2. Close(d)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Moshi-moshi?" Keiko menempelkan benda pipih itu di sebelah telinganya sembari keluar dari ruang siaran.

Ia bekerja sebagai model dan penyiar radio di sebuah saluran radio swasta. Sesi siarannya adalah sesi hiburan dan tangga lagu terbaik di dunia. Sangat kebetulan ketika sesi siarannya usai dan ponselnya berdering. Sederet nomor yang tidak ia kenal menari di layar ponsel. Keiko adalah tipikal orang yang tidak keberatan mengangkat telepon dari nomor yang tidak ia kenal. Namun, dengan catatan dan batasan lainnya sebagai antisipasi. Barang kali itu nomor yang membawa hoki, misal tawaran job baru, who knows?

Tidak ada suara yang menjawabnya.

"Moshi-moshi?" tanya Keiko sekali lagi.

Tidak ada jawaban juga. Lantas Keiko berniat menutup panggilan tidak jelas itu, namun terdengar suara lagu anak-anak yang pernah mengisi masa kecil Keiko.

Kagome kagome, kago no naka no tori wa
(Kagome, Kagome, burung dalam sangkar)
Itsu itsu deyaru? Yoake no ban ni
(Kapan, kapan, kau keluar? Saat malam dini hari)

Ponselnya terlepas begitu saja dari genggaman Keiko. Ia membatu seketika. Bayangan-bayangan buruk masa kecil itu menghantuinya seketika. Seperti deja-vu, begitu terasa nyata.

Suara Otou-san dan Okaa-san yang bertengkar hebat di luar sana memenuhi gendang telinganya. Sementara Keiko kecil hanya mampu meringkuk di belakang pintu kamarnya sembari menutup kedua telinga.

Menunggu seseorang yang akan membawanya keluar dari sana. Keiko benci teriakan-teriakan menghakimi itu. Keiko benci rumahnya, tapi harus pergi ke mana lagi?

Bukankah rumah adalah tempat untuk pulang? Suara vas bunga yang pecah berhasil mengguncang bahunya. Sedetik kemudian, terdengar suara bantingan pintu disusul suara deru mobil yang keluar dari halaman rumah.

Kenzo. Satu nama itu berhasil menarik Keiko kembali ke dunia nyata. Ia segera menghapus jejak air mata di pipi secara kasar lalu mengambil ponsel nahasnya. Tanpa pikir panjang, Keiko mencopot SIM-card dari ponselnya, menginjak chip itu tanpa ampun. Apa pun jejak yang tercium darinya, Keiko harus memusnahkannya. Ia tidak ingin bertemu orang itu, apa pun alasannya.

Mobil yang Keiko kendarai melaju di jalanan yang ramai lancar. Menembus keheningan malam bersama suara radio yang menemani perjalanan. Entah kenapa, hari ini lelah tidak terlalu menggelayuti tubuhnya. Meski bayangan masa lalu sempat menghantui pikiran, Keiko berhasil menekannya.

Ya, dia selalu berhasil menekannya.

Matanya menyusuri lampu jalanan dan tanda papan jalan yang sempat terlewat. Ia suka bagaimana cara Tuhan membuat malam menjadi dua bagian yang kontras, kadang mencekam, tetapi juga indah. Meski matahari adalah bintang paling besar yang dapat dilihat di siang hari. Namun, bintang malam yang menyerupai hamparan berlian tetap memiliki daya tarik lain yang lebih berkesan.

Serendipity.

Sebuah cafe di seberang jalan yang cukup menarik baginya. Bagaimana rasa kopi di sana terasa berbeda dari tempat-tempat sejenis yang pernah ia kunjungi. Atau bagaimana cara Kim Emery Yaro beramah tamah kepada pengunjung cafe-nya. Baginya itu semacam hiburan tersendiri. Tanpa banyak kata, tanpa berani bertatapan lama dengan pria itu secara langsung, dan tanpa mampu menyembunyikan senyum tipisnya saat memandangi Kim Emery Yaro yang sedang serius meracik kopi. Ia menyukai semua komposisi dari Serendipity.

Denting lonceng menyambutnya ketika ia mendorong pintu masuk cafe itu.

"Maaf hari ini kami akan tutup lebih cepat," sapa seorang pria yang sedang mengelap salah satu meja.

Keiko menghembuskan napas pendek dan rasa bernama kecewa langsung menggerogoti hatinya. Lantas ia hendak berbalik untuk kembali mendorong pintu cafe.

"Segelas caramel macchiato?"

Keiko tertegun sejenak. Gerakan tangannya berhenti sebelum mencapai gagang pintu cafe.

Sejak kapan kopi kesukaannya jadi rahasia umum?

Yang pertama Keiko lihat saat kembali berbalik adalah sosok pria tinggi dengan lengan kemeja yang digulung setengah. Bukan pria yang sedang mengelap meja tadi, tentu bukan. Kalau Keiko boleh menilai satu sampai seratus, maka ia tidak akan memilihnya. Sosok Kim Emery Yaro lebih dari itu. Melampaui batas. Nyaris sempurna tanpa cela.

"Bukankah sudah tutup?" tanya Keiko.

"Aku masih bisa melayani segelas caramel macchiato," katanya.

Ia sudah terlanjur masuk tanpa memperhatikan tulisan closed yang terpasang di depan pintu kaca cafe. Lagi pula ia juga sedang ingin minum caramel macchiato. Akhirnya Keiko mengangguk pelan sembari membalas senyum Key. "Terima kasih banyak, maaf merepotkan."

"Tidak sama sekali, ayo ...," ajaknya.

Keiko mengikuti pria itu dengan canggung tanpa pikir panjang. Aneh, seharusnya ia tidak perlu merasa seperti ini. Mereka berjalan melewati kursi-kursi yang sudah bertumpu di atas meja. Key berhenti di depan pria yang tadi sedang mengelap meja.

"Kalian boleh pulang lebih dulu."

"Baik, Mr. Kim," jawabnya sembari mengangguk.

***

Dan di sinilah Key, di hari dan malam yang tidak pernah ia sangka dapat terjadi. Berdua dengan Keiko Minatozaki, ditemani dua gelas caramel macchiato, serta laporan neraca cafe-nya. Bohong besar tentang ia yang berdalih akan memeriksa laporan neraca cafe-nya. Persetan dengan untung rugi. Deposito dan sahamnya masih melimpah ruah berceceran. Matanya hanya dapat terpaku pada sosok gadis yang sedang menekuni novel.

Keiko Minatozaki pandai sekali membuatnya merasa terabaikan bak butiran debu di jendela.

Mereka sudah duduk berhadapan. Akan tetapi, Keiko punya dunianya sendiri yang rasanya ingin ia terobos dan jelajahi, kalau bisa. Lantas gadis itu menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga.

Sudah yang ke empat kali. Setelah ini Keiko pasti menyambar gelasnya, batin Key.

Satu.

Dua.

Tiga.

Key dengan sengaja menyentuh gelas milik gadis itu lebih dulu. Sebelum akhirnya tangan Keiko bertumpu di atas tangannya. Gadis itu terkejut bukan main dan mengangkat wajahnya. Mata cantik itu. Key butuh segala macam taktik sinting hanya untuk membuat mata cantik itu penuh dengan bayangan dirinya.

"Ini ... gelasku 'kan?" tanya Keiko.

Mereka sudah dua jam di sini dan percayalah selain kata terima kasih atas caramel macchiato yang dia buat, ini pertama kalinya Keiko bersuara. Setelah meminta izin untuk duduk semeja dengan gadis itu pun, mereka tidak punya obrolan basa-basi atau semacamnya.

Key tidak menyia-nyiakan detik demi detik yang sempit itu untuk bertanya-tanya dalam benaknya, kenapa bola mata hitam pekat milik gadis keturunan Jepang itu lebih indah dari berlian di tempat pelelangan gelap yang kerap ia datangi?

"Iya ... Ini gelasmu," jawab Key.

Sorot mata Keiko seolah menyiratkan 'kalau begitu biarkan aku minum'. Sementara tatapan Key seolah menyiratkan 'aku tidak akan melepas gelasnya jika kau tidak melepas tanganku'. Dan Keiko sepertinya pembaca sorot mata yang ulung. Ia melepas tangannya dilanjut dengan Key yang menggeser gelas itu supaya lebih dekat dengan pemiliknya.

Key berdeham. "Maaf, tidak sengaja." Sembari menyilangkan kedua jarinya di bawah meja.

Detik super singkat berikutnya ia gunakan untuk beralih pada layar laptopnya. Ketika Key kembali, gadis itu menatapnya tiga detik sembari tersenyum lalu menyedot caramel macchiato-nya.

Tunggu, barusan itu apa? Efek dari lampu cafe-nya atau matanya yang mulai lelah?

Key rasa, dia sudah pernah memandangi gadis itu menebar senyum di depan kamera saat pemotretan ... tetapi, kenapa? Senyum dan tatapan Keiko kali ini membuatnya sulit bergerak!

***

Jam di atas nakasnya masih menunjukkan pukul dua dini hari. Keiko menghembuskan napas keras. Ia benci insomnia. Matanya menatap sekeliling kamar apartemen yang gelap gulita. Lantas ia beranjak dari tempat tidurnya, menekan sakelar lampu kamar.

Keiko terkejut tatkala melihat sosok laki-laki yang bermain rubik di sofa ruang tamunya yang mungil. "Siapa kau?"

Pria itu mengangkat kepalanya menatap Keiko. "Siapa lagi menurutmu?"

Keiko berdecak kesal. "Kau itu sebenarnya manusia atau hantu? Pertama, ini bukan jam wajar kunjungan tamu, kedua .... " Ia berhenti sejenak untuk menahan amarahnya sembari menggertakkan gigi. "Dari mana lagi kau tahu password apartemen baruku, Dio?"

"Santai, oke? Pertama, aku sebenarnya sedang tidak melakukan kunjungan karena dia yang memintaku mengecek keadaanmu. Kalian berdua merepotkan, tahu? Aku dan Kaerin saja tidak pernah serumit ini. Dan satu lagi Keiko, password apartemenmu itu terlalu mudah ditebak, hanya berputar di beberapa kata dan angka saja." Dio menanggalkan jasnya di sofa. "Karena kau sudah bangun, coba tolong tunjukan di mana kau sembunyikan kafein? Semacam teh atau kopi? Aku butuh mereka untuk melanjutkan pekerjaanku di sini."

Keiko berdecak kesal sembari menghentakkan kakinya menuju pantry.

Dio Hirano merupakan sepupunya yang paling menjengkelkan dan satu-satunya yang ada di negara ini. Entah Keiko harus bersyukur atau harus bertapa di gunung Fuji atas kesialan di hidupnya. Sementara sepupunya yang memiliki mata setajam elang, berkepribadian lurus-oke, dalam lingkaran keluarga Hirano maksudnya-dan workaholic-yang menganggap meja kerja sebagai cinta sejatinya-mengekorinya di belakang.

Omong-omong soal workaholic, dirinya sendiri juga sama saja. Keiko juga butuh bekerja super keras untuk membiayai kegiatannya keluar-masuk club malam atau sekedar menyalurkan hobi. Meski alasan sekundernya tetap sama, yakni bagaimana cara melupakan nasib menyedihkannya sebagai orang yang terlupakan, terabaikan.

Dio memandang miris begitu Keiko membuka pintu kulkas. "Kulkas sebesar ini hanya berisi bir kaleng? Kau itu perempuan 'kan?"

"Aku biasa minum kopi di cafe, aku punya waktu dan uang untuk segelas kopi," katanya sambil mengibaskan rambutnya.

Dio berdecak, menyambar botol air mineral. "Freya bisa mematahkan leherku, jika mulutku bau bir ditambah lagi tidak pulang malam ini." Lalu dia menenggaknya sampai setengah botol.

Keiko hanya mengedikkan bahunya, kemudian berjalan melewati Dio menuju kamar. Ia tahu Freya Dupont, gadis blasteran Tionghoa-Prancis nan cantik-tentu saja kecantikan Freya masih sepuluh persen di bawahnya-kaya raya yang sangat disayangkan berjodoh dengan sepupunya itu. Keiko juga sedikit tahu kisah cinta mengenaskan Dio bersama wanita itu. Memang begitu bukan dunia yang sesungguhnya? Dunia ini bukanlah negeri dongeng. Sesederhana pangeran menemukan sang putri, lalu hidup bahagia.

Langkah kakinya terhenti di depan lemari pakaian. Setelah Keiko menarik pintu, matanya langsung tertuju pada sebuah dress kesukaannya. Baiklah, karena ia tidak bisa lagi tidur, besok tidak ada jadwal pemotretan dan siarannya berlangsung di siang hari. Maka malam ini Keiko akan membuang sedikit uangnya untuk beberapa koktail wine.

"Mau ke mana?" tanya Dio ketika ia keluar dari kamar bersama clutch di tangannya.

"Bukan urusanmu."

Dio menahan sebelah tangannya. "Ini jam dua pagi lewat dua puluh enam menit, Keiko."

"Sssh ... Nenek-nenek panti jompo juga tahu, Dio." Keiko melepas tangannya dengan satu sentakan.

Kali ini Dio menghalangi jalannya. "Kembali ke kamarmu," katanya datar.

"Minggir! Mau kutelepon polisi?"

Dio masih tidak bergerak seinci pun.

"Baik, aku bisa memberi banyak kejutan untuk Freya. Misalnya cerita karangan."

Setelah mengatakannya Keiko menang. Ia tertawa mengejek tanpa suara di depan Dio. Ck, kelemahan laki-laki, harta, tahta dan wanita. Iya, kelemahan semua laki-laki di muka bumi termasuk Otou-san. Baginya, keluarga hanyalah sebuah kata tanpa makna. Keiko kerap keluar-masuk club malam sejak berada di Sekolah Menengah Atas. Ia benci di rumah dan semua kebahagiaan ada di luar rumah.

Tidak ada yang benar-benar peduli padanya.

Miris memang, tidak juga Okaa-san, Otou-san, ataupun Kenzo. Semua pergi meninggalkannya, tidak ada yang ingin tetap tinggal menemaninya. Dan semua rasa kesepian itu sering kali Keiko lemparkan ke club malam, orang-orang yang menari di dance floor tanpa mempedulikan satu sama lain, gelas-gelas koktail berisi wine, serta suara entakan musik DJ. Semua hal tersebut dapat menguapkan rasa bencinya terhadap takdir.

Dan inilah Keiko Minatozaki yang sesungguhnya, tanpa spot light.

***

*Moshi-moshi : Halo?
*Okaa-san : Ibu
*Otou-san : Ayah

Terima kasih sudah mampir :)
Don't mess up my tempo,
Pariskha Aradi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro