Bab 13. Cara Pandang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Jihan sedang berada di kosannya, bersiap untuk segera berangkat ke Serenity. Semalam dia begadang untuk menyelesaikan pekerjaannya. Waktunya saat berada di kantor rasanya tidak cukup untuk mengerjakan 2-3 proyek sekaligus. Lalu daripada lembur seperti Raka, dia lebih suka membawa pulang pekerjaannya.

Notifikasi pesannya terus menerus berbunyi, sepertinya Raka sudah mulai membagi tugas di grup 'Serenity paruh waktu'.

Memangnya siapa lagi yang pagi-pagi sudah spam chat kalau bukan Raka? Jihan sudah membuka dan mengecek semua surelnya, jadi tidak mungkin itu notifikasi surelnya.

Meraih ponselnya di atas meja, Jihan membuka dan mengeceknya.

Benar 'kan, Raka sudah memulai pagi dengan berisik.

Raka selalu seperti itu, mungkin orang lain memandang Raka sebagai sosok yang tenang dan kalem. Padahal sebenarnya Raka itu berisik, dalam artian terlalu ramah.

Seperti kebiasaannya mengirim chat selamat pagi sebelum membagi tugas, lalu sapaan-sapaan lain yang sering diabaikan oleh Jihan.

'Jihan, udah berangkat?' - Raka

Jihan memakai sepatunya lalu menutup pintu, sebelum membalas pesan Raka.

'Belum, nih baru mau berangkat.'

Kemudian Jihan turun, melintasi dapur dimana teman-teman kosnya yang lain sedang sarapan.

"Nggak sarapan, Han?"

"Nggak deh, Ra. Nanti di kantor aja," jawab Jihan pada Fara, salah satu teman kosnya.

"Iya deh iya, yang udah ditungguin Mas Pacar."

"Hah?" Jihan menatap Fara bingung.

"Itu, udah ditungguin sama pacar kamu yang pakai kacamata. Dia dari tadi di depan gerbang."

Pacar? Siapa?

Jihan langsung berjalan meninggalkan dapur lalu melintasi halaman, menuju gerbang.

"Raka?"

Yang disapa hanya tersenyum lebar dan melambai padanya.

"Ngapain lo di sini? Tumbenan banget," ucap Jihan menghampiri Raka.

"Sengaja, mau sarapan tapi ngajakin lo sekalian."

"Gue kira lo udah sampe kantor, tadi lo udah berisik di grup."

"Ya, itu gue udah di sini sih. Nungguin lo."

Raka mengulurkan satu helm nya pada Jihan, yang diterima oleh Jihan.

"Emang mau sarapan di mana?"

"Nah, itu gue juga bingung. Keliling deket pasar aja kali ya," jawab Raka yang kemudian langsung tancap gas.

Memang di kosan Jihan sudah lama terdengar rumor kalau Jihan dan Raka berpacaran. Tentu saja hal ini dibantah oleh Jihan, karena kenyataannya dia dan Raka hanya berteman. Namun, bantahan Jihan hanya terlihat seperti alasan saja untuk teman-teman kosnya. Karena sikap dan apa yang dilakukan Raka pada Jihan sangat 'pacar' sekali. Seperti sering pergi bersama Jihan, pulang pergi bersama Jihan walaupuj tidak setiap hari, lalu sering mengirim makanan untuk Jihan.
Melihat semua hal itu, tentu saja tidak ada yang percaya.

Karena itu, pada akhirnya Jihan hanya membiarkannya saja. Toh, Raka juga tidak ambil pusing dengan rumor itu.

Keduanya melaju pelan di kawasan pasar untuk melihat-lihat menu sarapan para pedagang kaki lima. Ada lontong sayur, bubur ayam, soto, sama nasi rames, yang membuat keduanya bingung memilih.

"Mau bubur ayam, nggak?" Tanya Raka, menoleh pada Jihan.

"Terserah deh, 15 menit lagi jam kantor. Buruan," jawab Jihan.

Raka berbelok lalu menghentikan motornya di depan pedagang bubur.

"Dua ya, Bang. Dibungkus."

"Iya, Mas."

Jihan ikut turun dan menunggu di samping motor. Matanya menjelajah suasana pasar yanv selalu ramai itu. Meski tak seramai kampung halamannya, Jihan merasa seperti di rumah saat melihat pemandangan ramai pasar. Apalagi semangat para pedagang yang menjajakan dagangan mereka dengan suara lantang.

Di sebelah kanan di seberang pasar adalah tempat para angkot ngetem menunggu penumpang. Hingga tak sengaja manik hitamnya menangkap sosok seorang pemuda yang berlari kecil ke pangkalan angkot, namun tak lama kemudian berbalik hanya untuk membantu seorang nenek yang sepertinya keberatan membawa segepok daun pisang. Pemuda itu mengambil alih ikatan daun pisang untuk dibawanya, lalu menuntun si nenek untuk menyeberang dan memastikan si nenek aman naik becak.

Kepedulian pada sesama ...
Perhatian dan menolong melalui tindakan.

Tanpa sadar Jihan tersenyum, sudah lama dia tidak melihat kebaikan-kebaikan sederhana dalam hiruk pikuk zaman yang katanya moderen ini, hingga rasanya ketulusan dan kebaikan adalah hal langka.

Mungkin dia harus mengubah sedikit perspektifnya pada dunia dan beberapa orang.

Manik matanya masih memperhatikan si pemuda yang kembali menyeberang lalu berteriak panik saat melihat angkot yang akan dinaikinya sudah berjalan. Memanggil-manggil dan mengejar sampai angkot itu berhenti untuknya.

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Liat apaan?" Suara Raka membuat Jihan seketika menoleh, mengatur ekspresi dan menyembunyikan senyumnya dengan kikuk.

"Nggak kok, cuma mengamati suasana aja. Sederhana dan mengingatkan gue pada rumah," jawabnya sambil menerima kantong plastik berisi bubur dari Raka.

"Kayaknya lo udah lama nggak pulang, ya? Udah 4 bulanan kayaknya. Lo nggak kangen rumah?" Tanya Raka yang kembali menaiki motornya diikuti oleh Jihan.

"Kangen. Tapi gue belum bisa pulang. Gue nggak bisa ketemu apapun terkait dia," jawab Jihan memelan di akhir, dan Raka tahu itu tandanya dia harus berhenti bicara.

"Kapan-kapan kalo lo mau pulang, ngomong ke gue. Biar gue ikut lo pulang."

"Ngapain?"

"Menemani lo, siapa tahu dijadiin mantu sama bokap lo," jawab Raka yang mendapatkan hadiah pukulan dari Jihan di punggungnya.

"Suka sembarangan mulutnya."

"Nggak sembarangan, Han. Ucapan adalah doa, iya nggak sih?"

Jihan diam tidak membalas ucapan Raka. Dia tahu, Raka selalu menggodanya dengan hal seperti ini .

Keduanya bergegas menuju kantor sebelum jam masuk. Tidak baik jika mereka terlambat, karena itu akan menjadi contoh tidak baik untuk karyawan yang lain.

***

'Lo di mana?'

"Di depan gerbang fakultas, hahh ... capek gue lari-larian."

Saga tengah mengatur napasnya setelah berlari dari jalan raya ke fakultasnya yang memiliki jarak lumayan jauh.

Satu tangannya mengipas wajahnya sementara tangan yang lain memegangi ponselnya di telinga.

"Jemput gue napa, capek banget."

'Manja bener tinggal jalan dikit aja. Gue udah di kelas.'

"Emang lo tuh sialan, nggak ada solidaritasnya sebagai sahabat. Lo kenapa main pergi duluan nggak bangunin gue?" Sembur Saga memprotes.

'Ya gue liat, lo capek banget sih. Lagian gue tadi mampir dulu ke toko bokap.'

"Tumbenan. Lo nya aja yang males."

'Tau tuh tadi bokap tiba-tiba nyuruh mampir. Lo buruan deh, Pak Dahlan bentar lagi dateng. Ntar lo telat dapet nilai C lagi.'

"Hahh ... emang bangsat lo tuh!" Saga mematikan teleponnya setelah puas mengumpati sang sahabat, kemudian berlari lagi menuju kelasnya yang ada di lantai 3 gedung A.

Dia tadi memang bangun kesiangan karena Aksel meninggalkan kamarnya begiti saja tanpa membangunkannya.

Lalu dengan kebodohannya seperti yang biasa Aksel ucapkan padanya, sudah tahu waktunya sempit dan akan terlambat, dia tadi justru masih sempat-sempatnya membantu seorang nenek di pasar saat dia akan mencari angkot. Belum lagi karena perbuatannya seperti pahlawan kesiangan itu justru membuatnya nyaris ketinggalan angkot.

Untung dia sedang tidak bersama Aksel. Pasti dia sudah habis dengan kalimat-kalimat pedas serta omelan Aksel padanya.

Saga sendiri heran kenapa dia selalu tidak tegaan pada orang lain yang menurutnya butuh. Padahal nyatanya tidak ada yang peduli sepertinya.

Sepertinya ajaran Ayah dan Bundanya akan selalu melekat dalam dirinya. Bahwa membantu orang lain adalah kewajiban sesama manusia, selama hal itu tidak merugikan siapa-siapa.

Saga ingin cuek dan abai seperti orang-orang lainnya. Tetapi tidak bisa.
Dia akan berpikir dua kali sebelum akhirnya memutuskan.

Peduli atau tidak peduli,
Suka atau tidak suka,
Serta baik atau tidak baik,
Itu semua tergantung presentasi masing-masing.
Tergantung cara pandang masing-masing.

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx2323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro