*Tentang Berpaling

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau mungkin pernah mendengar kisah seorang lelaki yang menduakan kekasihnya?

Apakah itu yang dinamakan berpaling?

Kau mungkin juga kerapkali melihat mereka yang amat buruk perilakunya, amat banyak maksiatnya, tiba-tiba terlihat di surau, sholat begitu khidmatnya.

Apakah itu yang dinamakan berpaling?

Lagi, tentang aku yang mengalihkan tatapanku kala tak sengaja tertangkap basah memandangmu.

Apakah itu yang dinamakan berpaling?

Mungkin aku tidak benar-benar menceritakan mereka semua. Tapi siapa tahu? Lihat saja kemana pemikiranku membawanya.

***

Namanya, Raina. Dia gadis manis yang teramat cerewet dan supel pada siapa saja, tiap hari rasanya yah, benar-benar kebahagiaan saja di dekatnya.

Tidak ada yang tidak suka, dia peduli, tidak membeda-bedakan. Bahkan mereka yang merasa terkucilkan akan merasa diselamatkan saat Raina bicara padanya.

Bagaimana bisa? Itulah kisahnya, gadis baik ini mungkin akan jadi tokoh utama kali ini.

Raina cukup aktif dan populer, begitulah. Aku hanya satu dari teman yang sering berbincang dengannya. Dia bilang, aku orang yang menarik karena bisa menyusun kata-kata menjadi cerita unik.

Itu tidak benar. Aku juga heran bagaimana bisa Raina tahu aku menulis cerita.

Suatu hari, Raina tidak sengaja atau mungkin memang sengaja cerita padaku karena aku terlihat tidak peduli? Aku juga tidak tahu.

Dia bilang terlalu banyak tawaran kencan padanya baru-baru ini. Terlalu banyak yang mendesaknya untuk menerima cintanya.

Aku sebagai manusia sekadar lewat dalam kehidupannya sedikit bertanya-tanya. Apakah ada hakku dalam hidupnya? Jadi aku hanya sedikit tersenyum dan memberinya sebaris dua baris quotes cinta.

"Ada posisi dimana kau harus bisa memilih, tapi jika tak ingin memilih, mungkin kau harus mencari." Kata-kata itu benar-benar tak sengaja terancang dalam kepalaku. Seperti, begitu saja.

Jadi Raina yang amat dipuja-puja itu mendadak berseri-seri. Seakan nasihatku barusan amat banyak mengubah hidupnya.

Itu cukup membuatku sedikit gelisah. Dan hanya bisa berharap, meskipun dia memilih, semoga pilihannya tidak salah.

Aku jadi semakin resah.

Esoknya, ada kabar bahwa Raina mulai berpacaran dengan anak kelas dua belas dari IPS. Tepat kemarinnya aku secara asal menyuruhnya memilih, dia benar-benar memilih.

Meresahkan.

Maka hari itu, sempurna menjadi hari patah hati satu sekolahan. Aku tekankan, Raina benar-benar populer dan dipuja. Maka yang patah hati tak bisa dihitung jari.

Aku juga patah hati sebenarnya, dia mungkin tidak akan sering mengunjungi mejaku. Menanyakan hal-hal yang tidak perlu, dan bertanya ini itu jika sudah punya pacar.

Siapalah lelaki yang terpilih itu? Aku tidak tahu. Raina berhutang penjelasan saat dia datang nanti.

Omong-omong aku bahkan tidak mendengar penjelasan atau kabar apa-apa darinya. Kupikir, Raina pasti akan menghubungiku jika sesuatu itu akan terjadi.

Lalu bagaimana bisa menyebar seluas itu? Secepat itu?

Aku cepat-cepat mengiriminya pesan. Kamu datang sekolah kan?

Dan balasannya datang dengan cepat.

Rin, aku jadi takut sekolah! Kok kabarnya bisa nyebar secepat itu?

Memangnya benar?

Gak salah sih, tapi buat apa juga aku bilang-bilang?

Ada temanmu yang lain, yang tahu soal itu?

Kurasa tidak.

Ya berarti pihak sana yang patut dicurigai

Aku harus gimana kalau sekolah?

Hadapi atau gak sama sekali?

Raina suka kesal dengan sifatku yang begitu. Tapi itulah kenapa aku orang yang baik untuk dijadikan sarana misuh-misuh. Katanya orang yang mengadu padaku tidak akan dapat belaian, paling tidak dihina sampai sadar diri.

Kurasa tidak seburuk itu.

Akhirnya, Raina datang sekolah. Dan ya, dia memang banyak ditanyakan.

Dia menjawab seadanya, dan ya itu benar, lalu soal "kenapa laki-laki seperti dia?" "Bukannya aku lebih ganteng?"

Dan banyak hal lainnya yang membuatku muak. Tapi tentu, aku masih setia menonton dari sudut sini. Dia tahu apa yang harus dilakukan sampai dia melirikku, meminta bantuan.

Aku menautkan alis, hah?

"Raina sudah menjawab hal yang harus dia jawab, bisa hentikan pertanyaan konyol itu? Berhentilah mendesaknya dengan hal tidak berguna."

Semua orang menatapku hina.

Astaga. Raina bahkan membulatkan mulutnya, terkejut.

Aku memang tidak dicibir atau bagaimana, anak-anak kelas menempatkanku dalam posisi aneh seperti penasihat atau sesuatu yang dingin tapi bisa mencairkan masalahmu.

"Ya itu benar, kita bisa tikung laki-laki itu kapan saja!" Salah seorang bangsat menyemangati.

Aku tidak bisa tidak tersenyum kecil. Semudah itukah?

Aku jadi sedikit berekspetasi soal pilihan Raina. Siapa dia? Apakah sama baiknya? Bisakah dia mengobrol denganku? Aku jadi penasaran soal itu.

Raina duduk di bangkunya, berterima kasih padaku bukan main. Aku mengibaskan tangan, bukan apa-apa.

Raina yang duduk di seberangku hanya diam saja, sampai jam dimulai. Aku daritadi rasanya menunggu hal yang tidak pasti.

Harusnya ada sesuatu yang dikatakannya, ada sesuatu yang ingin kudengar darinya. Bukankah dia memganggapku teman?

Saat jam istirahat. Aku yang menghampiri mejanya, yang mana aku yakin itu merupakan kejadian langka, aku jarang berangkat dari bangkuku.

"Kau berhutang penjelasan padaku, bukan?" Aku memegang kursinya, menatapnya lurus. Dia yang merapikan bukunya dan tersenyum kelu, entah, itu seperti bukan Raina.

"Baiklah,baiklah. Temani aku ke WC dulu yuk," ucapnya menyeretku segera.

Kami sedikit jadi pusat perhatian. Dibanding kesal diajak jalan ke WC yang jauh, aku lebih benci dipandang begitu saat sedang dengan Raina.

Saat di WC dia hanya memelintir rambutnya pelan, menyandar pada tembok. WC sedang sepi dan aku hanya menunggunya bicara.

"Kenapa? Kau seperti hendak mengatakan kabar buruk?" Aku menunggu, sedikit was-was untuk tahu.

Raina menghela napas. "Rin, aku gak bisa milih. Juga gak bisa nyari." Raina tersenyum perih, menghela napas lagi.

Aku sungguh, baru kali ini melihatnya begitu.

"Apa maksudmu? Kau tidak dipaksa atau?--"

"Kau memang hebat ya bisa langsung bertanya begitu. Iya, dia memang sedikit mengancamku." Raina tertunduk lesu.

Bagaimana bisa? Raina?--

Aku tidak mau menunggu. "Siapa orang itu?" Aku sedikit mendesaknya. Membuatnya sedikit berjengit, "Siapa orangnya Raina?!"

"Kau tidak bisa apa-apa Rin!"

"Aku bisa! Katakan siapa dia?" Aku kembali mendesaknya, memelankan suara. Khawatir perbincangan ini didengar dan merambat kemana-mana. Tapi syukurlah, memang tidak ada siapa-siapa.

"Itu Rian, mantanmu." Aku menahan napas.

Aku baru saja putus dengannya dua hari lalu, kemudian dia menemukan yang baru? Oh astaga. Lalu orang itu adalah Raina, siapa yang bercanda?

"Dia mengancammu ... bagaimana?" Aku menahan napas lagi. Tidak ada yang tahu aku punya hubungan diam-diam begitu dengan Rian. Di sekolah pun, hanya ngobrol seperti teman. Tidak terlihat pacaran. Dan karena itulah sepertinya dia muak denganku.

Lalu berpaling pada teman, atau sahabatku ini. Gadis yang kupuji sekali kebaikannya.

"Maafkan aku, aku tidak tahu bagaimana menolaknya. Dia sangat romantis, sepertinya aku juga menyukainya. Dia juga bilang akan menyebar aibmu jika kutolak."

Itu konyol. Dia seperti memang tidak punya alasan untuk menolak. Aku jadi tahu kenapa Rian suka menggali sesuatu tentang Raina yang banyak kuketahui, pantas saja dia luluh.

Untuk sesaat, Raina berpaling dari sahabatku menjadi sosok yang tidak pernah benar-benar aku tahu.

Gadis ini sepertinya harus kubuat menghadap kenyataan lagi, "Baiklah Raina, jika kau sudah puas dengan Rian. Tolong berpalinglah."

"Aku paling tahu, kamu tidak suka sama cowok badboy. Kalau udah puas sama wajahnya, kembalilah ya. Jangan tersesat terlalu lama."

"Kita manusia setidaknya harus pulang setelah mengelana kemana-mana. Selalu ada kesempatan untuk kembali berpaling."

Raina tampaknya merinding mendengar penutupan kerenku sebelum pergi.

****

A/N;

Yesh, satu jam kurang Yesh, bisa yes. Meskipun ndak jelas, yang penting beres, yes.

10-03-21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro