihan. Seniornya itu juga semakin menjaga jarak seperti sebelumnya. Interaksi mereka juga hanya pendek, pekerjaan Saga memang minim revisi dan kalau pun ada revisi maka Raka yang akan menyampaikannya.

Bukan hanya pada Saga tapi Jihan juga jarang marah-marah pada Tristan atau Salsa.

Ini beneran Mbak Jihan berubah atau gimana? - pikir Saga.

Anehnya dengan situasi ini Saga justru merasa tidak nyaman. Ingin sekali dia menanyakannya pada Raka tapi dia sadar itu bukan haknya.

"Eh, Tristan, ngerasa ada yang aneh nggak sih?" tanya Saga sore itu.

Sejak kejadian laptop, Saga dan Tristan menjadi sering bertemu setelah selesai kuliah dan bertemu di kafe depan taman kota seperti sekarang. Mereka sedang menunggu Aksel yang tengah memesan menu untuk mereka.

"Apanya?"

"Itu, Mbak Jihan sekarang nggak pernah marah-marah 'kan sama kita," ujar Saga mencoba membicarakannya dengan Tristan.

"Eh, tapi bagus dong. Kita nggak harus di marahin sama mbak Jihan. Dulu gue ngerasa horor, lebih mendebarkan daripada dikejar dosen tiap Mbak Jihan nagih desain atau revisi."

"Iya juga, gue ngerasa berat dulu tiap Mbak Jihan udah muncul. Tapi sekarang dia juga jarang muncul di grup juga, 'kan? Kayaknya Mas Raka terus."

"Sibuk kayaknya, jadi di handle Mas Raka semua."

Saga manggut-manggut mendengar penjelasan Tristan. Masuk akal sih, mungkin seniornya itu sangat sibuk sampai tidak pernah marah-marah lagi. Semoga saja memang begitu.

***

Raka menghela napasnya panjang, ketika Jihan lagi-lagi melemparkan tugasnya yang berurusan dengan para freelance Serenity padanya.

"Lo kenapa sih, Jihan?"

"Apanya yang kenapa? Gue baik-baik aja."

"Nggak gitu, maksud gue kenapa lo nggak mau banget interaksi sama anak-anak paruh waktu, ada apa lagi?"

Jihan menatap Raka kemudian menghela pendek, "Gue nggak mau buang-buang energi. Lo tahu sendiri kalo gue orangnya pemarah, dan mereka salah satu penyebabnya. Tapi kayaknya sikap gue bikin mereka sakit hati, dan daripada semuanya berantakan gara-gara gue, mending lo yang urus deh. Gue nggak mau kita kehilangan orang kompeten lagi di saat kita lagi butuh banget tenaga kayak sekarang."

"Jihan..."

"Done, case close, Raka. Gue bantuin lo tapi nggak secara langsung."

Raka menatap Jihan dengan sorot mata yang sulit diartikan. Namun, pemuda itu kemudian tersenyum lalu mengusak kepala Jihan lembut, kebiasaannya.

"You doing well, Jihan. Gue sangat berterima kasih sama lo."

"Hm."

"Kita makan siang yuk! Tadi Pak Hendra nitip pesen ke gue, katanya mau makan siang bareng kita. Ada yang mau di omongin katanya," ajak Raka kemudian.

Pak Hendra adalah pemilik Serenity, lebih sering sibuk bekerja di luar kantor hingga jarang berada di Serenity.

Karena sekarang sudah masuk jam makan siang, Jihan dan Raka keluar kantor lalu menuju warung makan bebek goreng lalapan, yang ada di pojok perempatan alun-alun kota untuk bertemu Pak Hendra di sana.

"Jihan! Raka!" panggil seorang pria yang tidak terlalu tua dari meja di ujung dekat jendela.

Keduanya menoleh dan menuju tempat si pemanggil berada.

"Selamat siang, Pak Hendra," sapa keduanya.

"Siang juga, silahkan duduk."

"Maaf, apa Bapak lama nunggu?" tanya Raka sungkan.

"Nggak kok, baru masuk juga. Saya belum pesen nunggu kalian dulu," ujar pria yang bernama Hendra itu.

"Maaf tiba-tiba minta kalian untuk ketemu," ucap pak Hendra sambil mencatat pesanan untuk diberikan pada pelayan warung.

"Nggak apa-apa, Pak."

"Jadi gini, saya terima keluhan dari beberapa klien lama kita. Mereka bilang kinerja kita jadi lebih lamban dari sebelumnya, saya tahu ini disebabkan berkurangnya pegawai kantor kita beberapa waktu lalu. Saya juga tahu kalau kita kesulitan mendapatkan orang baru dalam waktu dekat."

Raka dan Jihan hanya diam mendengarkan Pak Hendra bicara.

"Tapi kita tidak bisa kehilangan kepercayaan dari klien, terutama yang sudah lama kerja sama dengan kita. Saya tahu, kalian sudah berusaha keras tetapi saya memiliki harapan lebih dari kalian," ucap pak Hendra meyakinkan.

"Kalian berdua yang saya percaya untuk bertanggung jawab atas Serenity ketika saya tidak ada di tempat. Kalian berdua adalah yang paling saya andalkan, jadi tolong usahakan semua kerja sama dengan klien lebih terjaga. Terutama kamu Jihan, saya percayakan banyak klien besar pada kamu selama ini, jadi saya berharap lebih pada kamu."

"Baik Pak, saya mengerti. Akan saya usahakan untuk pelayanan yang lebih baik," jawab Jihan.

"Bagus, terima kasih ya. Kalian memiliki tanggung jawab yang sama, tetapi saya serahkan yang di dalam kantor pada kamu Jihan, karena Raka akan lebih banyak mengambil tanggung jawab di luar kantor."

Raka dan Jihan hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan atasan mereka itu. Lalu sisa obrolan mereka selanjutnya masih pada pekerjaan, sampai tak terasa sudah waktunya mereka kembali ke kantor.

"Ternyata sudah hampir dua jam kita di sini. Jihan, kamu balik sendiri nggak apa-apa, 'kan? Saya ada perlu dengan Raka di luar kantor," ucap pak Hendra.

"Iya Pak, nggak apa-apa."

Lalu Pak Hendra dan Raka pergi meninggalkan Jihan sendirian.

Setelah yakin tidak ada orang di sekitarnya, Jihan menunduk dan memijat tengkuknya pelan. Kepalanya sakit bukan kepalang, gadis itu mengangkat kepalanya sampai sesuatu yang dingin mengalir dari hidungnya.

"Iishh, kenapa harus sekarang?" rutuk Jihan yang langsung duduk tegak dengan kepala condong ke depan, satu tangannya menutup hidung yang kini dialiri darah itu sementara tangan yang lain mencari tisu dalam tasnya. Jihan berusaha mempertahankan duduknya tegak meski kepalanya terasa pusing.

"Mbak Jihan nggak apa-apa?"

Suara yang asing di belakangnya membuat Jihan menoleh dan mendapati pemuda dengan tatapan cemas yang kini ada di sampingnya. Pemuda yang dalam satu bulan terakhir ini menjadi orang yang paling sering membuatnya kesal.

"Lo, ngapain di sini?"

"Maaf tapi itu mimisannya nggak berhenti, saya antar ke Rumah Sakit ya, Mbak?"

Efek pusing dan mimisan, tangan Jihan gemetar memegangi pinggiran meja.

Astaga kenapa harus ketemu  dia sekarang? Dan lagi kenapa tiba-tiba ada si anak paruh waktu di sini?

Jihan mengangkat tangannya bermaksud menyumpal hidungnya dengan tisu saat kepalanya berdenyut nyeri sekali lalu setelahnya segalanya menjadi gelap.

"Mbak Jihan!"

***

Hening terasa menyelimuti saat Jihan membuka mata dan mendapati warna biru gorden yang familiar untuknya.

Rumah Sakit.

"Mbak Jihan? Mbak udah sadar?"

Jihan menoleh, manik hitamnya bertatapan langsung dengan pemuda yang duduk cemas di kursi samping ranjangnya.

"Lo? Ini kenapa gue di sini sama lo?" tanya Jihan pelan berusaha duduk meski kepalamya masih sedikit pusing.

"Mbak Jihan tadi pingsan di warung makan, karena hidung mbak Jihan mimisan, saya takut. Makanya saya bawa ke Rumah Sakit," jelas Saga masih terlihat khawatir.

Jihan mengalihkan pandangannya dari Saga sejenak sebelum menghembuskan napasnya panjang, "Terima kasih."

"I-iya, sama-sama, Mbak Jihan."

"Kok lo bisa tiba-tiba ada di warung makan?" tanya Jihan pelan, gadis itu merasa tidak nyaman, sedikit malu, serta tidak menyukai fakta bahwa Saga lah yang menolongnya.

"Saya kebetulan mau makan di sana dan ngeliat mbak Jihan."

"Oh, gitu," Jihan bernapas lega setidaknya si paruh waktu ini tidak melihatnya bersama Pak Hendra dan Raka.

Saga menatap seniornya itu dengan tatapan gugup karena sebenarnya dia berbohong.

Saga sudah berada di warung itu bahkan sebelum mereka datang. Saga juga mendengar semua pembicaraan Jihan dan Raka. Tempat duduk mereka dipisahkan oleh bilik sekat hias yang ada di warung.

"Lo bisa pergi, gue nggak apa-apa. Nunggu infus habis, 'kan?" ucap Jihan bermaksud menyuruh Saga pergi karena dia sama sekali tidak ingin dilihat dalam keadaan seperti ini.

"Tapi, Mbak ..."

"Gue juga mau balik ke kantor. Raka pasti nyariin gue."

"Mbak Jihan isrirahat aja, saya sudah menghubungi Mas Raka tadi."

"Lo ngomong ke Raka? Kenapa lo lancang sih! Harusnya lo tunggu gue siuman dulu!" bentak Jihan yang langsung bangun dari duduknya lalu mencabut lepas selang infusnya.

"Mbak. Maaf kalau saya lancang, tetapi nggak ada yang maksa supaya Mbak Jihan untuk balik ke kantor. Mas Raka udah kasih izin dan nitipin mbak Jihan ke saya, karena mas Raka nggak bisa ke sini sebelum jam kantor selesai." Saga menahan lengan Jihan yang sudah beranjak untuk pergi.

"Kata dokter, mbak Jihan terlalu stres sampai mimisan. Itu artinya mbak Jihan perlu istirahat total."

"Lo itu bukan siapa-siapa, yang berhak ngatur gue!"

"Iya, tapi saya peduli sama Mbak Jihan sebagai sesama manusia. Nggak perlu kenal baik untuk menolong orang lain, Mbak. Bahkan jika itu orang asing, saya tetap akan melakukan hal yang sama," tegas Saga yang membuat Jihan terdiam.

"Mbak Jihan boleh marah-marah atau benci saya setelah ini, tapi untuk sekarang tolong Mbak Jihan ikuti saran saya. Tunggu di sini, saya akan panggil perawat untuk pasang infusnya kembali." Saga kemudian meninggalkan Jihan sendirian.

Saga paham keadaan Jihan yang mungkin merasa bertanggung jawab dengan pekerjaan di kantor, apalagi setelah pembicaraan sebelumnya yang membuat Saga yakin seniornya itu merasa terbebani.

Dengan langkah lebar Saga menuju ruang jaga perawat secepatnya.

Kali ini dia tidak lagi peduli jika Jihan marah padanya. Karena Saga sudah memahami bahwa seniornya itu hanya berusaha bertanggung jawab dan melakukan tugasnya sebaik mungkin.

Di sisi lain, Jihan tidak pernah menyangka akan ditemukan oleh orang yang paling tak di sukainya dalam keadaan seperti ini. Dia memang mengidap Anemia dan terkadang mimisan saat stres, namun tak seorang pun tahu hal itu. 

Lantas kenapa sekarang dia harus di temukan oleh Saga? Orang yang di bencinya.

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro