Bahkan Bukan Seorang Ballerina

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tania tersenyum puas ketika ia berhasil sampai pada titik ini, titik di mana beberapa saat lagi ia akan menari sebagai seorang angsa yang akan memukau ribuan mata dengan tiap gerakan indahnya.

Tak hanya itu, bahkan ia juga telah menuntaskan harsat membunuhnya dengan lagi-lagi, menginjak kaki saudarinya yang sudah terkulai lemas dibawah sana. "Apa kau sudah mengerti? Kupikir dirimu pintar."

Ia bahkan tak mengindahkan rintihan minta tolong yang menyapa indranya itu, dengan tanpa perasaan pula ia menarik tiara yang terpasang apik di kepala Talia lalu memakainya pada dirinya, "Ingatlah ini adalah malamku dan dirimu patut mensapat akhir hidup yang sepi nan tenang, selamat menikmati laguku ya ... saudariku."

.
.
.

Beberapa detik lagi sebelum ia melangkah tengah panggung itu, lalu hal itu pun tiba. Tania berjalan dengan anggun, diiringi dengan alunan melodi dari orkestra yang ada di sana.

Orang-orang yang menonton ikut kagum juga, namun merasa heran. Ada apa dengan kostumnya? Mereka semua bertanya hal yang sama, selain itu jalannya seorang ballerina ini sangat berbeda dari apa yang dikatakan kebanyakan orang.

Namun, pikiran mereka semua langsung kosong ketika satu hentak nada dikeluarkan secara bersama dan perlahan lagu angsa pun dimulai, Tania mulai menari dengan eloknya seperti tak ada hari besok.

Ia meliuk-liukan tubuhnya, meraih angin yang tak dapat digapai serta menjadi anggun di atas sana. Penonton terdiam, mereka semua takjub atas gerakan yang sangat hati-hati itu. Sedangkan Tania, ia sendiri tersenyum, menikmati bagaimana tiap langkahnya dapat membuat orang-orang kagum.

Di saat-saat itu pula ia mengingat bahwa dirinya adalah seorang yang kakak yang telah mengambil pertunjukkan adiknya malam ini, karena perasaan kesal itu ia sedikit menghentak saat lompatan tariannya, lalu sedikit kelebihan berputar.

Membuat semua orang yang berada di sana terkejut dan bertanya, "Bagaimana seorang ballerina seceroboh itu di pertunjukkan solonya?" tanya mereka semua, sedangkan Tania? Dirinya tersenyum miris, ia tahu manusia begitu.

Mudah sekali untuk mengganti pendapatnya masing-masing, bahkan seorang yang memiliki prinsip terkuat sekali pun pernah mengatakan bahwa dirinya adalah seorang ballerina yang gagal, akan tetapi sekarang apa? Dirinya menikmati tiap tariannya, tiap kekaguman serta tiap komentar bahkan kritikan yang pedas dari balik kerasnya alunan melodi lagu.

Di tengah-tengah pertunjukkan itu, Tania tak menyadari, bahwa Talia telah keluar dari ruangan dan menyeret tubuhnya hingga sampai panggung, menyebabkan kepanikan luar biasa karena tampangnya benar-benar menyeramkan bahkan tidak karuan.

Dengam kostum putih yang ternodai oleh warna merah akibat darahnya sendiri, serta banyak sayatan di sekujur tubuhnya serta matanya yang telah hilang tak tahu kemana. "Lihat di sana! Kenapa ia masih menari? Apa yang terjadi?!"

Kepanikan itu masih berlangsung, bahkan Tania menyadarinya langsung merasa kesal. "Apa-apaan dirimu?! Apa yang kau lakukan?" bentaknya melihat Talia yang menyeret tubuhnya untuk mendekat, gadis yang menyandang label adik kembarnya itu terlihat seperti memohon.

Akan tetapi, tanpa perasaan bersalah Tania menendang wajah adiknya itu hingga ia terpelanting ke belakang dengan rahang yang membiru dan darah keluar dari mulutnya, tak sanggup lagi ia untuk melakukan apapun gadis itu terengah-engah, menggapai semua oksigen di sekelilingnya.

"Kau benar-benar penghancur hidupku dasar jalang!" Suara itu menggema di seluruh panggung teater, dirinya tak dapat menahan gejolak emosi dan hendak menghampiri adiknya yang akan habis waktunya itu.

"Kakak ... aku hanya ingin menari bersamamu, maafkan aku," lirih Talia lalu menghembuskan napas terakhirnya tanpa melakukan tarian di pertunjukkan solo pertamanya.

Tania? Ia hanya termenung, badannya tak dapat di gerakkan bahkan ia tak peduli dengan kepanikan serta kebisingan yang luar biasa terjadi di sekitarnya, "A-apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya pada entah siapa.

Tangisnya mulai luruh, tangannya pun ikut gemetar, hatinya terasa lebih remuk dibanding dengan rasa keji yang telah menumpuk sedari lama. Ia tak pernah menyadari ini, tetapi ia juga tak ingin menjadi seperti ini.

Otaknya sudah tak dapat berpikir jernih lagi, ia hanya mengingat satu hal.

"Kakak harus terus menari ya dan aku akan menjadi teman menari kakak di atas panggung besar suatu hari nanti!"

Ya, dia mengingatnya. Ia pun mulai menari kembali, melanjutkan tariannya yang terputus tadi, bukankah ini yang diinginkannya?

Menjadi seorang ballerina tanpa bayang-bayang seorang ahli yang melebihinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro