Bab 11. Seorang Anak dan Gaji Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Yang penasaran sama kantor Serenity, nih aku kasih liat penampakannya. ^^

Ini area ruangan Mas Raka sama Mbak Jihan, sebelahan.

Ini ruang kerja Eren, Zaki dan karyawan Serenity yang lain.

Yang ini ruang tunggu klien, kalo mereka datang ke kantor.

.
.
.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore lewat 35 menit, beberapa karyawan sudah pulang mengingat jam kerja mereka hanya berakhir pukul 5 sore. Jihan yang baru saja selesai memeriksa laporan dari bagian HRD kini bersiap untuk pulang.

Namun, saat melintasi ruangan Raka, dilihatnya rekannya masih berkutat dengan kertas-kertas di mejanya. Jihan mengetuk pintu kacanya dua kali sebelum Raka menoleh dan tersenyum padanya.

"Lembur lagi, apa gimana?" Tanya Jihan berjalan mendekati Raka, mengintip apa yang sedang dikerjakan oleh Raka.

"Ini tadi baru ngecek hasil laporan anak-anak. Pak Hendra minta data orderan masuk dari web bulan ini." Raka melepas kacamatanya lalu memijat tengkuknya. Rasanya kaku sekali.

"Bukannya tiap akhir bulan selalu terima laporan dari kita?"

"Iya, sih, tapi katanya mau liat untuk bikin perbandingan branding web kita sama yang lain."

"Oh, gitu. Ini belum kelar?"

"Udah, sisa ngerapihin sama nyimpen beberapa yang tadi gue revisi. Mau pulang bareng?" Tanya Raka yang dijawab anggukan serta ringisan dari Jihan.

"Lo tuh, emang nggak bisa kalo nggak pulang sama gue," ucap Raka terkekeh sambil merapikan bekas-berkasnya.

"Gue begini karena khawatir ya, sama lo. Kalo nggak gue paksa-paksa barengan nanti yang ada lo lembur lagi kayak kemarin-kemarin selama ini. Gue nggak suka liatnya."

"Ngaca, lo juga gila kerja," sahut Raka yang sudah berdiri dari duduknya.

"Tapi 'kan gue nggak mau lembur. Jam kerja gue harus teratur."

"Terus ini lo belum pulang sampe sekarang, ngapain kalau bukan lembur?" cibir Raka. Keduanya kini berjalan menuju keluar, mengunci ruangan lalu segera turun.

"Gue kan nungguin lo, tapi lo nggak ngerasa, nggak peka."

Raka tertawa mendengar jawaban Jihan, sahabatnya ini selalu tidak mau kalah saat berdebat, sekalipun perdebatan mereka tidak penting.

Setelah berpamitan pada satpam, keduanya menuju parkiran yang sudah sepi dan hanya menyisakan motor milik Raka.

"Ini mau kemana?" Tanya Raka yang memakaikan helm di kepala Jihan. Sudah menjadi kebiasaan untuknya membawa dua helm. Meskipun tak setiap hari Jihan akan pulang bersamanya, tetapi Raka selalu menyiapkan satu helm lagi untuk Jihan.

"Ke tempat sate kambing Bang Adul yuk! Kita udah lama nggak ke sana," ajak Jihan.

"Oke, kita ke sana. Ya udah buruan naik."

***

"Lo kenapa deh?" Tanya Aksel saat melihat wajah lesu, gundah, dan sesekali menghela lega dari Saga.

Mereka sedang berada di tempat print-printan langganan mereka. Aksel sedang mencetak tugasnya, sementara Saga membayar tagihannya.

"Sumpah, ya, Ga. Kalo lo udah mulai menunjukkan gejala gila kauyak begini, gue merinding. Jangan aneh-aneh deh, lo," ucap Aksel yang masih menatap was-was pada Saga.

"Enak aja, gue masih waras ya," sahut Saga.

"Terus apa masalah yang bikin lo jadi begini?"

Saga menoleh, menatap Aksel sejenak sebelum menggeser duduknya lebih dekat agar pembicaraan mereka tidak mengganggu orang lain.

"Menurut lo, apa sebaiknya gue jujur ke Bunda kalo gue nyambi kerja ya, Sel?"

"Kenapa? Bunda nanyain emangnya?" Jawab Aksel, dia biasa memanggil Bundanya Saga dengan sebutan Bunda juga karena  kedekatan mereka sejak dulu.

"Nggak, sih. Gue pengen bantuin Bunda secara finansial, tapi gue takut Bunda nggak kasih izin kalo gue kerja. lo tau sendiri, sekarang keadaan keluarga gue masih adaptasi karena kepergian Ayah. Gue nggak mau kalo Bunda harus jadi tulang punggung keluarga buat gantiin Ayah. Rasanya gue nggak berguna gitu jadi seorang anak pertama."

"Ga, bukan kayak gitu. Gue tau saat ini lo merasakan banyak hal dalam keluarga lo, tapi bukan berarti lo harus ambil semua tanggung jawab ini sendirian." Aksel menatap sahabatnya itu penuh pengertian, dia tahu saat ini Saga butuh support darinya.

"Emang sebagai anak pertama, udah pasti jadi tugas lo untuk menanggung tugas pengganti sosok Ayah. Tetapi di usia lo saat ini, belum bisa sepenuhnya. Lo masih mahasiswa, lo bisa kerja tapi gue yakin sih, Bunda bakalan ngelarang."

"Terus gue harus gimana?"

"Pelan-pelan aja, nanti ngomong sama Bunda. Sebaiknya sih kalian saling ketemu untuk ngobrol. Biar lebih sampai tujuannya."

Saga menunduk, dia senang bisa mendapatkan gaji yang lumayan besar dari Serenity. Bisa dia gunakan untuk membantu Bundanya. Tetapi jika dia tiba-tiba memberikannya pada Bunda, pasti Bundanya curiga darimana dia mendapatkan uangnya.

"Pusing gue. Punya duit pusing, apalagi nggak punya duit," keluh Saga yang kemudian menatap ke arah jalan.  

"Eh, tapi Ga. Gaji lo gede emangnya di Serenity?" Tanya Aksel.

"Kalau buat gue sih, iya. Cukup buat bayar  kos sama tagihan nge-print, tuh!" Jawab Saga sambil mengedikkan dagunya ke Mas Putra, yang sedang mencetak tugas milik Aksel.

Mendengar jawaban itu, Aksel tersenyum lebar. "Kalo gitu, bisa dong ya, bayarin punya gue."

"Eh, enak aja! Nggak!"

"Ayolah! Ga ... traktiran gaji pertama!"

"Ogah, gue bayarin nge-print lo yang seabrek itu. Mending nanti gue traktir makan deh."

Aksel memonyongkan bibirnya kecewa, tetapi kemudian meringis, "Oke deh! Traktir yang mahalan dikit, ya!"

"Ngelunjak!"

Keduanya tertawa, lalu menunggu Mas Putra menyelesaikan pekerjaannya. Setelahnya, mereka segera pergi dan berkeliling untuk mencari makanan.

Sebenarnya tadi Saga sudah memikirkan sesuatu hal. Dia mempertimbangkan akan melamar kembali di Serenity sebagai karyawan setelah masa 3 bulannya berakhir. Saga merasa pekerjaan ini cocok untuknya, dia menyukai pekerjaannya ini. Tetapi statusnya sebagai mahasiswa mungkin akan dipertimbangkan untuk diterima sebagai karyawan. Dia harus bicara pada Mas Raka.

Setelah 30 menit mengelilingi kota dan menjelajah kulineran pinggir jalan, akhirnya Aksel meminta Saga untuk berhenti di warung sate kambing di dekat taman kota.

Sebenarnya mereka sering ke sini, lebih tepatnya Aksel yang sering mengajak Saga. Anak itu suka sekali gulai kambing, bahkan bisa menghabiskan satu porsi kepala kambing untuk dimakannya sendiri.

"Mantap nih! Kesukaan gue, emang lo sobat paling the best, Ga!" Aksel tersenyum lebar sambil melepas helm-nya.

"Lo yang kesenengan, gue nggak," gerutu Saga.

"Sesekali nurutin gue napa? Akan gue ingat nih rasa gulai kambing yang lo beliin dari hasil keringat lo. Pasti rasanya lebih enak."

"Asin, lah. Bego emang lo tuh."

Aksel tidak peduli pada rutukan Saga, dia sudah merangkul lengan Saga dan menyeretnya untuk segera masuk.

"Malam, Bang. Pesan seperti biasa ya," sapa Aksel yang langsung memesan pada Abang penjual langganannya itu.

"Eh, Mas Koko sama Mas Bro."

"Iya, Bang."

Si Abang memang terbiasa memanggil Aksel dengan sebutan 'Mas Koko' karena wajah Aksel yang Asia banget. Matanya sipit, wajah tirus, juga kulitnya yang putih memang mencerminkan Cindo sekali. Maklum, anak juragan toko emas yang rukonya aja di kota ini ada lima cabang.

"Ini pesen seperti biasa?" Tanya si Abang.

"Iya, banyakin kuahnya. Tambah garam juga," jawab Aksel.

"Mas Bro juga seperti biasa?" Tanya si Abang pada Saga.

"Iya, Bang. Nasinya dikit aja ya,"

Si Abang tersenyum lalu mengangguk, mempersilahkan keduanya untuk duduk. Kebetulan tidak terlalu ramai. Warung ini tidak besar, tapi cukup nyaman. Hanya ada tiga meja yang terisi, untungnya tempat favorit mereka kosong.

"Gaaaa, gue nambah kepala kambing boleh nggak?" rengek Aksel menatap penuh harap pada Saga yang sudah melirik kesal.

"Lo tuh, ya. Untung gue lagi seneng, kalo nggak, lo yang bayarin."

"Yes! Gue sayang deh sama lo!"

"Jijik!"

Aksel berbalik menghampiri Abang penjual untuk menyampaikan pesanannya. Sementara Saga menuju meja favorit mereka di deret kedua yang menghadap pintu. Hingga seseorang memanggil namanya dari meja belakang.

"Saga!"

Merasa dipanggil, Saga mendongak mencari si pemilik suara, hingga dilihatnya Mas Raka melambai padanya dari balik toples kerupuk.

"Oh? Mas Raka?" Jawab Saga terkejut, namun juga senang karena bertemu Mas Raka.

Mungkin dia ditakdirkan bertemu Raka karena pertimbangannya tadi. Tuhan berbaik hati memberi jawaban atas kebimbangannya. Dia bisa bertanya langsung pada Raka tentang keinginannya melamar lagi di Serenity.

"Sini, Ga! Gabung sini!" Ajak Mas Raka yang tersenyum lebar.

"Iya Mas, tapi saya sedang sama teman.  Nggak apa-apa?"

"Nggak kok, gabung aja sini. Ramean."

Saga tersenyum, kebetulan Aksel sudah kembali. Keduanya baru melangkah untuk menghampiri Raka saat tiba-tiba Saga berhenti.

Dia memang tidak peka atau bodoh karena tidak menyadari bahwa ada orang lain yang sedang bersama Raka. Seseorang yang duduk membelakanginya, yang kini duduk tegak dan menoleh padanya dengan ekspresi dingin tanpa senyuman.

"O-oh ... Mbak Jihan ...?"

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro