4. WORRIED ABOUT YOU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dasar anak nggak tahu diri. Sudah dibesarin susah payah, malah bantah orang tua terus kerjaannya." Wawan mengomel dengan suara kencang, supaya Raina mendengar dari kamarnya.

"Lagian mana ada perempuan yang mau jadi istri kedua, Yah? Yang kebangetan itu ya, yang nyuruh, bukan yang disuruh." Rini menimpali tak kalah kencang.

"Kamu jadi istri juga nggak ada patuhnya sama suami. Harusnya dukung, dong!"

Rini bungkam. Kalau dia balas lagi dengan kencang juga, mungkin bukan cuma tetangga yang melongok ke rumah, tapi Pak RT akan menegur dengan senang hati.

Raina menyumpal telinganya dengan musik yang langsung mengalun menghiburnya. Biarkan mereka berdebat, suasana rumah sudah berubah banyak setelah sakitnya Wawan. Kalau diulik lagi, diagnosa dokter tidak menunjukkan penyakit berat pada dirinya. Sungguh berlebihan kalau hal itu dijadikan sebagai alasan sekaligus ancaman untuk Raina.

Awalnya keinginan Wawan akan dituruti dengan segera mencari jodoh. Tetapi bukan berarti asal pilih. Bagaimana mungkin seorang ayah menikahkan anaknya dengan sembarang pria? Tidak segampang itu juga mencari suami.

Raina sedih sekalligus marah. Serendah itukah nilainya di mata Wawan, sehingga dengan sembarangan dia menyerahkan putrinya pada laki-laki beristri? Tak ada toleransi lagi mulai detik ini. Kalau dia diusir, tak butuh waktu lama untuk membereskan barang dan pergi dari rumah.

Tetapi bagaimana Rini dan Lola? Aaaargh!! Tangis Raina tak bisa tertahan lagi, suaranya teredam dengan suara musik yang sengaja diputar agak kencang.

***

Berulangkali Raina menutupi lingkaran hitam di sekitar matanya, tapi masih terlihat juga. Dia sudah hampir terlambat, kalau harus menambah riasannya lagi dia akan benar-benar terlambat turun ke area.

"Sial bener sih, aku." Raina melihat bayangan wajahnya sekali lagi, sambil berusaha menambahkan bedak dan eye shadow lagi.

"Oke, lumayanlah!" Cukup puas dengan usahanya, kali ini Raina bisa bekerja dengan tenang.

Bel berbunyi di ruang karyawan. Sepuluh menit lagi batas waktu bagi karyawan untuk segera turun ke area tanpa terkecuali.

Hari itu Cika libur. Kemarin dia bahagia sekali, hari ini dia diajak pacarnya ke rumah. Sudah waktunya bagi sahabatnya itu melangkah lebih dulu menuju pernikahan.

"Rain, kamu dipanggil ke ekspedisi," panggil salah seorang SPG bagian sepatu.

"Siap, Mas. Makasih!" Raina membereskan beberapa barang ke dalam laci di bagian bawah wagon¹.

Langkah Raina sedikit terhuyung, sejak berangkat dari rumah kepalanya sudah pusing. Sarapan pagi pun dia lewatkan. Daripada harus berdebat dengan Wawan, gadis itu memilih berangkat lebih pagi dan tertidur di rooftop gedung. Di lantai paling atas ada studio musik yang disewakan dengan tarif perjam. Di teras studio itu ada bangku empuk dan nyaman. Dan di situlah Raina sempat terlelap tanpa gangguan.

"Kamu sakit?" Tiba-tiba saja Shaka sudah di samping tanpa Raina sadari.

Pegangannya hampir terlepas karena kehadiran Shaka yang tiba-tiba.

"Oh, Pak Shaka. Saya nggak apa-apa." Raina segera berdiri tegak. Tetapi dia tidak bisa mengubah wajah pucatnya.

"Kalau sakit ijin pulang, aja. Saya nggak mau kalau nanti ada kehebohan di area kerja."

Raina menangkap ekspresi dingin bosnya kambuh. Kalau sudah begini, dia pilih aman saja. Lagipula kehebohan apa yang Shaka maksud, Raina juga tak mau pingsan di area. Daripada beneran heboh karena terjadi perdebatan kusir sama si bos, Raina ijin untuk ke atas dan minum obat di sana.

Shaka menahan keinginan untuk mengikuti gadis pujaannya. Area kerja tidak memungkinkan baginya untuk menunjukkan perhatian lebih secara pribadi ke karyawannya. Namun, hatinya berontak karena ditekan rasa cemas, dan kini memaksanya membuntuti diam-diam menuju lantai atas.

Di depan klinik yang tersedia, Raina tengah diperiksa dokter jaga sambil sesekali menekan rasa sakit di kepalanya.

"Tadi pagi sudah sarapan?" tanya dokter saat memeriksa bagian perut. "Jangan bohong, area sini jelas masih kosong." Kalimat itu dijawab dengan helaan napas, Raina mengaku.

"Obat ini diminum setelah makan. Jadi, tolong kali ini jangan bandel nggak makan lagi. Kalau perlu gue yang ijin langsung ke koordinator area lo."

Raina langsung menggeleng beberapa kali, mencegah jangan sampai dia melakukannya. Raina tak menyangka dokter itu sangat ramah dan tidak kaku saat berinteraksi dengan karyawan. Lihat saja dari caranya berbicara, begitu akrab dan menyenangkan.

"Saya janji akan makan, Dok. Terima kasih."

"Nama lo Raina?"

Raina mengangguk.

"Oke, Raina. Lo sudah tahu ada masalah apa dengan badan lo. Jadi usahakan jangan telat makan atau tidak makan apa pun. Masalah hidup itu harus dihadapi dengan perut kenyang."

Setelah mengatakan itu, Raina diijinkan keluar tanpa meminta tanggapan sama sekali. Raina pamit dengan ucapan terima kasih untuk kali kedua.

Sampai di depan ruangan dia dikejutkan dengan kehadiran Shaka yang langsung menoleh dan menatapnya.

"Pak Shaka? Mau periksa juga?" Raina mengutuk mulutnya yang lancang bertanya. Sudah tahu tadi bosnya itu sedang tidak ramah.

"Ehm ... maaf, nggak perlu jawab pertanyaan saya. Nggak penting juga, kan. Saya permisi." Raina beranjak dan melewati Shaka sambil menunduk.

"Mau ke mana?" tanya Shaka dengan nada datar.

Raina tak menjawab. Dia terus melangkah dan Shaka langsung mencekal lengannya. Obat di tangan Raina terjatuh, dia terkejut dengan tindakan Shaka yang dirasa aneh.

"Saya tanya kamu mau ke mana?" Shaka bertanya lagi. Tetapi tak kunjung mendapat jawaban dari gadis itu, memaksanya melakukan sesuatu untuk menarik perhatian Raina.

Lengan Raina ditarik, dan satu lengan yang lain memegang pinggangnya supaya mendekat. Posisi seperti ini membuat Raina akhirnya menatap Shaka.

Koridor di area klinik jarang dilewati orang, apalagi saat jam kerja. Jadi Shaka tidak perlu khawatir ada orang melihat tindakannya. Dia juga tahu batasannya. Saat ini kesehatan Raina lebih penting.

"Pak, ja-jangan gini, nanti ada yang lihat." Raina gugup, dia tidak menyangka dengan reaksi Shaka yang seperti ini.

"Jawab pertanyaan saya, baru saya lepaskan. Lagian apa susahnya jawab pertanyaan saya, Na?"

Raina melihat kecemasan dan rasa takut di mata Shaka. Semua bertolak belakang dengan sikap Shaka di area tadi.

***

1.wagon adalah kotak beroda biasanya untuk barang yang diberi potongan harga.

Guys, Shaka ini masih abu-abu banget, ya. Apa sih, maunya?

Kita lihat di bab befikutnya, ya.

See, you. Stay safe and healthy.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro