Untaian Ingatan (bagian 1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seorang lelaki berumur empat puluh tahunan itu terbangun karena jam weker yang terus berbunyi serta bergetar sedari tadi. Tangannya yang kurus meraih tombol dan memberhentikannya, ia terbangun di atas ranjang dan menatap tangannya itu.

Di dalam lubuk hatinya ia melolong meminta tolong, tak kuat dengan kesendirian yang dingin nan kosong. Ia beranjak dari tempat tidur dan bergegas menyeduh teh di dapur.

Ia menghela napas di sela-sela kegiatannya, masih kecewa akan peristiwa di masa lampau itu. Ia membawa cangkir tehnya ke ruang santai di dekat perapian, terdapat dua kursi berbeda tipe dan ia duduk di salah satunya.

Setelah menaruh cangkir tehnya di atas meja, tangannya kembali terulur merengkuh sebuah foto yang terpajang di atas sana. Memperlihatkan dua insan penuh cinta yang tersenyum hangat, berdekatan di dekat danau.

"Aku selalu merindukanmu Eris," lirihnya disambut dengan buliran air mata yang jatuh dari pelupuk coklatnya, ia tersedu-sedu seperti rintik hujan yang kembali membesar di luar sana.

Tampaknya, alam turut merasakan kesedihan yang Caleo alami. Saking larutnya dalam rasa itu, ia tertidur di tengah kosong nan dinginnya malam sembari memeluk foto yang memiliki kenangan berarti.

.
.
.

Deru napas teratur terdengar di seluruh penjuru ruang, lelaki berkacamata itu sedang menumpu dirinya dengan lengan sebelah kiri di atas kursi. Ia sedang tidur siang, jangan ada yang mengganggu.

Baam!!!

Suara yang cukup memekakan itu berhasil membangukan Caleo dari tidurnya, merasa kesal dan bingung ia langsung melihat dari jendela yang langsung menghadap ke halaman luar.

"Hey, apa yang kau lakukan?" tanyanya pada seorang anak yang terlihat membatu di tengah halaman rumahnya, anak itu memilin ujung bajunya dan bahunya sedikit bergetar, hendak menangis.

"Aku tidak memarahimu, jawablah aku," lanjut Caleo melembut, anak itu mendongak dan menatap lelaki yang lebih tua di depannya. "Maafkan aku tuan, bolaku tertendang ke sini ... bisakah aku mengambilnya?" jawabnya dengan mata yang penuh air mata dan sedikit getaran dapat membuatnya jatuu begitu saja.

"Tentu, lain kali kau harus mencari tanah yang lebih luas oke?" Anak kecil itu pun mengangguk, Caleo tersenyum memandangnya. Ia jadi teringat masa kecilnya dahulu.

Tuk-tuk!!!

Suara ketukan mengalihkan atensi Caleo, lelaki itu pun lantas pergi ke arah sumber suara, halaman belakang. "Tunggu sebentar!" serunya cukup keras seraya berjalan pelan ke sana.

***

Di sebuah ruangan yang penuh dengan kanvas berwarna, seorang gadis sedang melakukan rutinitasnya. Tangannya terulur dan bergerak, mengikuti insting serta alunan lagu yang terputar di sana.

"Kapan datangnya, ya?" gumamnya hampir tak terdengar oleh siapapun, namun suara ketukan kecil menyadarkannya dari lamunan sebentar itu. Ia langsung menoleh dan tersenyum.

Setelah meletakkan palet dan beberapa kuas, ia berjalan mendekat ke arah merpati yang bertengger apik di pinggiran jendela. Eris, wanita cantik berambut coklat itu mengambil gulungan kertas di salah satu kaki merpati tersebut.

Ia tersenyum dan setelahnya menyatukan keningnya dengan si merpati dan dalam sekejap menghilang pergi. Ia membawa gulungan itu setelah dibaca dan menaruhnya pada sebuah kuali besar, beberapa rapalan mantra terdengar dan asap berwarna hijau serta pink menyelimuti ruangan yang sebelumnya berwarna jingga itu.

KAA-BOOM!!!

Bunyi ledakkan yang cukup keras membuat semua orang yang di dekat rumah terkejut, bahkan Caleo yang berada di lantai bawah sama terkejutnya dengan Eris yang sedikit terhempas ke belakang akibat ledakkan yang tak tertahankan itu.

Caleo mengambil alat perkakas yang dikembalikan oleh salah seorang teman kecilnya, namun ketika tangan mereka sedikit bersentuhan gadis yang dikenalnya baik itu terlihat sedikit bergetar dan wajahnya memerah.

"Ada apa Dahlia?" tanya Caleo yang langsung saja mendapat gelengan keras dari Dahlia. Setelah berucap pamit dan pergi secara tergesa-gesa, Caleo menaruh perkakas tersebut di atas meja. Menghiraukan rasa heran dan penasarn terhadap sikap Dahlia tadi.

Sedangkan di atas, Eris sudah lompat-lompat kesenangan, ia memeluk kotak kecil yang tercipta akibat sihir dan menaruhnya pada saku kecil ketika suara ketukan kembali menyadarkannya. Kali ini Caleo terlihat di depan ruangan melukisnya dengan tatapan heran.

"Kamu dengar suara ledakkan tadi? Kupikir sumbernya dari sini." Dugaan Eris benar, ia kesini karena suara yang mengejutkan tadi. Eris menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan mengalihkan topik pembicaraan.

Ia melihat salah satu lukisan yang terpajang di dekat sana, menampilkan pemandangan danau hangat yang sangat indah pada suasana sore hari. "Bagaimana jika kita pergi ke sana? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita berpiknik!"

Caleo yang mengerti akan mau kekasih hatinya itu mengangguk dan langsung menggandeng Eris dengan penuh cinta dan menuntunnya.

.
.
.

"Wah, danau ini masih terlihat indah. Iya, 'kan sayang?" tanya Eris yang masih betah bersandar di pundak Caleo. Mereka memakan beberapa cemilan dan santai di sana. Di atas tikar dan dibawah langit senja, rasanya tak ada yang bisa merenggut semua kesenangan itu.

"Tentu, tetapi sayangku ini lebih indah lagi," goda Caleo dan mulai mengerjai pujaan hatinya itu, ia menggelitik Eris dan mereka bersenang-senang bersama. Menikmati betapa indahnya lembayung yang ditampilkan cakrawala serta kehangatan dan angin sejuk yang terus menyapa mereka berdua.

Lamgit mulai menunjukkan tanda-tanda malam, namun mereka tidak langsung pulang, melainkan berendam kaki di dekat dermaga di danau sana. "Ada apa sebenarnya? Kamu menyembunyikan sesuatu?" tanya Caleo memastikan, ia sadar ada yang kurang beres dengan sikap istrinya itu.

"Hehe, kau sadar ya?" Eris pun mendapat anggukan, lalu dengan pelan ia mengeluarkan sebuah kotak coklat kecil dari dalam sakunya. Kotak itu berukuran segenggam tangannya dan diberikan pada Caleo.

Caleo sedikit terkejut dan senyum kembali menghiasi wajahnya, bahagia langsung meliputi dirinya dan tangannya pula terulur mengambil kotak hadiah dari Eris. "Bukalah, aku sudah menyiapkan ini lho." Sesaat sebelum Caleo membuka.

Tiba-tiba awan hitam dengan cepat datang, merubah cuaca menjadi hujan yang disertai dengan angin kencang. Mereka pun memutuskan untuk pulang saat itu juga. Namun, saat Caleo berjalan di tanah yang menanjak ia terpeleset dan jatuh, menyebabkan memar pada kakinya.

"Aku saja yang menyetir, kamu naik di sebelah saja!" titah Eris sembari menuntun suaminya, setelah mendudukan Caleo yang masih saja tersenyum pada kotak hadiahnya, Eris pun ikut tersenyum. Namun, karena alam yang tak bersahabat ia langsung menutup pintu mobil dan berlari ke sebelah.

Ia duduk di bangku kemudi dan mulai menyalakan mesin, "Kita berangkat?" tanya Caleo. Eris tersenyum, "Iya, buka hadiahnya di rumah saja." Eris pun langsung menancap gas.

Jalan menuju rumah mereka cukup curam karena harus melewati tepi jurang yang rawan longsor. Tak lama kemudian kekhawatiran yang sedikit melanda kedua pasangan harmonis itu pun terjadi.

Sedikit getaran dapat mereka rasakan, walaupun mereka berada di dalam mobil getaran itu mulai mengguncang mereka, "Lebih baik kita keluar terlebih dahulu, mencari tempat aman. Sepertinya ada hal yang tak mengizinkan kita pulang cepat," ajak Caleo yang langsung menghilangkan sedikit rasa khawatir pada Eris.

Suaminya itu pun langsung keluar, walaupun jalannya sedikit terpincang ia tetap membuka pintu untuk Eris dan menggandengnya untuk mencari tempat yang lebih aman.

Mereka sedikit bernapas lega setelah berteduh dibawah pohon dekat sana. Hujan memang tak berhenti, akan tetapi getaran yang sebelumnya mereka rasakan sudah menghilang, "Ayo pulang, kurasa sudah lebih baik. Aku yang menyetir, ya?"

Eris pun mengangguk, ia pun membantu Caleo yang jalannya tertatih-tatih, namun hal tak terduga terjadi. Getaran itu kembali mendera mereka, kali ini lebih kuat dari sebelumnya.

Bahkan terlihat beberapa kerikil di sana bergelinding berjatuhan. Mereka berdua ketakutan, badan mereka gemetar dan suara rintihan mulai mendominasi di antaranya. Caleo memeluk erat istrinya, mencoba sekeras munglin untuk melindunginya.

Namun tiba-tiba ia terperosok bersama istrinya, jatuh pun tak dapat dihindarkan oleh mereka berdua. Akan tetapi Caleo masih berusaha kuat menggapai akar besar dan menahan istrinya dengan genggaman lain, ia menatap nanar istrinya yang ketakutan itu.

"Tenanglah, kita akan selamat bersama-sama sayang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro