3. TAWARAN SINTING

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raina masih ingat saat hari pertama Shaka datang, dia dipanggil setelah meeting. Saat itu dia tidak bersikap mereka sudah saling kenal, karena laki-laki itu dengan jelas menciptakan batasan. Meskipun begitu Raina masih saja mengagumi dan tak berniat mengurangi porsi kekagumannya.

"Saya pernah kasih tahu ke kamu soal counter yang akan di pindah posisinya. Kamu ingat?" tanya Shaka sambil merapikan beberapa berkas di mejanya.

"Ya. Tapi waktu itu Bapak nggak kasih tahu nama brand-nya."

Pertama kali datang dan melihat kondisi area, Shaka langsung menyoroti counter Raina yang ada di posisi kurang pas. Makanya dia memanggil beberapa SPG, termasuk Raina dan dia orang pertama yang dipanggil waktu itu.

"Rencana ini akan saya jalankan bulan depan. Jadi, tolong kamu koordinasi sama partner kamu supaya persiapan lebih dulu."

Raina tidak menduga sebelumnya kalau counter-nya yang lebih dulu disoroti bosnya. Tetapi ada yang membuatnya cemas tentang tempatnya nanti. Selama ini dia bisa mengejar target tiap bulannya dengan bonus lumayan. Tidak mudah meraih itu, karena beberapa kesempatan dia juga tidak mendapat bonus sama sekali.

"Kamu nggak apa-apa?" Shaka melihat Raina agak pucat, mungkin karena informasi yang baru saja dia dengar. Bahkan beberapa detik berikutnya gadis itu belum bereaksi.

"Rain!"

"Oh, ya? Ma-maaf, Pak!" Sontak Raina memundurkan wajahnya karena Shaka sudah duduk di depannya. Meskipun terhalang meja, tapi tatapannya membuat Raina salah tingkah.

"Kenapa minta maaf? Kamu kan nggak lakuin kesalahan. Kamu pasti mikirin posisi counter kamu yang baru. Tenang saja, nggak bakal ngurangin penjualan kamu, kok!" Shaka menyilangkan kaki dan memeriksa berkas yang dipegangnya.

Semua gerakan Shaka tak luput dari perhatian Raina. Bagaimana bisa ciptaan Tuhan yang ini begitu membiusnya.

"Saya nggak yakin, Pak! Apalagi bulan kemarin toko agak sepi. Nggak seperti biasanya, sekarang akhir minggu saja cuma beberapa item yang terjual." Raina memang terpesona dengan ketampanan Shaka. Namun, dengan cepat pula tergantikan dengan rasa khawatirnya.

Shaka meletakkan berkas dan fokus menatap Raina.

"Sejak kapan kamu jadi pesimis, Na?"

"Apa?" Raina terkejut dengan panggilan itu. Sejenak Shaka menjadi pria di masa lalunya. Dulu saat sekolah hanya Shaka yang memanggilnya begitu. Mereka berteman tapi tak pernah terjangkau untuk Raina bisa memiliki.

"Pembicaraan kita sebelumnya, kamu nggak kayak gini. Semangat kerja kamu tinggi dan itu meyakinkan saya untuk eksekusi rencana ini."

"I-iya, tapi waktu itu saya pikir bukan counter saya."

Shaka geleng-geleng kepala. "Na, kamu bisa. Kamu masih Raina yang dulu, jangan ubah teman lamaku yang selalu optimis itu."

Ya, Tuhan. Raina lemas melihat senyum itu muncul lagi. Senyum Shaka yang masih manis dan makin menambah skor tampannya. Baru kali ini Shaka tersenyum, setelah sebelumnya dia seperti orang lain. Ekspresinya dingin dan kurang ramah.

"Ya, saya usahakan, Pak. Saya permisi dulu, ada barang yang mau datang, jadi .... ehm ... harus siapin tempatnya."

Raina bergegas keluar dari ruangan Shaka. Sedikit saja lebih lama di sana, dia tidak yakin masih bisa waras.

Sepeninggal Raina, Shaka tersenyum makin lebar. Gadis itu tidak berubah, masih lucu dan dan membuat dunianya berbeda. Raina teman satu sekolah yang ceria dan selalu salah tingkah kalau di dekatnya.

Senyumnya memudar saat ingatannya sampai di momen papanya menjatuhkan pilihan sulit untuknya. Antara sekolah ke luar negeri atau dikeluarkan dari penerima warisan keluarga. Shaka memilih keluar dari rumah dan tinggal bersama kakeknya di Bandung. Semua dilakukan karena tak ingin jauh dari gadis pujaannya. Raina Nenggaswari.

***

Ada mobil tak dikenal terparkir di depan rumah. Raina memilih masuk lewat pintu belakang untuk langsung ke kamarnya. Sayang, Wawan sudah mencegatnya sebelum dia berhasil masuk kamar.

"Ada tamunya Ayah pengen ketemu sama kamu. Ikut Ayah ke depan dulu." Wawan tak hanya berkata, tapi dia juga menarik lengan Raina supaya tidak ada kesempatan untuk menghindar.

Sementara itu Raina tak punya pilihan untuk menolak. Semenjak keluar dari rumah sakit, dia sering melihat ayahnya makin dilanda kekhawatiran berlebih.

"Ini anakku yang paling besar. Sudah kerja dan dia ingin lanjut kuliah tanpa merepotkan orang tuanya. Padahal aku sudah mau jual tanah di kampung waktu itu. Harganya cukup untuk sekolahnya."

Kalimat selanjutnya Raina sudah tak tertarik lagi mendengarnya. Cerita itu hanya ulangan setiap teman ayahnya berkunjung. Dia hanya tersenyum tipis dan sesekali mengangguk demi menghargai wibawa Wawan di depan temannya.

Namun, Raina tersentak saat teman Wawan mengatakan hal yang menyentil harga dirinya.

"Daripada kerja di mall, mendingan nikah sama Mas, Dek Raina. Nggak perlu capek, duduk tenang di rumah, nanti semua keinginan Dek Raina, Mas belikan."

Raina menoleh ke Wawan minta penjelasan. Rasa lelah belum hilang, sekarang ditambah pernyataan dari teman Wawan yang tidak masuk akal. Tetapi apa reaksi ayahnya? Wawan mengangkat bahunya, tidak ada ekspresi keberatan dari pria yang dipanggil ayah itu.

"Jangan khawatir, meskipun istri kedua, Dek Raina nggak bakal kekurangan."

"Apa!!?" Raina tak bisa berkata-kata lagi. Tak ada yang membelanya, bahkan ayahnya pun dengan senang hati memberikan anaknya pada pria yang sudah beristri.

Dia nekat meninggalkan ruang tamu tanpa permisi. Dia tidak peduli lagi panggilan ayahnya, dia memilih dibilang tidak sopan, anak durhaka, atau apalah sebutannya, daripada menuruti tawaran gila pria tua itu. Kewarasan dan kesabarannya sudah habis.

***

Waduh, gimana ini? Siapa yang masih waras?

Kita lihat nasib Raina di bab selanjutnya, ya.

Stay safe and healthy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro