6. LUKA YANG TERLUPA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raina meradang. "Brengsek!" desisnya sambil menatap tajam pria di depannya.

"Apa? Kurang ajar kamu! Berani-beraninya ...." Tangan pria itu melayang ke wajah Raina.

Cika menarik lengan Raina supaya pukulan itu meleset. Tetapi tindakan seseorang lebih cepat, dan pukulan itu tertahan di udara.

Raina yang tadi reflek menutup mata, terbuka perlahan karena suara asing dari seseorang.

"Jangan jadi pengecut dengan memukul perempuan." Suara itu tegas dan mengancam ketenangan siapa pun yang mendengarnya.

Raina dan Cika saling berpandangan. Keduanyaaa sama-sama terkejut dengan kehadiran tak terduga dari Haris-Store Manager toko. Dia adalah orang nomor satu di susunan manajemen Sunny Departemen Store.

"Nggak usah ikut campur! Urusanku sama perempuan sundel bolong itu." Pria itu makin kesal dan marah. Mereka bahkan sudah jadi tontonan banyak orang.

"Dia karyawanku, jadi urusannya juga urusanku. Anda bisa pergi sendiri atau perlu dibantu security keluar dari gedung ini?" Haris tidak peduli tindakannya akan jadi pusat perhatian. Alasannya cuma satu, dia tidak suka ada yang kurang ajar sama perempuan. Apalagi dia karyawannya.

"Kalau jadi urusanmu, kamu bisa lunasi utang bapaknya?"

"Apa? Bohong!!" bantah Raina sengit. Dia tidak pernah tahu soal ini.

Haris tidak bisa diam saja. Keributan itu tidak boleh berlanjut di sini. Dia menghubungi security. Tanpa menunggu lama mereka datang dua orang dan segera menarik paksa pria itu pergi.

"Raina, maaf. Saya nggak ada niat mau ikut campur. Tapi kejadian seperti ini tidak seharusnya terulang. Selesaikan masalah ini di rumah, ya? Orang itu bisa saja balik lagi dan main nekat." Haris bertanggung jawab di gedung lima lantai itu.

Memang tidak serta merta dia harus turun tangan seperti ini. Tetapi kalau sampai terjadi sesuatu dia akan dipertanyakan kinerjanya. Bagaimana mengatur manajemen dan keamanan toko.

Sepeninggal Haris dari sana, Raina lemas. Cika khawatir sahabatnya pingsan.

"Kita balik ke ruang karyawan aja, yuk!" ajak Cika lalu memastikan dompet dan ponsel mereka tidak tertinggal.

Sampai di ruang karyawan Cika tidak bisa melepaskan perhatiannya sedikitpun. Raina sudah cukup banyak masalah, jangan sampai bantuan dari Store Manager mereka malah jadi bumerang bagi pekerjaan mereka.

Haris memang dikenal sebagai atasan yang tegas dan disiplin. Tetapi soal dia bisa toleransi dengan keributan hal pribadi di tempat kerja, mereka tidak tahu.

Raina mengacak rambutnya frustrasi. Tindakannya ini berbarengan dengan geraman Cika. Keduanya saling pandang dan tertawa.

"Ya, sudahlah. Lupakan soal om-om nggak tahu diri tadi dan pikiran buruk kita setelahnya. Sekarang kita harus fokus kerja dan tunjukkan ke Pak Haris, kalau kita bisa diandalkan."

Kalimat Cika disambut anggukan lemah beberapa kali dari Raina. Mau tidak mau, siap tidak siap, semua harus dihadapi dan dijalani. Keduanya sepakat untuk sekarang.

***

"Raina! Semua oke?" Shaka menghampiri saat Raina hendak memasuki pintu masuk area.

"Maksudnya apa, Pak? Saya baik-baik saja." Raina merasa tidak aneh, kenapa Shaka bertanya soal keadaannya. Seolah-olah dia tahu kalau sempat terjadi sesuatu tadi. Tetapi dari mana dia tahu?

"Na! Saya tahu ada yang terjadi tempo hari saat makan siang. Dan, kamu nggak perlu tahu dari mana saya tahu."

Tak kunjung mendapat jawaban dari si gadis, Shaka frustrasi. Seharusnya dia bisa menjaga sikapnya. Bukan karena mereka di tempat kerja. Melainkan soal Lisa yang selalu mengancamnya.

"Saya baik-baik saja, Pak! Dan sekarang harus balik ke counter." Raina bingung dengan sikap tak jelasnya Shaka.

Tatapan Shaka melembut, tidak sekhawatir tadi. Padahal dia ingin tahu apa yang terjadi padanya saat makan siang. Namun dari sikap Raina, Shaka menangkap kalau gadis itu tidak mau cerita. Gara-gara Haris ceritanya setengah-setengah, dia jadi panik dan asal mendatangi Raina.

"Oke, saya cuma khawatir kalau kamu sakit lagi." Suara Shaka memelan. Padahal jelas bukan itu penyebab dia cemas.

Shaka ini dirasa Raina makin aneh dan tidak jelas. Dia sudah dikejar waktu, meskipun hatinya senang dan pengen jingkrak-jingkrak, karena perhatian manisnya Shaka. Tetapi dia juga masih butuh pekerjaan dan gaji tiap bulannya.

"Pak, maaf nih, ya. Kalau nggak ada yang mau diomongin lagi, saya turun ke area. Pekerjaan saya menunggu." Dengan berat hati Raina harus mengatakan kalimat itu.

Shaka hanya mengangguk. Banyak hal yang ingin dia tanyakan tapi hanya sampai di ujung bibir. Saat itu juga dia merasa jadi pengecut di balik sikap dingin dan ekspresi datar yang sesekali dia tunjukkan.

Fokus Raina jadi terbelah. Kali ini Shaka mulai memenuhi sebagian besar otaknya. Sejak awal kedatangannya, terkadang Raina merasa di beri harapan kalau Shaka menyukainya. Tetapi satu momen Shaka langsung berubah, seolah harus menjaga jarak darinya.

"Kamu kenapa sih, Nal?" gumam Raina. Suaranya tenggelam di antara musik yang mengalun di seluruh gedung.

Panggilan mereka berdua memang mirip. Kedekatan tanpa status di masa SMA dulu yang melahirkan panggilan manis itu. Nal untuk Shakanala, dan Na untuk Raina. Sungguh so sweet di masa remaja keduanya. Sayangnya, momen manis itu terganggu oleh Lisa yang mengaku kalau dia adalah kekasih dari Shaka. Gila, kan? Raina yang waktu itu masih polos dan culun, tentu saja sakit hati. Dia tahu diri kalau Lisa lebih pantas bersama Shaka. Setelah itu dia menjauh dan menghilang tanpa jejak.

Lisa, perempuan yang begitu gencar mengejar Shaka sampai rela berbohong ke semua orang. Bukan hanya bohong kalau dia pacar Shaka, bahkan dia mengaku hamil sesaat setelah angkatan mereka lulus.

Shaka menuntut kebenaran pengakuan itu. Dia tidak mau disalahkan, karena sejujurnya tidak pernah menyentuh siapa pun. Bagi Shaka, Lisa hanya seorang teman biasa. Malah dia merasa tidak nyaman kalau bergaul dan dekat dengan Lisa.

"Raina Nenggaswari!" sapa seseorang yang tak pernah Raina duga.

Belum juga jadi pacar udah dateng aja, Mak Lampir Lisa. Wkwkwk.

Belum pasti niatnya apa, kok!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro