Bab 18. Sebab Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Jihan masuk ke ruangannya dengan hembusan napas panjang dan lelah. Kepalanya pusing, seharusnya di kondisi seperti ini dia cepat pulang, namun itu hanya akan membebani pikirannya sementara masalah yang menjadi tanggungannya belum selesai.

Kenapa dia selalu dihadapkan dengan situasi seperti ini?
Apa seburuk ini hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya?

Inilah yang membuatnya berhati-hati, menjaga diri dari orang lain, membangun jarak agar tak mudah menjatuhkan simpati dan rasa percayanya. Karena Jihan tidak lagi ingin kecewa.

Dulu dia pernah mempercayai seseorang sepenuh hati.

Seseorang yang menjadi rekan sekaligus teman baiknya. Namun, sayang sekali semuanya berakhir dengan penghianatan yang menghancurkan kepercayaannya.

Seseorang yang dulu sangat diandalkannya selain Raka.

"Han, balik sekarang, yuk?"

Raka menyembulkan kepalanya diantara daun pintu ruangan Jihan. Pemuda itu tampak sama lelahnya dengan Jihan, namun selalu berhasil menutupi semuanya dengan senyum dan ketenangannya.

Jihan tidak menjawab, namun segera bangkit dari kursinya, mengambil tasnya lalu berjalan menghampiri Raka.

"Udah, kita pulang dulu. Kita pikirin lagi, besok." Raka mengusak kepala Jihan pelan sebelum mengajak Jihan segera keluar dari kantor.

"Gue nggak tenang, Ka," ucap Jihan begitu keduanya melaju mengendarai motor Raka, membelah ramainya kota malam itu.

"Gue tau, dan gue paham karena kita di posisi yang sama. Tapi dipikir bagaimanapun, kita bersalah karena menerima mahasiswa dalam tim kita."

Jihan menghela, mwnyandarkan dagunya di bahu Raka.

"Kenapa kayak gini lagi sih, Ka? Padahal kita berusaha bangun dari jatuh karena masalah beberapa waktu lalu. Bahkan masalah itu yang bikin kita akhirnya terpaksa menerima anak-anak itu di tim kita."

"Maaf ya, Han."

"Kenapa lagi, lo minta maaf?"

"Karena gue nggak dengerin lo. Harusnya gue tahu untuk berhenti ketika lo menolak anak-anak itu masuk."

"Ya, udah terjadi juga, Ka. Emang penolakan gue saat itu karena gue pikir nggak bisa mempercayai mereka. Terutama karena banyak klien serius yang kita tangani. Tapi, gue saat itu sadar kalo kita kekurangan orang di kantor. Dan yah, kita udah nyari orang selama 2 minggu tanpa hasil. Lalu anak-anak itu masuk. Gue emang marah, tapi setelah gue liat hasil kerjaan mereka yang jauh lebih baik dari pelamar-pelamar sebelumnya, gue memutuskan untuk mengikuti keputusan lo."

"Itu juga yang jadi pertimbangan gue, Han. Mereka memang mahasiswa kecuali Salsa, tetapi mereka punya kemampuan seperti yang kita cari. Makanya gue sengaja mengikat mereka dengan kontrak 3 bulan. Selain untuk jaga-jaga pada data klien dan hasil kerja, gue juga mau liat keseriusan mereka apakah bisa cocok buat Serenity atau nggak."

"Masa training, dong."

"Anggap aja begitu."

Keduanya kembali terdiam. Hanya terdengar deru angin malam yang mengiringi perjalanan mereka.

Keduanya sama-sama resah, sama-sama menanggung beban, dan sama-sama merasa bahwa sudah jadi tanggung jawab mereka.

"Han, mau mampir ke rumah gue? Ntar gue masakin mie pedes kesukaan lo," tawar Raka.

Jihan diam, menimbang sesaat sebelum mengangguk. "Iya, deh."

***

Saga sedang memasak mie cup 2 porsi dan membawanya ke teras kosan.

Kosnya cukup sepi, hanya terdiri dari 8 kamar, terbagi empat di lantai 2 dan empat di lantai 2. Memiliki ruang makan dan dapur bersama di tengah-tengah, lalu teras panjang menghadap halaman yang sama.

Penghuni kos lain ada beberapa yang sudah bekerja, lalu sisanya mahasiswa sepertinya. Memang sih, kosannya tak lebih besar dari kosan Aksel di gang belakang, tetapi Saga menyukainya. Karena Ibu pemilik kos memelihara banyak tanaman bunga, yang membuatnya ingat pada Bundanya.

Kejadian dengan Tristan masih menyita sebagian besar pikirannya saat ini.

Tak lama terdengar suara motor di luar gerbang, lalu ponselnya berdering.

"Apaan?" Jawabnya pada si penelepon.

'Gue di depan nih, bukain gerbangnya,' sahut Aksel dari luar.

"Kebiasaan lo tuh, ya. Ngerepotin gue mulu," dumel Saga yang beranjak lalu berjalan melintasi halaman untuk membuka gerbang.

Meski hampir setiap hari datang, hal itu tak membuat Aksel bersikap sembarangan. Dia tetap akan menunggu di luar gerbang jika Saga belum membukanya.

Dengan cengiran lebar, Aksel memarkirkan motornya dengan rapi, lalu menyusul Saga yang sudah duluan kembali ke teras.

"Wih, ada mie cup, nih! Tau aja kalo gue mau dateng," seru Aksel saat melihat 2 porsi mie cup di atas meja.

"Enak aja! Bikin sendiri, sana! Ini punya gue semua," sungut Saga yang segera mengamankan makanannya.

Aksel mencebik, lalu mengambil sebungkus keripik ketela dari pangkuan Saga.

"Gue udah makan, kok. Panik bener, dah sobat gue nih."

"Ya, lo suka sidak makanan orang sih kebiasaannya."

Aksel tersenyum lebar, melirik Saga dari atas sampai bawah. Keduanya duduk bersebelahan dengan meja bundar yang membatasi. Dilihat bagaimanapun, Aksel bisa tau sahabatnya ini dalam keadaan tidak terlalu baik.

"Gimana tadi ketemuannya?" Tanya Aksel kembali melirik Saga.

"Gue nggak bisa berkata-kata saking terkejutnya. Gimana gue mulai ceritanya?"

"Ya ngomong, bego."

"Bukan gitu, sialan ya, lo! Maksud gue mengawali ceritanya. Pokoknya seperti yang lo denger pas kita di rumah Tristan. Ternyata kerjaan yang kemarin di kasih ke Tristan itu adalah proyek dari perusahaan Papanya Tristan. Wah, nggak nyangka sih gue di bagian itu."

"Maksud gue, nggak menyangka kalo Tristan sebenernya old money dan sekaya itu! Kayak aneh gitu emang, ngapain dia kerja?" Jelas Saga dengan tatapan menerawang mengingat apa yang terjadi tadi sore.

"Pantesan dia tinggal di apartemen dari pada di kosan kayak kita," jawab Aksel menanggapi.

Sebenarnya Aksel sudah curiga sejak pertemuan pertama mereka gara-gara kucing. Pasalnya, kucing yang dibawa Tristan adalah ras kucing mahal. Bukan kucing loreng yang sering kita temui di perkampungan.

"Terus pihak Serenity menanggapi gimana?"

"Ya, mereka minta penjelasan Tristan atas kejadian sebenarnya. Memang Papanya Tristan keburu salah paham pas liat proyeknya ada di tangan anaknya yang notabene nggak ikut urusan pekerjaan. Lalu parahnya, setelah Tristan menjelaskan justru Papanya makin salah mengerti dan menuduh Serenity bekerja secara tidak profesional dengan mempekerjakan mahasiswa menangani proyek mereka."

Aksel manggut-manggut mendengar penjelasan Saga. Masalah seperti ini cukup serius.

"Trus tadi Mas Raka sama Mbak Jihan minta Tristan ngomong ke Papanya dan mencabut tuduhannya ke kantor Serenity. Gue bahkan ditanya-tanya apa gue serius kerja apa nggak. Lalu, sampai sebelum masalah ini selesai, gue sama Tristan nggak akan dapat proyek apapun lagi."

"Lah? Kok lo ikutan dikasih punishment?"

"Ya, kayaknya mereka jadi nggak percaya sama gue."

"Ya, nggak bisa gitu, dong? Kan lo sama Tristan beda? Tujuan kalian juga beda!"

"Gue paham, tapi mau gimana lagi?"

"Lo protes sama Mas Raka."

"Gue nggak seberani itu, Sel. Toh, gue cuma freelancer 3 bulan. Sisa sebulan lagi malahan."

Aksel menatap penuh simpati pada sahabatnya itu.

"Lo udah ngomong ke Mas Raka soal niatan lo serius mau kerja di Serenity?"

Saga menggeleng, "Gue belum sempet ngomong. Malah ada kejadian begini."

Aksel menepuk bahu Saga, mengerti kondisi sahabatnya itu.

"Sabar ya, apapun itu gue selalu doakan yang terbaik buat lo."

"Thanks, Sel."

Keduanya saling melempar senyum. Sama-sama saling meyakinkan.

Terkadang di saat paling jatuh, sosok seorang sahabat yang tulus adalah perlindungan terbaik. Apalagi saat kita tidak bisa mengatakan keresahan itu pada orang tua.

Dan bagi Saga, Aksel adalah penguatnya.

Begitupun Raka dan Jihan yang saling menguatkan satu sama lain.

.
.
.
Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro