Belum Terlambat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gaia

Setiap hari aku merasakan hal ini, jantung yang berdegup keras, rasa mual tak karuan, serangan panik melanda, serta pusing yang tidak berujung dan di sana aku menyadari bahwa aku masih mengendarai bus yang sama.

Bus yang membawaku ke sekolah, tempat di mana orang-orang memandangku sesuai sudut pandangnya masing-masing dan tidak sedikit juga ada yang mengutarakan isi hatinya walau itu menyakitkan bagiku.

Apakah mereka sudah berpikir sebelum mengatakannya? Aku rasa tidak. Mereka seolah menghinaku di balik kalimat baik yang dilontarkan.

Kakiku memijak halaman depan sekolah, kulihat orang-orang lalu lalang di sana serta banyak bisikkan yang kudengar saat aku melewati mereka. Langkah demi langkah untukku sampai ke kelas dan tidak terhitung mereka membicarakanku tentang apa saja.

Selain itu di dalam kelas terlihat para murid lain memandangku dengan tatapan penuh penghakiman, mereka seolah-olah merendahkanku hingga titik terbawah. Serendah itu kah diriku?

Saat kudapati diriku berada di bangku yang biasa orang-orang mulai mendekat dan menyapa padaku serta basa-basi tentang beberapa hal. Mereka bilang banyak hal, amat banyaknya membuatku mual akan omong kosong itu.

"Wah, kamu kemarin keren sekali! Aku ingin sekali menjadi sepertimu!!!"

"Kamu tidak berpikir kemarin itu berlebihan? Kurasa iya."

"Cukup bagus bagi seseorang yang kayak kamu, selamat ya!"

Aku benci, tidak suka. Apakah mereka mengatakan itu tulus dari hati mereka atau hanya ingin membuatku jatuh kembali?

Butuh berapa lama lagi aku harus menjaga diriku tetap utuh?

Butuh berapa air mata lagi yang akan tejatuh lagi tanpa kusadari?

Apabila mereka menjadi lebih baik dan tulus aku akan bahagia atau hanya aku yang memandang dunia ini penuh dariku.

Ya, dariku ... seseorang yang penuh tanggapan negatif kepada orang banyak. "Hey, Gaia! Kamu baik?" Suara itu menyadarkanku dari ramainya isi kepala ini.

"Kurasa," aku menjawab sekenanya dan kutebak Swan tidak akan senang akan hal itu. "Kamu ini selalu seperti ini! Kalau ada apa-apa harus cerita oke?"

Aku mengangguk sebagai jawaban, kuperlihatkan senyum terbaikku padanya. Dialah satu-satunya orang yang dapat kurasakan ketulusan hatinya, tatapan hangat dan perhatiannya selalu dapat membuatku haru.

"Baik anak-anak, seperti yang kalian lihat kemarin bahwa Gaia telah membawa kemenangan bagi kelas kita. Yah, walau hanya di nomor 2 tapi sudah hebat!" Aku semakin tidak suka kepada wali kelas satu itu, kuharap di tahun berikutnya aku tidak kembali berurusan dengannya.

.
.
.

"Gaia, kau tidak ingin makan ini? Aku yang makan saja ya! Nom." Seseorang di sebelahku ini tanpa ada sopan santunnya menyuap telur rebusku. Kenapa mereka semua semena-mena?!

"Owen! Kau tidak boleh seperti itu kepada Gaia. Dia itu sangat menyukai telur rebus ...."

Aku tidak suka satu hal dari Swan, ia selalu memandangku dengan tatapan yang tak kusuka nomor dua. Yakni, tatapan mengasihani ... aku tidak seberuntung itu untuk mendapatkannya.

"Kalian berdua diamlah, lihat Gaia memucat. Kau yakin kau baik?" Aku kembali mengangguk, aku lelah menghadapi semua ini.

Keseharian yang buruk dan pikiran negatif yang selalu menyerangku ini membuat traumaku terhadap orang lain semakin menjadi. Aku kembali merasa tidak berdaya di sini.

Aku sendiri, di antara banyaknya orang kuat yang kukenal. Aku tahu harus ada yang pergi, aku tahu itu aku. Aku mengerti, mereka selalu menekanku, membuatku jatuh karena itulah aku harus pergi bukan?

Aku menggenggam tali tebal lalu menyimpulnya, kulihat duniaku yang sudah hancur karena depresi ini untuk terakhir kalinya. Mataku dipenuhi air, kuharap mereka membaca surat yang berisi harapanku tentang telur rebus, pandanganku dan rasa terima kasihku.

"Gaia apa yang kau lakukan!" Sesaat sebelum aku menggantung diriku aku melihat dia. Owen menerjangku cepat setelah ia terdiam sebentar.

Aku merasakannya, bagian kepalaku yang basah dan mataku yang beraik ... rasanya semua beban dilimpahkan kepadaku, aku merasa berat dan aku melihat Owen dengan penuh.

Air mata?

*****

Author

"Jadi, kita semua menyebabkan hal ini?" Swan membuka pembicaraan di tengah sunyinya suasana. Owen dan Alan tersadar, mereka mengangguk.

"Kita semua gak tahu karena Gaia selalu tersenyum gembira dan ia menyadari bahwa ia tak mau menyusahkan makanya jadi seperti ini ...." Alan mengusap air matanya di akhir, berusaha menahan penyesalan yang akan datang jika kemungkinan terburuk terjadi.

"Aku mengerti, bahkan aku kurang peka ... harusnya aku yang dihukum atas hal ini." Swan terkulai lemas, ia sangat terkejut mendapati Gaia berada di rumah sakit.

"Kalian jangan putus asa begini dong! Aku ta-tambah sedih karena hal yang ditulis pertama kali oleh Gaia dalam surat bunuh dirinya adalah dia yang amat menyukai telur rebus dan aku merasa bersalah sekali sekarang!!!" Owen merengek sembari memeluk Swan. Alan dan Swan sedikit terkekeh mendengar hal itu.

Ceklek!

Pintu terbuka, menampakkan lelaki tua berkacamata dengan jas berwarna putih. Swan, Owen dan Alan langsung berdiri dan menghampiri dokter tersebut. "Bagaimana dok? A-apakah Gaia baik-baik saja?" Swan hampir terbata-bata dalam kalimatnya, dokter itu tersenyum menanggapi.

.
.
.

Gaia menyapu arah tatapnya ke segala arah di kamar inap rumah sakit itu, ia juga merasakan bau obat menyengat serta perban yang mengikat kepalanya.

"Gaia!!!" Gadis berambut coklat itu cukup terkejut, ia menandang ketiga temannya yang tiap dari wajahnya menunjukkan kesedihan dengan ekspresinya masing-masing.

Swan yang lesu dengan air mata, Alan yang keren namun hidung dan matanya berair serta Owen yang merengek tepat di hadapan Gaia. "Kau tidak perlu menyembunyikan dirimu di hadapan kami Gaia!" Swan memeluk Gaia di atas bangsalnya, Gaia membalas pelukan itu dengan rasa hangat dan hati yang membuncah.

"Kita memang tidak melihat dirimu seperti kau melihat dirimu, tapi tolong buatlah kami melihat dirimu seperti dirimu ... aku yakin kami dapat memahamimu." Alan menggenggam tangan Gaia dengan tatapan dalam yang menyentuh isi hati Gaia, gadis itu merasakan jantungnya semakin berdegup kencang.

"Gaia juga harus selalu jujur kalau tidak suka telur rebusnya di ambil!!!" Owen merengek di samping Gaia dan membuat gadis itu terkejut.

"Te-terima kasih semuanya." Gaia menangis, ia tidak menangis seperti biasanya. Tidak sunyi, ia terisak dengan sangat, tangannya memeluk Swan erat.

Gadis berambut coklat itu menumpahkan rasa yang ia tahan selama ini di hadapan teman baiknya. Ia juga menyadari bahwa ia memiliki banyak teman yang sangat menyayangi dirinya.

Di saat itu Gaia berjanji bahwa akan melihat temannya dengan lebih sebelum ia dapat berpikir hal negatif.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro