2. SAKIT dan TEKANAN BARU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Beberapa hari bahkan minggu, Raina tidak menggubris soal omongan Cika. Dia agak lega orang tuanya pun seperti sudah lupa tentang tuntutan mereka. Entah, dirinya yang terlalu bebal atau orang tuanya beneran lupa. Yang penting Raina bisa fokus bekerja dan menyelesaikan semua target bulan ini.

Jadi SPG bukan cuma jual muka dan pintar jualan. Tetapi harus paham di dunia berhitung juga. Tak jarang Raina selalu puyeng dengan jumlah stok barang yang tidak klop dengan surat jalan saat barang datang. Dia harus mau bongkar gudang, bongkar kardus, dan menghitungnya berulangkali.

Seperti sekarang, kondisi Raina sudah tidak berbentuk. Keringat mengucur di wajah dan sekujur tubuh. Dia harus mengecek lagi jumlah barang di sana. Gudang itu digunakan bersama brand lain. Ruangannya cukup luas tetapi karena penuhnya barang, pendingin ruangan tidak berhasil menyejukkan hawa penat.

"Sebenarnya apa yang kurang, sih? Nggak mungkin kalo ada yang ilang." Raina mengacak rambut lurus sebahunya.

"Lagi ngapain di sini? Counter kamu siapa yang jaga?" Tiba-tiba saja Shaka ada di sana, bersandar di pintu gudang sambil melipat lengannya di dada.

"Oh ... hmm sa-saya hitung stok barang, Pak." Dan rekan kerja saya yang jaga counter. Dia datang lebih awal buat gantian cek stok opname." Raina menjawab sambil menunduk.

Shaka mendekat lalu melihat kertas yang berusaha disembunyikan oleh Raina.

"Ngapain diumpetin? Udah ketahuan juga." Shaka urung mau lihat laporan milik Raina.

"Maaf, Pak. Saya lanjut hitung lagi kalau nggak ada yang mau Bapak omongin." Raina beranjak dari tempatnya, tetapi ditahan oleh Shaka.

"Kegiatan seperti ini harusnya bisa dilakukan sebelum toko dibuka. Kali ini saya toleransi, tapi tidak ada toleransi berikutnya. Balik ke counter. Sekarang!!" Kalimat penuh nada perintah itu menyentak kesadaran Raina yang malah terpesona dengan Shaka.

"I-iya, Pak!" Raina menyesali tingkahnya barusan. Sudah tahu disuruh balik malah bengong. Selanjutnya bisa ditebak, Raina menyeret kakinya buru-buru meninggalkan gudang.

"Ya Tuhan, jantungku mau copot rasanya." Raina menepuk dadanya berulangkali. "Dia baru saja marah-marah dan kamu malah deg-degan. Apa kamu sudah gila?" gumam Raina pada dirinya sendiri.

Sampai di counter, rekannya maklum dan besok dia yang akan gantian menghitung ulang. Peringatan tadi sudah cukup sekali. Jangan sampai SPG dengan merek yang sama melakukan kesalahan. Mereka akan bermasalah dengan manajemen toko.

***

Menjelang senja Raina sampai di rumah. Ada keramaian yang membuat langkah Rain bergegas. Dia makin panik saat mobil ambulans datang bersamaan dengan langkahnya memasuki pagar.

"Ooh, untung Mbak Rain sudah pulang. Ayah tiba-tiba pingsan, Ibu panik jadi aku yang telepon ambulans." Lola lega, dengan terbata dia menjelaskan apa yang dia tahu. Ibunya-Rini juga belum bisa ditanya macam-macam.

Raina segera ambil alih peran. Selama ini dirinya yang bekerja tapi Wawan lah pengambil keputusan. Orang tuanya mengelola warung kelontong kecil-kecilan di rumah. Hasilnya lumayan, tapi tidak bisa diandalkan sebagai sumber pemasukan.

"Aku akan ikut ambulans. Kamu jaga Ibu di rumah, ya. Nanti kukabari kalau sudah tahu penyakit Ayah." Dengan berat hati Raina meninggalkan ibunya yang masih shock. Di rumah ada tetangga yang menemani, dan itu cukup melegakan.

Raina tidak tahu apa yang terjadi, tapi petugas medis tampak cekatan menangani Wawan. Semoga saja ayahnya cepat sadar, itu yang Raina harapkan. Pikirannya kacau, apa tabungannya cukup untuk membayar semuanya nanti.

"Maaf, apa yang terjadi dengan ayah saya? Kenapa dia belum sadar juga?" Raina bertanya dengan nada suara setenang mungkin. Kalau dia panik, bisa saja mengganggu mereka melakukan tugasnya.

"Kami belum tahu pasti, Mbak. Tapi dari cerita keluarga yang menemukan, pasien jatuh di kamar mandi. Apa ayah Mbak memiliki riwayat sakit jantung, darah tinggi, atau sakit yang lain?"

Raina menggeleng. Dia memang tidak tahu tentang penyakit yang mungkin diderita ayahnya. Selama ini dia tidak pernah mendengar ayahnya mengeluh sakit. Bahkan baru sekarang sampai hilang kesadaran.

"Kita tunggu saja diagnosa pasti dari dokter ya, Mbak. Kami sudah melakukan penanganan pertama. Sebentar lagi kita juga sampai di rumah sakit. Kita berdoa saja, Mbak. Semoga tidak ada yang serius."

Raina mengaminkan dalam hati. Sungguh dia belum siap kalau harus kehilangan Wawan. Meskipun beliau yang terus menekannya untuk segera menikah, bahkan mengancam akan dijodohkan dengan pria yang lebih tua, hal itu tidak mengubah kenyataan kalau pria yang terbaring lemah di depannya adalah ayah kandungnya.

Sampai di rumah sakit Wawan sempat sadar lalu pingsan lagi. Dokter segera melakukan pemeriksaan. Semua kemungkinan diperiksa untuk mengembalikan kesadaran pasien.

Raina menunggu sambil mengirimkan pesan ke adiknya, Lola. Paling tidak setelah mendengar kabar Wawan baik-baik saja, Rini akan lebih tenang. Meskipun dia sendiri belum tahu pasti kondisi di dalam sana.

"Mbak ... Mbak!" panggil seorang perawat sambil menepuk pundaknya beberapa kali.

Raina akhirnya terbangun juga setelah tertidur sejenak di pinggir ranjang ayahnya.

"Ya, Sus? Maaf, saya ketiduran." Raina mengusap wajahnya supaya rasa kantuknya pergi.

"Saya hanya ingin menyampaikan kalau Dokter ingin ketemu."

Dokter menjelaskan kalau Wawan hanya kelelahan dan kadar gulanya rendah sekali. Dokter sudah memberikan obat dan vitamin. Dalam waktu beberapa hari Wawan bisa pulang lagi ke rumah.

Dan hari ini, Wawan sudah bisa pulang. Raina sudah menyelesaikan semua biaya rumah sakit. Keluarga tidak memiliki BPJS jadi tabungannya nyaris habis untuknya menutup kamar rawat kelas 3 selama empat hari.

Masalah di rumah selesai, tetapi muncul masalah baru. Penyakit Wawan dianggap sebagai ancaman bagi Raina untuk segera menikah. Sebagai ibu, Rini berusaha menengahi kali ini. Kalau Raina akan menikah sesuai keinginannya.

Rini dan Wawan berdebat cukup hebat. Baru kali ini ibunya berani melawan suami yang terus saja memaksakan kehendaknya. Kalau bukan penyakit dia mengungkit semua hal yang sudah dilakukan untuk anaknya. Hal yang tidak pernah Rini akan lakukan ke Raina dan Lola.

Raina tidak fokus bekerja. Pertengkaran orang tuanya adalah hal yang belum pernah terjadi. Rini cenderung diam dan mengalah. Tapi sekarang keberanian itu menjadi dilema bagi Raina.

"Raina, setelah prosesi buka toko kamu ke ruangan saya." Perintah Shaka membuyarkan lamunannya.

Raina memijit pelipisnya. Kesalahan apa lagi yang dia buat, sampai Shaka turun tangan. Biasanya dia akan ditegur koordinator lapangan dulu, kecuali kejadian di gudang, Shaka menegur karena memergoki langsung.

Kali ini apa lagi?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro