(28) Dokter - Midorima Shintarou

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Request dari AoyamaRiku

Fandom: Kuroko no Basuke

Doctor!Midorima x Patient!Reader

Happy Reading!

.

.

.

Midorima melangkahkan kakinya memasuki ruangan yang sudah tidak asing baginya. Bau obat yang pekat di koridor langsung digantikan aroma bunga yang khas.

Iris hijau emerland Midorima langsung fokus ke arah pasien yang setengah duduk di kasur pasien. Banyak infus yang terpasang di tangan kiri mungilnya-yang kebanyakan adalah darah. Perban putih hampir menutupi seluruh tubuhnya, mulai dari kepala, mata kiri, tangan kanan, dan mungkin dadanya-karena dari pakaian pasien yang sedikit terselip.

Mendengar suara pintu yang terbuka, perempuan yang awalnya menatap jendela mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Irisnya langsung mencerah saat tahu siapa yang datang berkunjung.

"Shintarou~" sapa perempuan itu penuh senyum.

"Halo, (Name). Bagaimana kabarmu, nodayo?" tanya Midorima mengangguk singkat.

"Seperti biasa~" jawab (Name).

'Yeah, dying inside,' pikir (Name) kemudian, menatap Midorima dengan senyum palsunya.

"Jangan tersenyum," ucap Midorima, "jika senyum yang kau berikan itu palsu, nanodayo."

"D'aww, kau khawatir ya~" (Name) yang awalnya bingung akhirnya tertawa menyadari maksud Midorima.

Pipi Midorima langsung memerah.

"T-tidak! A-aku bilang begitu hanya karena tugasku sebagai dokter, jangan berpikir yang tidak-tidak, nanodayo!"

"Oke-oke, kalau begitu buat aku tersenyum, Pak Dokter~" ucap (Name) menyeringai.

Midorima menghela napas, sebelum akhirnya menarik kursi terdekat dan duduk di sebelah kasur (Name).

"Oh? Apa Pak Dokter ingin menghiburku?" tanya (Name) sedikit terkejut, dan berharap.

"Apa saat bangun kau merasa pusing, nodayo?"

(Name) mengembungkan kedua pipinya tak suka.

"Kau menhancurkan harapanku, Shintarou," komentar (Name) ngambek, "sudah tidak pusing, tapi aku merasa lemas seharian ini, dokter."

Midorima mencatat apa yang (Name) ucapkan.

"Sepertinya kondisimu mulai membaik, (Name)."

"Dan dunia dengan kejamnya akan menghancurkan harapan itu," sahut (Name) menatap langit-langit ruang inapnya, "sama seperti yang kau lakukan tadi."

Gerakan Midorima terhenti, dan iris emerland-nya menatap (Name) yang tidak fokus padanya.

"Kau pasti sembuh, (Name). Kami melakukan yang terbaik demi kesembuhan pasien kami, nanodayo."

(Name) tersenyum kecil, lalu menoleh pada Midorima.

"Arigatou, Shintarou. Sudah melakukan yang terbaik."

"Lalu, apakah kau merasa ngilu pada bagian yang di perban, atau bagian lainnya, nodayo?"

(Name) kembali menggeleng, "aku hanya merasa lemas seharian ini."

'Ini seharusnya perkembangan yang bagus. Tapi, kenapa aku merasa ... takut?' pikir Midorima tanpa sadar sudah mengerutkan keningnya.

Midorima tersadar saat jari yang lembut mengusap keningnya, membuatnya kembali normal.

"Jangan pasang wajah galak ke pasienmu, Pak Dokter," ucap (Name) mengusap kening Midorima.

(Name) menarik tangan kanannya dari Midorima.

"Oh iya! Aku baru ingat!" ucap (Name) penuh semangat, membuat Midorima menatapnya heran.

"Apa, nodayo?"

"Lihat!" ucap (Name) penuh semangat menunjukkan jari tangan kanannya, yang dibalut perban, "ini seperti saat kau dulu, Shintarou! Dari SMP sampai kuliah!"

"A-aku memakainya saat aku masih aktif di basket, nanodayo!" sahut Midorima dengan wajah memerah.

"Berarti sekarang kau tidak aktif bermain basket?" tanya (Name) memiringkan kepalanya.

Tanpa diduga-duga tangan Midoima mempertemukan tangan kanannya dengan tangan kanan (Name), yang kemudian mengenggam tangan (Name) dengan lembut.

"Basket adalah hobiku, dan dokter adalah pekerjaanku. L-lagipula, aku ingin fokus pada kesembuhanmu, (Name)," ucap Midorima dengan wajah memerah, menoleh ke arah lain.

Iris (e/c) (Name) melebar, dan pipinya ikut memerah. Senyum kecil terukir di wajah (Name)-membalas genggaman tangan Midorima.

"Sekali lagi, arigatou, Shintarou."

___

"Gawat, Midorima-sensei!"

Pintu kantor Midorima dibuka oleh perawat dan beberapa tenaga medis lainya. Midorima yang sedang membaca laporan pasien pun menoleh dengan was-was.

"Ada apa, nodayo?"

"(Name)-san, k-keadaannya sore ini tiba-tiba jatuh kritis!"

Iris Midorima membulat.

Apa?

'Padahal baru tadi pagi keadaan (Name) meningkat-'

Saat itu Midorima tersadar.

'Aku salah menduga tadi pagi adalah perkembangan! Itu pertanda kematian sel otak (Name)!'

Tanpa menunggu lagi, Midorima berdiri dan berlari menuju ruang operasi-dimana (Name) sudah dibawa ke sana saat perawat datang ke ruangan Midorima.

Sampai di ruang operasi, Midorima langsung mendekati (Name) yang sudah diberi alat bantu pernapasan. Sudah ada dokter spesialis bedah, sedang mempersiapkan operasi otak untuk (Name).

"(Name)!" panggil Midorima.

(Name) perlahan merespons-dia masih sadarkan diri. Midorima langsung mempersiapkan diri untuk membatu pelaksanaan operasi.

"Anestesi, berikan bius bagian kepala pada pasien!" perintah dokter bedah.

"Siap!"

"Ah, halo Shintarou," sapa (Name) dengan masker pernapasan yang melekat di mulut dan hidungnya.

"(Name), bertahanlah! Sensei adalah dokter bedah terbaik rumah sakit ini. Kau pasti selamat, nanodayo!" ucap Midorima langsung menggengam tangan (Name), dan perempuan itu hanya tersenyum.

"Begitu ... ya?"

"Tetaplah sadar (Name)! Kau tidak bisa tertidur sekarang, nanodayo!"

"Shintarou," (Name) mengenggam pelan tangan Midorima, "bisakah kau melepaskanku?"

Napas Midorima tercekat, dia tahu maksud (Name)-dia tahu pasti.

"(Name)-"

"Maafkan aku harus meninggalkanmu duluan," ucap (Name).

"Tidak!" bentak Midorima, "Sensei, kumohon-selamatkan istriku!"

"Aku akan berusaha, Midorima-sensei."

"(Name)? Kau dengar itu? Sensei akan berusaha! K-kau pasti-" ucapan Midorima terhenti saat tangan (Name) mengelus pipinya.

"A-aku dengar kok ... jadi ... jangan ... menangis ... ya? Tersenyumlah?"

Saat itu Midorima sadar, kalau dia sudah menangis.

"Bodoh," komentar Midorima, "pikirkan dirimu sebelum pikirkan aku, nanodayo."

(Name) membalas ucapan Midorima hanya dengan senyum kecil. Dan saat itu pegangannya di pipi Midorima terlepas.

Disusul suara panjang dari mesin pendeteksi jantung.

Midorima terdiam, terlalu syok untuk menerima semuanya. Saat dia menyadarinya, saat itu tangis Midorima kembali pecah, menambah keributan ruang bedah-menemani bunyi 'Beep' dari mesin.

"Kadang, pekerjaanku menjadi seorang dokter itu menyulitkan."

"Sekeras apapun aku berusaha."

"Segiat apapun aku."

"Apapun yang aku lakukan."

"Nyawa pasien selalu terlepas dari peganganku."

"Tepat di depanku."

"Aku tahu, betapa menyakitkannya kehilangan yang tersayang di hadapanku sendiri."

"Karena aku pernah merasakannya."

"Aku baru saja merasakannya."

"Kehilangan orang tersayang di hadapanku sendiri."

"Kehilangan istriku sendiri."

___

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro