Kasihan dan Cerberus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku geram, monster anjing berkepala tiga itu tak membiarkan aku masuk ke dalam menara dengan mudah. Apalagi tiap elemen yang mereka kuasai, rasanya makin susah saja aku masuk gerbabg itu.

Tanganku mengepal dan kaki sebelah kananku tertempel pada dinding benteng, kali ini aku harus melesat cepat dan memotong salah satu kepala Cerberus itu!

Perhitungan yang kubuat tak salah, aku melesat begitu cepat dengan pedang berat ini yang kuhunuskan pada sesuatu keras dan kenyal seperti daging. Benda itu telah tersayat, aku dapat merasakannya. Tetapi, aura apa ini?!

Ketika aroma anyir itu keluar tepat bersamaan setelah aku mendarat dengan sangat tidak epik–terjatuh karena kakinya tak bisa menahan cepat serta beban dari yang dipegang–hal ini membuat tubuhku gemetaran, rasanya ada semacam sihir yang membuatku ketakutan.

Aku merangkak, mencoba melihat apa aku telah berhasil memenggal salah satunya. Aku melihatnya, ketiga kepala itu ... kenapa mereka semua tidak ada pada tubuhnya?!

Lebih heran lagi aku tak melihat setetes darah pun keluar dari batang leher monster itu. "Ugh," rintihku tak tahan. Aku juga tak mengerti, kenapa tubuhku bereaksi seperti ini.

Apa yang terjadi? Aku seperti dilumpuhkan ... ditaklukan.

Perlahan buku kukuku membiru, rasanya sangat menusuk karena hawa dingin ini menyelimuti begitu dalam. Kenapa tiba-tiba dingin?! Bahkan aku tak lagi dapat merasakan diriku menggigil, aku hanya terbaring lemas dengan netra yang perlahan menggelap.

...

Senyap, dia membisikkan sesuatu yang melelap. Tanpa peduli bahwa aku telah terlahap karena cerberus telah tergagap.

.
.
.

"Aku adalah penjaganya, kenapa kamu membunuhnya?" Suara siapa itu? Aku tak mengenalnya, tetapi berani-beraninya dia mengikatku seperti cerberus tadi?! Aku bukan peliharannya.

"Siapa kau?!" bentakku tak terima, ia harus tahu bahwa aku akan menjadi demi-god berikutnya.

Ini semua karenanya, karena tetes darah menjijikan itu mengalir dalamnya (ku).

"Oh, kau makhluk yang penasaran. Sekali lagi aku bertanya." Rantai yang mengikat tubuhku bergetar, lalu tiap dari mereka bersinar keemasan.

Menjalar seperti mengalir, mulai dari ujung pilar yang terkait menuju ke arahku. Menciptakan suara gemerincing dan getaran yang dahsyat, bahkan membuat diriku hampir ketakutan karena di ruangan yang tinggi dan temaram ini suara itu sangat menggema.

Gendang telingaku hampir pecah, jika bahkan bukan karena telingaku, apa yang tidak terjadi padanya (ku).

"Makhlukku yang malang kau mulai gila." Dia tak datang, dia hanya berbicara padaku. Apa dia benar-benar ada? Apa dia benar berbicara padaku?

Aku tak mengerti, darah tetes menjijikan tidak itu mengalir bukan padaku.

"Yah, kau memang makhluk menjijikan manusia." Itu lagi, dia berbicara padaku seolah ia adalah makhluk yang paling sempurna dari segalanya.

Ketidak tahuan yang mendasar.

Aku adalah pengetahuan yang mengetahui ketidak tahuan yang tidak diketahui.

"Kamu berbicara apa? Aku seperti menangis," jawabku sekenanya. Bukankah sedari tadi dia sungguh tidak bisa berbicara?

Bahkan seseorang yang menulis ....

Menceritakan ini begitu tidak dan menyebalkan sekali.

Dia tidak menulis dan aku tidak berpikir.

"Kau makhluk yang kasian, pikirkan bagaimana dirimu memenggal cerberus."

Ah, apa aku membunuhnya? Darah menjijikan itu mengalir masih tidak saja.

Dia benar-benar gila

Mata itu memandangku. Tiap pilar yang menjadi topangan rantaiku ternyata memiliki matanya. Di tiap korneanya pula terdapat sepasang bibir dan gigi tajam yang selalu terucap mantra darinya.

Seolah mengerti apa yang diucapkan oleh mereka mataku mengeluarkan cairan yang begitu pekat.

Berwarna hitam dan berbau busuk.

Terasa kental dan tak dapat kusingkirkan.

Darah menjijikan ini menjadikanku makhluk yang kasian.

Iya, aku adalah sang kasihan.

Takutilah aku seperti bagaimana aku jijik pada darah yang tak bisa kuhapus ini.

Rasanya seperti cerberus yang melumpuhkanku.

Dia sudah mati.

Bukan dia, itu mereka bodoh. Sungguh aneh sekali sesuatu yang berdosa menciptakanku seperti ini.

Bukankah begitu?

***

"

Dia masih mengawasi kita?" Gadis itu mengangguk, ia menanggapimya dengan serius. Si pria pun memutar bola matanya jengah, dengan sihir yang ia keluarkan dari tadi rasanya percuma saja untuk mengusik 'sosok' yang mengawasinya.

"Tetapi, abaikan saja, ya. Kita juga masih punya tugas penting di sini!" balas gadis itu lagi, mencoba mengabaikan apa yang selalu menjadi kekhawatiran mereka.

Semuanya akan selalu kusorot.

"Yah, kita juga tak mengerti. Kenapa pula cerberus bisa mandi?" Si pria menatap si gadis dengan jengah seolah mengatakan hal yang sebaliknya, ia mempertanyakan kenapa si gadis menanyakan hal itu.

Si gadis hanya terkekek, tak sangka jika seorang demi-god sepertinya dapat membuat ekspresi seperti itu.

"Yah bagaimana pun Cer, Be, dan Rus hanya seorang peliharaan. Dan kamu juga tadinya seorang manusia sama sepertinya." Si pria mengangguk, lalu mengangkat tongkatnya dan menghentakkannya lagi.

Merasakan sesuatu yang tak lagi merespon seperti sebelumnya mereka berdua saling tatap. Menciptakan ketegangan yang begitu lengah seluruh menara tiba-tiba bergetar. Membuat mereka hampir saja ketakutan, padahal seharusnya tidak.

"Kau benar-benar kurang ajar!"

.
.
.

Manusia yang mereka kurung tadinya telah terlepas. Tubuhnya juga sudah menyatu dengan menara, menjadikannya seorang wadah yang telah memiliki inangnya dan dia sekarang adalah rumahnya pemilik.

Pemilik pasti yang telah menjadi impiannya.

Ketidak tahuan akan pengetahuan telah menjadi kepalanya dan rantai-rantai itu membantunya untuk mencengkram. Ia akan mengendalikan menara itu sebagaimana darah menjijikan yang telah mengalir padanya selama berabad-abad.

Ia juga adalah anak kecil yang lahir dari cerberus. Iya, Cerberus.

Dan iya, Cer, Be dan Rus.

"Kita harus cepat! Nanti anak itu akan melahap kita jika kita tak cepat keluar dari sini," si gadis berkata, kakinya bahkan telah terluka akibat berlari dan tergores gigi tajam yang keluar karena sang rumah sedang menyesuaikan dirinya.

"Bagaimana?! Jika saja aku memiliki sayap," balas si lelaki kesal, ia tak mengerti jalan pikirnya si wanita yang telah menjadi rekannya selama bertahun-tahun itu.

"Yah, kupikir si rumah ini punya."

Bagaimana bisa?!

Aku tak mengerti.

Yah, darah menjijikan itu mengeluarkan sayap dari mayat yang tersisa tubuhnya itu. Bahkan dari batang leher yang begitu ngeri keluarlah bulu-bulu suci yang telah terbang dan meminta untuk dikendarai oleh dua orang yang sedanf bersitatap itu.

"Baiklah, kita akan membalas lagi!"

Si lelaki mengangguk, ia juga akan melawan si gadis dengan brutal lain kali. Tak mengindahkan geraman penyesuaian sang pemilik rumah yang sebentar lagi akan meledak.

"Darah jijik bukan ini milikku, aku membunuh kalian! Kabur bisa tidak?! Kau juga seorang pendosa! God-demi, kau akan merasakan apa yang kurasakan."

"Dia benar-benar makhluk yang kasian."

Sekali lagi. Menara itu membelah cakrawala secara horizontal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro