3# Kali Kedua Tak Lagi Sama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menurut Ngana semua, siapa uang cocok buat jadi visual cast Arshaka?
Kalau Siena?


Karena yang singgah, belum tentu sungguh.


Ramai suasana food court siang ini, tapi sunyi terasa di hati Arshaka. Duduk di antara Baim dan Siena, Shaka memilih mengalihkan pandangannya pada area sekitar. Sembari menikmati seruputan minumannya, sesekali tangan Shaka bergerak menggulir ponsel pintarnya, sekadar menyecrol--agar terlihat sibuk di mata Siena. Baim fokus menyuap makannya, sementara Siena juga melakukan hal sama. Gadis itu melahap antusias satu tangkup patty burger dengan saus super pedas.

Diam-diam Shaka perhatikan lewat lirikan kecil. Gaya makan Siena masih sama seperti dulu. Tidak pernah berubah. Gadis itu sangat menikmati setiap senti makanan yang masuk ke mulutnya. Tidak ada drama 'sok imut' seperti kebanyakan cewe yang gengsi untuk makan banyak saat di depan cowo. Apalagi sok-sokan mengeluarkan keluhan kalau makanannya terlalu besar, tidak muat saat dimasukkan mulut. Halaah!

"Kak, kamu nggak makan?" Sebuah interupsi singkat di tengah kunyahan Siena. Shaka reflek menggeleng. Dia sudah paham kalau panggilan 'kak' Siena ditujukan padanya. Shaka dulu adalah kakak kelas Siena.
Arshaka kelas 12 dan Siena adik kelas yang baru kelas 10.

Shaka tidak akan pernah lupa peran penting Siena saat dia masih duduk di bangku putih abu-abu. Sebagai Agit, atau anak kelas tiga. Shaka masuk ke dalam geng perkumpulan di sekolahnya. Berlindung di balik kegiatan ekstrakurikuler, tapi sisi buruk Geng yang Shaka ikuti adalah suka semena-mena pada adik kelas. Terutama kelas 10. Semaunya sendiri memerintah ini dan itu, meminta kolekan, bahkan yang lebih parah membully sampai psikis si korban drop parah, kalau si adik kelas melakukan satu kesalahan kecil. Siena satu-satunya siswa yang berani melawan. Dia enggan menuruti perintah para Agit. Siena tidak takut berhadapan dengan para kakak kelas yang semena-mena, sampai suatu hari Shaka ditunjuk Agit lain untuk pura-pura minta maaf pada Siena, lalu mengajak gadis itu ke gudang yang ada di belakang sekolah dan mengatakan kalau ada teman mereka yang disekap. Begonya Shaka menuruti hanya karena diancam tidak akan dianggap anggota lagi kalau membangkang.
Siena yang polos langsung percaya saja, dia mengikuti petunjuk Shaka menuju gudang belakang sekolah. Di sana sudah ada beberapa kakak kelas yang menanti. Shaka mengintip dari kejauhan, rupanya saat itu Siena akan dilecehkan oleh teman-temannya. Nurani Shaka terketuk, gegas dia melaporkan kelakuan bejat teman satu gengnya pada kepala sekolah. Untung semua orang sigap, Siena tidak sampai dilecehkan, tapi psikisnya jelas mengalami trauma.  Siena hanya menangis histeris. Shaka merasa sangat bersalah, berkali-kali dia minta maaf. Sejak saat itu geng yang telah bertahan belasan tahun di sekolah dibubarkan paksa oleh komite sekolah.

Siena adalah gadis pertama yang menarik perhatian Arshaka. Polahnya yang lucu dan polos membuat Shaka menyimpan rasa kagum yang berlebihan menjadi sebuah gejolak perasaan laki-laki pada perempuan.  Kedekatan mereka membuat Shaka memberanikan diri mengungkap perasaan. Waktu itu menjelang kelulusan, Shaka beranikan diri menyatakan perasaan. Gayung bersambut, Siena menerima Shaka.
*
Shaka menggeleng menjawab pertanyaan Siena. Dua sedang tidak mood untuk mengisi perut, meski sebenarnya rasa lapar menginvasi lambungnya.

"Shaka puasa, Na. Nggak usah ditawari makan. Puasa mutih dia. Biar cepet dapat jodoh. Maklum badboy , meskipun syar'i tapi Arshaka kena tulah, jadi susah dapat cewe yang mau diseriusin." Baim menyahut seenaknya,  membuat Shaka melirik sahabatnya itu dengan tatapan jengah dan mengumpat dalam hati, "Si Bangke Baim!"

"Pak Baim, makannya sudah selesai ya, silakan balik duluan Pak, kerjaan lagi banyak ya, tenang aja Pak, makannya sudah saya bayar semua. Silakan duluan, sebagai 'atasan' harus kasih contoh yang bagus buat karyawan, jangan sampai males-malesan." Shaka berkata manis tapi bernada sindiran, kakinya di bawah meja menginjak sepatu Baim lumayan keras sampai lelaki itu mengadu kesakitan.

"Ogeb, geblek sia! Sakit woy." Refleknya. Siena sampai melirik kaget.

"Kenapa Pak Baim?"

"Ngg-nggak pa-pa, ini kesandung pinggiran meja kakinya. Sakit."

Baim yang paham instruksi Shaka segera beranjak dari duduknya. Tepat saat tegukan milkshake strawberry-nya yang terakhir. Untung saja makanannya sudah habis dilahap, jadi tidak ada kata mubazir yang tersisa.

Hening setelah Baim pamit lebih dulu kembali ke kantor. Siena juga telah menandaskan makan siangnya.

"Uhm ... Kak, boleh aku bicara sebentar saja?" Siena yang lebih dulu membuka obrolan. Pandangan Shaka terangkat menembus retina lawan bicaranya. Ada sesuatu yang menarik mata Shaka. Sisa makanan di sudut bibir Siena. Jika dulu dia tidak segan untuk membersihkan sisa makanan yang menempel di pinggiran mulut Siena menggunakan tissue, sekarang dia hanya bisa diam tanpa berbuat sesuatu.

"Iya, silakan. Kalau bisa agak cepat, sudah masuk jam kerja." Alibi Shaka. Bibirnya berkata agar Siena cepat seleseikan bicaranya, padahal dalam hati Shaka masih ingin berada di situasi berdekatan dengan gadis itu. Munafik jika di hati Shaka tidak ada setitik rindu yang menyeruak. Shaka bisa merasakannya, hanya untuk saat ini semua kandas tertutupi rasa canggung dan sisa dari kerak kecewa di masa lalu.

"Kak, maafin aku untuk--"

"Udah ya, nggak usah dibahas lagi. Sudah lama berlalu." Potong Shaka sebelum Siena menuntaskan kalimat. Shaka hanya tidak ingin luka itu kembali terbuka dengan diingatkan akan kenangan masa lalu.

"Besok aku mulai masuk kerja, Kak. Mohon bimbingannya, kalau Kak Shaka nggak keberatan."

Shaka mengangguk sekilas sebagai jawaban.

"Kamu udah lama kerja di situ, Kak?" Siena menjadi penanya aktif, Shaka hanya menimpali singkat.

"Lumayan. Selamat ya, semoga betah, jangan kaget kalau nanti pak bos super cerewet dan banyak maunya "

"Masa sih Kak, keknya Pak Baim orangnya baik, humble gitu."

Shaka hampir menepuk kening. Dia lupa kalau Siena masih mengira jika Baim atasannya.

"Insyaallah, semoga betah dan bisa bertahan. Makasih ya, Kak."

"Tidak usah berterima kasih. Aku nggak ada andil apa-apa, kan."

"Kamu udah banyak kasih info. Aku nggak nyangka bakal ketemu lagi sama kamu. Malahan kita satu tempat kerja." Siena tertawa kecil. Tawa yang masih sama di mata Shaka, renyah dan manis. Tidak dibuat-buat dan tanpa pemanis buatan.

"Aku pamit duluan, Na ..." Shaka beranjak dari duduk. Sebelum melengang, pria itu merogoh kantung celana mengeluarkan sesuatu. "Buat kamu, itu ada sisa makanan di mulut kamu, Na," ujar Shaka menunjuk sudut bibir Siena seraya menyerahkan sapu tangan miliknya, sejurus melangkah  pergi meninggalkan kafetaria.

Siena tersenyum. Kedua tebing pipinya memanas saat baru menyadari ada sesuatu di sudut bibirnya. Dia membenamkan wajahnya pada permukaan meja. Rasanya malunya baru terasa sekali. Salah satu sifat cerobohnya, saat makan pasti ada saja makanan yang masih menempel di sudut bibir, padahal sudah dilap tissue. Siena mengamati sapu tangan berwarna biru pirus kepunyaan Shaka. Menghidu aroma selembar kain kotak itu dengan mata terpejam. Aromanya masih sama seperti sembilan tahun lalu, wewangian khas yang disukai Arshaka. Aroma musk berpadu woody memberi kesan maskulin tapi juga lembut. Cocok sekali memang dengan karakter Arshaka yang tegas dan penuh perhatian. Kali ini dia berada di situasi yang sama dengan Arshaka tapi dengan keadaan yang berbeda. Ada setitik rasa bersalah meruangi hati Siena. Dia tersenyum miring saat kilatan memori lampau itu datang lagi.

***

Pada dasarnya setiap manusia lahir dengan sifat egosentris yang tinggi.
Lihat saja sejak masa anak-anak, seorang balita pasti akan mempertahankan apa yang dia punya. Entah itu barang, mainan, atau dekapan ibunya. Pada masa kanak-kanak manusia cenderung enggan berbagi. Atau saat seorang anak memiliki satu permintaan, kadang mereka akan melakukan segala cara agar apa yang diinginkan terpenuhi. Biasanya dengan teriakan, menangis, atau yang lebih parah, sampai tantrum.

Jadi, apakah sifat egoisme seseorang akan melekat selamanya sampai di anak tumbuh dewasa?
Jawabannya adalah iya. Hanya saja saat bertumbuh, pikiran anak-anak juga terus berkembang, sampai dewasa usia seseorang hingga bisa mengendalikan apa yang diinginkan, apa yang ingin diperjuangkan, dan apa yang tidak diinginkan. Mungkin saja sifat Shaka kali ini merupakan korelasi egosentris masa remajanya yang telah lama mengendap dan muncul kembali.

"Gue heran sama lo. Mantan nggak cuma satu, kenapa yang bikin megap-megap cuma Siena?" Baim melempar pertanyaan. Dia dan Shaka sore ini pulang ngantor menyempatkan mampir ke gerai kopi paling fenomenal. Baim menagih janji Shaka untuk mentraktirnya.

Shaka menggeleng. Tanda dia juga tidak setuju dengan pendapat Baim. Kenapa harus terlihat 'seolah tidak peduli' pada kenyataannya dia memang tidak peduli. Ah, yang benar Ka? Tadi siang adegan kasih sapu tangan itu apa namanya kalau bukan peduli? Suara hati Shaka seperti tidak terima dengan pengakuan lelaki itu. 

"Gue biasa aja, Ngab!" Sangkalnya. Mata Shaka tidak berani menatap Baim saat berbicara. Shaka sibuk menggulung lengan kemeja yang dipakai sampai sebatas siku.

"Ngomong-ngomong Dedek Siena cangtip uga, boleh nih gue spik-spik."

"Jangan ngadi-ngadi Lo, kalau ga mau dapet surat pemecatan jalur ekspres!"

"Ciyeee baper Hyung."

"Bacot. Serah lo, Im. Serah, capek gue."

Baim seperti sengaja memancing Shaka. Terbukti, dicandai sedikit tentang Siena, emosinya langsung menyembul keluar.

"Yaelah, becanda Hyung. Jangan ngambek, kek cewe lagi dapet aja, ngambekan."

Shaka melengos. Edaran matanya menilik setiap sudut kafe. Di pojok, bangku deretan nomer tiga, matanya menangkap sesuatu yang tidak biasa. Seorang gadis yang duduk di sana melempar senyum. Shaka buru-buru mengalihkan pandangan. Sepertinya sejak tadi gadis itu sudah menjadi pengamat setiap gerak-gerik Shaka.

"Ngab, Lo ngerasa ada yang merhatiin nggak?"

"Kagak, gue belum punya bini, jadi belum ada yang merhatiin," sahut Baim sekenanya. Satu jitakan mendarat di kepala Baim.

"Bukan itu maksud gue, woy!" Geram Shaka.

"Terus maksud ngana apaan?"

"Arah jam tiga sore. Lo lihat," perintah Shaka. Mata Baim memutar ke arah yang disebut Shaka. Tidak menemukan apa-apa. Gadis yang tadi duduk di sana sudah raib.

"Nggak ada apa-apa Hyung. Mata Lo siwer kali. Halu Lo, ngerasa ada yang merhatiin. Ke-ge-eran yang haqiqi Qaqa." Ejek Baim.

Shaka melongok ke arah yang dia tunjukkan pada Baim tadi. Benar, kosong, tidak ada siapapun lagi di sana.

**

Melengang pulang dengan langkah tergesa. Shaka merasa kepalanya berat sekali. Ingin cepat mandi, dan membanting tubuh ke kasur. Kerjaan hari lumayan menyita pikirannya. Omset di beberapa cabang restoran menurun drastis. Ada beberapa faktor penyebabnya, daya beli kurang, juga kalah saing dengan banyaknya resto-resto baru yang menawarkan promo lebih menarik. Sebagai owner, Shaka dituntut untuk terus menciptakan inovasi terbaru untuk menarik calon buyer.

"Assalamualaikum ..." Mengucap salam dengan tidak semangat saat kaki Shaka memasuki rumah. Mengganti pantovelnya dengan sandal rumah sejurus menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.

"Wa'alaikumussalam, Ka, udah pulang, lemes amat kamu. Salim dulu sini sama mama, main pergi aja." Interupsi Ratih.

Shaka memaku langkah, berbalik arah pada mamanya. Mencium tangan, sekaligus pipi mamanya.

"Badanmu anget, Ka. Kamu sakit?"

"Cuma cape aja Mam, Shaka mau istirahat dulu ya."

"Ka, dapat salam dari Sintya, anaknya Om Herlambang." Kata Ratih lagi. Shaka tak acuh. Kepalanya benar-benar pusing. Entah siapa lagi itu anaknya Om Herlambang. Yang Shaka tahu hanya Om Herlambang adalah kawan papanya saat masih kuliah dulu, dan Shaka pernah bertemu beberapa kali saat diajak ke reuni oleh papanya.

"Papa udah balik, Ma?" Shaka malah balik bertanya. Satu Minggu Handaru-papanya ke luar kota untuk urusan bisnis.

"Udah, makanya mama sampein kamu dapat salam kata papa."

Shaka hanya ber-oh-ria kemudian melangkah ke kamar. Bukan pertama kalinya Shaka mendapat titipan salam dari anak gadis sahabat atau kolega papanya. Shaka menebak, pasti papanya yang sering mempromosikannya di depan teman-temannya. Halaah! Sudah seperti barang dagangan saja.

Shaka membanting tubuhnya di kasur. Masih dengan baju yang belum terganti. Shaka pejamkan mata, mencoba mencari ketenangan sejenak setelah padatnya kegiatan seharian ini. Lebih lagi fokusnya terbagi dengan kehadiran Siena. Mengingat tentang Siena, gegas lelaki itu meraih ponsel pintarnya dari saku celana. Dia baru teringat sesuatu, kenapa tidak mencoba ngepoin akun sosial media Siena. Sekadar ingin tahu saja, Siena yang sekarang sudah punya gandengan atau belum.

"Ka, mama masuk ya, ini mama bawakan teh hangat." Pintu kamar diketuk. Ratih masuk dengan gelas berisi teh hangat. Mata Ratih perhatikan sang putra yang sedang asyik dengan hanpone di tangan sembari rebahan, "Shaka, katanya sakit, kok malah mainan hape?" Tegur Ratih.

"Yasalam Mama ... Shaka cuma pusing, bukan sekarat Mam." Shaka mendengkus pelan. Konsentrasi Shaka buyar jadinya gara-gara interupsi mama.

Ratih duduk di tebing ranjang, tangannya terulur meraba kening sang putra, "Minum obat Ka, itu diminum sekalian tehnya, mumpung masih anget."

"Iya Mama, makasih."

"Istirahat Ka, jangan mainan hape terus."

Shaka menjawab dengan 'iya' Ratih melengang keluar. Kembali Shaka mencari nama Siena lewat mesin aplikasi sosial media. Berharap menemukan sesuatu di sana.

🌻🌻🌻

Kenalan dulu yok, sama dua tokoh utama kita.


2009
Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro