Aku dan Dua 'R'

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menggeram kesal di atas sini, memandangnya jelas sedang memainkan sebuah biola di sana. Tak kusangka sahabatku yang cantik itu sekarang menjadi orang yang paling menyebalkan di teater ini.

Diriku tak terima, hatiku membara. Aku masih ingat ketika dia mencium orang yang kusuka. Tak sudi lagi diriku jika disebutnya sebagai sahabat sejadi.

Sudah berapa lama kau menjadi selicik ini Rina?! batinku tak terima, namun aku harus sabar. Acara malam ini tak akan hanya berhenti saat lagu berakhir.

Ketika barisan tangga nada berikutnya akan terlantun, rencanaku mulai beruntun. Lampu-lampu teater mati tanpa persiapan, membuat beberapa orang terkejut keheranan.

Bahkan beberapa dari atas sini berhenti memainkan alat musiknya. Aku tak peduli, aku masih menekan barisan tuts piano dengan telaten, bagai kuletakkan semua jiwaku padanya.

Berharap kekesalan ini akan pudar.

Namun, tidak! Aku masih tidak terima. Rina malah terlihat bersinar di sana, dibawah cahaya rembulan yang menembus kubah transparan. Ia memainkan biolanya seakan itu adalah piala yang berharga.

Aku kembali kesal, saat hendak mengembuskan napasku kasar aku dapat melihat. Dia, dia orang yang kusuka! Dengan setelan hitam itu dia terlihat menawan, akan tetapi aku sudah tak tahan.

Dia adalah orang yang membuatku kesal juga dengan Rina.

Kalian berdua harus merasakan kebingungan dan sakit yang sedang kurasakan.

Memasuki baris terakhir alunan melodi aku mulai berdiri, meninggalkan tanda tanya besar pada tiap orang yang sadar karena suara piano tak terdengar lagi.

Kakiku melangkah padanya, melihatnya begitu kesal karena tak berdaya. Para penonton tak terlihat terlalu terganggu, mereka memang benar orang-orang yang lugu.

Maka dari itu kukeluarkan bilah pisau dari balik saku, lalu kutusuk rina tepat di ambang jantung. "Aku tidak akan meminta maaf lagi, Rina." Seiring dengan tusukanku yang bertubi-tubi, suasana di teater kacau.

Orang-orang yang berada di panggung berteriak histeris ketika beberapa dari mereka terkena cipratan darah Rina, mereka berlari ketakutan bahkan hingga membanting alat musik yang mereka sayangi.

Cukup memuaskan.

Di bawah sana juga, para penikmat musik ini terlihat kacau balau. Orang-orang berteriak kesetanan dan diikuti dengan desakan untuk menuju kalan keluar, membuat senyumku kembali mengembang karena Rina juga ikut meremang.

"Kau merasakannya Rina? Pujaan hati kita sedang memperhatikan di sana," kataku padanya sembari menorehkan wajahnya pada si empu yang dituju.

Darahnya mengalir deras, membasahi kemeja putihku. Namun, diriku tak masalah. Toh darah ini juga 'kan yang disukai oleh pujaan hatiku. Ia terlihat ragu, lidahnya mungkin serasa kelu.

Sehingga aku tak senggan untuk melakukannya lagi.

Dengan goresan terakhir dari pisauku, aku mengukir garis besar yang menganga pada leher Rina. Menyebabkan kucuran darah derasnya menggenangi seluruh panggung. "Lihat aku Ryan, aku sudah lama menyukaimu," ucapku dengan menatap lamat pada pria itu.

Dia terdiam di sana membuatku semakin kesal, maka dari itu aku memotong helaian rambut Rina dan menaburnya seperti _confeti_. "Lihat ini, Ryan. Apakah rambutku sudah indah seperti rambutnya?" tanyaku dengan senyum semanis mungkin, berharap bahwa dia akan mencintaiku.

Iya, 'kan?

"Kau orang gila! Kau tidak waras!" Dia membentakku, diriku terdiam membeku. Emosi dalam hatiku kembali berkecamuk, seperti rasanya ada yang menusuk.

"Kau memang lelaki bajingan! Bagaimana bisa kau menyukainya dibanding aku yang telah lama mencintaimu!" balasku padanya, aku tertatih-tatih turun dari panggung dan mendekat padanya.

Aku ingin menyentuhnya.

Namun, Ryan menjauh. Memperlihatkan rasa takut yang begitu dalam karenaku.

Aku tersenyum. Ternyata begini juga menyenangkan. "Bagaimana Ryan? Orang gila ini telah membunuh pacarmu ...."

Dia terlihat kesal, sorot matanya yang semula ketakutan dan bingung perlahan terlihat membara. Seakan ada sesuatu yang keluar jika aku memancingnya sekali lagi.

"Kau tidak akan pernah menciumnya lagi Ryan, karena dia adalah seorang jalang yang harus tinggal di neraka." Dia mendekat, menyergahku begitu kasar.

Dengan beringas diriku terseret hingga dinding panggung dan leherku tercekik olehnya. Aku tersenyum, rasanya bahagia ketika diri ini disentuh oleh seseorang yang dicintai.

"Ryan, apa kau mencintaiku?" tanyaku terbata, dengan napas yang setengah ada ini aku mencoba bertahan.

Akan tetapi aku salah. Ryan terlihat marah. Membuat harapan ini pupus seketika, lalu aku dapat merasa bahwa ajal akan menjemput segera.

"Kenapa? Apa karena aku kurang menawan? Atau senyumku tidak manis sepertinya? A-atau karena aku tak seindah dirinya?" tanyaku putus asa, napasku terkecat. Cekikan ini semakin kuat.

Diriku tak akan bertahan lama, kuharap di neraka nanti aku dapat bertemu dengan Rina. "Kau memang tidak waras." Sepi pun menerpa.

Suasana dingin menyelimuti atmosfer di sini, aku lupa seberapa lama hal itu terjadi. Seolah rasanya seperti melayang, bahkan tak terasa Ryan sudah melepaskan cekikannya padaku, meninggalkanku sendirian seperti orang dungu.

"Apakah aku keliru?" tanyaku begitu dalam, mengabaikan suara sirine yang menggema keras nan meredam.

Aku sangat lelah.

Mungkin saja Ryan mencintaiku? batinku pun tertawa pilu, karena malam ini pertunjukkanku berakhir dalam bisu.

***

760

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro