Chapter 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Derap langkah kaki memenuhi seluruh lorong sekolah yang (name) lalui. Sunyi, itulah yang tergambarkan saat ini hingga kaki ini berhenti pada pemandangan yang kurang mengenakkan di mata (name).
Bagaimana tidak, seorang siswa yang masih memakai blazer sekolah dengan surai kuning tepat berdiri disebelah pagar dengan puluhan wanita mengelilinginya.

(Name) hanya bisa terbelalak dengan pandangannya dan segera mempercepat jalannya, menghindari segala kemungkinan yang pernah terjadi pada masa lalunya. Berat, itulah yang (name) rasakan ketika masa lalunya yang menyesakkan teringat jelas di kepalanya. Tatapan mata (name) berubah sedikit kosong menatap pemandangan di depannya. Namun disatu sisi, (name) merasa ada yang membututinya dan saat ia berbalik, tak ada siapapun dibelakangnya.

Kemudian semuanya menjadi gelap gulita.

(Name) tak tahu sudah berapa lama ia tertidur. Namun saat ia bangun, rasa pusing yang amat kuat yang ia rasakan. Kini mata (name) berhasil mengedarkan tatapannya pada lingkungan sekitar, walaupun hasilnya tetap saja nihil. (Name) pun mencoba meraba-raba benda disekitarnya, namun hasilnya tetap nihil.

Dingin, itulah yang (name) rasakan. Namun dari itu semua, yang paling ia rasakan adalah ketakutan yang sangat tinggi. Tubuh meringkuk dan bergetar serta air mata yang mengalir secara perlahan-lahan ditambah dengan suhu dingin membuat penderitaan (name) semakin lengkap. Dalam hatinya, (name) berharap ada seseorang yang menolongnya saat ini juga. Walaupun itu mustahil, setidaknya berharap di situasi seperti ini tidak ada salahnya juga.

Braaakkkk!!!!

Suara itu membuat (name) menutup mulutnya untuk menahan isakan dan rasa takutnya. Aura ruangan tersebut semakin mencekam dengan kesunyiannya.

Dan tak lama setelah bunyi yang begitu keras, pandangan (name) berubah. Ruangan menjadi terang seketika, namun hal tersebut juga tidak bisa menghilangkan ketakutan dan tangisannya. (Name) tetap pada posisinya semula, tidak berubah sedikitpun.

"O ya, tenkousei ka. "

(Name) telah menulikan pendengarannya dari semua suara dan kini tubuhnya bergetar lebih kuat dari sebelumnya. Dalam hatinya, (name) terus berdoa untuk keselamatan dirinya.

"(Name)-san!"

Berkat suara dan tepukan di pundaknya, (name) memeluk seseorang didepannya tanpa melihat siapa orang yang ia peluk dengan isakan yang menjadi-jadi.

"Kumohon ... jangan sakiti temanku, cukup aku saja ...," ucap (name) dalam isakannya dan membuat orang yang memeluknya menepuk pelan kepalanya.

"(Name)-san, takkan ada yang menyakitimu," ucap orang yang dipeluk, lalu (name) perlahan melonggarkan pelukannya dan menundukkan kepalanya.

"Maaf ...," ucap (name) pelan.

"Bukan apa apa, aku Isara Mao."(Name) pun menatap lawan bicaranya perlahan-lahan.

"Kurasa Wanko-chan sudah berbuat sampai sejauh ini," ucap pria bersurai hitam dengan iris merah yang menatap arah lain.

Sekilas pria itu sedikit menakutkan namun jika diperhatikan lebih detail, tidak ada yang perlu ditakutkan darinya. Tatapannya cukup lembut untuk seorang pria. Mungkin secara sekilas pula, pria itu bisa menjadi pacar idaman bagi para wanita diluar sana.

"Sakuma senpai, apa benar ini perbuatan Koga? Jika benar, kita harus melakukan sesuatu," ucap Mao dengan tatapan serius sekaligus penuh harap pada senpai di depannya.

(Name) pun bergeleng pelan. "Tidak apa apa, itu bukan masalah untukku," ucapnya dengan nada yang tenang dengan kepala yang telah kembali menunduk. Mao menaruh tangannya di bahu (name),

"Pikirkan apa yang terjadi jika Sakuma senpai tidak memanggil OSIS, mungkin (name)-san bisa terjebak disini hingga esok dan akan semakin berbahaya jika terjadi apa apa. Maka ku sebagai anggota OSIS dan Sakuma senpai sebagai ketua idol unitnya akan mengurus ini agar tak terulang kejadian yang sama," ucapnya bersamaan dengan tatapan yang penuh keseriusan untuk membela gadis di depannya.

Pikiran (name) berkelahi dalam waktu bersamaan. Disatu sisi ia tak ingin ada perdebatan hingga perkelahian antar teman ataupun unit, tapi disisi lain ia bisa mengatasi sendiri dengan caranya sendiri. Walaupun itu sulit, ia harus memutuskan satu hal. Ia juga tidak mungkin melawan seorang pria dan (name) mengangguk sebagai jawaban.

Hening, itulah yang terjadi sekarang. Tak ada diantara mereka yang ingin membuka suara sedikitpun. Sakuma senpai duduk dengan tatapan seperti memikirkan sesuatu, Mao terus memperhatikan keadaan sekitar, dan (name) hanya bisa termenung dengan kondisinya.

Melihat (name) yang terus termenung membuat Mao berfikir untuk memulangkannya terlebih dahulu, namun Mao juga tidak bisa pulang bersamanya yang dikarenakan tugas OSIS masih ada dan banyak yang harus ia urus hingga memungkinkannya untuk lembur. Sementara Sakuma senpai sedang sibuk dengan pemikirannya.

"Maaf ... apakah ku bisa pulang duluan?" Ucap (name) yang telah memecah keheningan diantara mereka bertiga.

"Tapi ...."

"Tidak apa apa, Isara-san. Tenkousei akan baik baik saja kali ini," putus Sakuma senpai dengan penuh keyakinan hingga membuatnya setuju untuk membiarkan (name) pulang. Dan dengan berat hati serta rasa khawatir yang menyelimutinya, Mao membiarkan (name) pulang secepat yang ia bisa.

"Permisi," ucap (name) yang kemudian berlari meninggalkan Mao dan senpai nya berdua disana. Sesampainya di gerbang, sebuah mobil limosin terparkir rapi seperti kereta kuda yang menjemput seorang putra mahkota kerajaan.

"Kenapa berlari? Apa kau baik baik saja?"

Suara ringan nan lembut itu membuat (name) melihat kearahnya dan membenahi diri sesempat yang ia bisa, lalu (name) bergeleng kecil sebagai penanda bahwa ia baik baik saja. Namun (name) tahu jika lelaki didepannya tidak mudah ia bohongi dan tetap saja, (name) tak ingin membuat seseorang lebih khawatir lagi.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, aku baik baik saja," ucap (name) dengan senyuman lebar serta mata sembab yang menghiasi wajahnya. Karena tak ada yang ingin (name) bicarakan lagi, pria itupun mengerti lantas membukakan pintu dan membiarkan (name) masuk terlebih dahulu.

*****

Sepi, itulah yang dirasakan selama perjalanan pulang. (Name) terlalu sibuk untuk menenangkan dirinya sendiri, sementara pria disebelahnya pun terlalu fokus menatap jalanan.

"Aku ...."

Mereka berucap secara bersamaan. Dan secara spontan, (name) menatap pria disebelahnya lalu pria itu melirik (name) sebentar sembari tersenyum kecil.

"Silakan, perempuan pertama," ucap pria itu.

(Name) terdiam sebentar.

"Maaf ...," ucap (name) sambil menunduk dan menggantungkan perkataannya. Sementara itu, pria disebelahnya sesekali melirik untuk melihat kondisi (name) yang seperti tertekan akan suatu hal.

Pria itu melepaskan satu tangannya dari kemudi dan menepuk pelan kepala (name).

"Tidak apa apa, aku mengerti," ucap pria itu yang telah mengembalikan tangannya pada kemudi.

"Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikannya dan sekali lagi maaf ... maaf ya, Tomoe-san," ucap (name) dengan nada yang menahan banyak beban di hari pertama ia sekolah.

"(Name), ingat apa yang kukatakan? Jangan meminta maaf atas kesalahan yang tidak kau perbuat. Dan jangan menangis (name), gadis sebaik dirimu tidak sepantasnya menitikkan air mata," ucap Tomoe dengan tenang dan senyuman hangat.

(Name) tahu jika Tomoe benar, semua bukan kesalahannya. Namun hatinya tidak bisa tenang jika ia tidak bisa menemukan akar permasalahannya.

"Sekarang ... persiapkan dirimu ya, (name). Jangan sampai orang tua mu tahu jika kau hampir menangis," ucap Tomoe sambil sedikit tertawa ringan.

"Tidak lucu!" protes (name) sambil menggembungkan pipi, kesal terhadap pria disebelahnya. Hingga tak lama, mereka pun sampai pada sebuah mansion mewah milik (last name).

"Tomoe-san, mampir dulu ya," ucap (name) dengan nada bicara yang telah kembali ceria seperti sebelumnya, mungkin tak banyak yang tahu jika (name) bisa seceria ini jika dengan Tomoe.

"Aku senang saat mendengar tawaran itu. Tapi kau tahukan (name), kakakku sudah menunggu untuk acara keluarga malam ini," tolak Tomoe dengan halus dan senyuman yang tak luntur setelah mengetahui keceriaan (name) kembali.

"Begitu ya ... ah! Kalau begitu, lain kali janji harus mampir," ucap (name) yang layaknya anak kecil meminta ayahnya berjanji atas apa yang sang ayah katakan.

"Janji," ucap Tomoe dengan tegas namun halus dan setelahnya (name) pun keluar dari mobil lalu mobil itu melesat, menjauhi mansion mewah itu.

Kini (name) mulai menapakkan kaki memasuki mansion itu. Saat pintu terbuka, para maid dan butler telah berbaris rapi untuk menyambut kedatangan sang putri dari mansion tersebut.

"Nona, selamat datang kembali," sambut kepala maid dan butler yang telah menyambut diujung tengah barisan dengan membungkukkan badannya.

"Terima kasih, Hakage-san dan ... apa ayah dan ibu telah pulang?" tanya (name) dengan keceriaan yang belum hilang.

"Maaf nona, tuan dan nyonya baru saja keluar untuk urusan bisnis dan mereka akan pulang empat bulan lagi. Itu pesan dari tuan dan nyonya," ucap Hakage-san dengan penuh wibawa. (Name) memekarkan senyum pada Hakage seraya mengucapkan terima kasih dan ia pun kembali ke kamar.

(Name) bukan tipe wanita yang langsung santai begitu saja. Karena saat (name) memasuki kamar, selelah apapun tubuhnya, ia tidak akan segan segan untuk langsung membersihkan diri, membantu para maid atau butler. Meskipun sering ditolak oleh beberapa maid atau butler, namun (name) tetap bersikeras melakukannya. Itulah (name), hidup dilingkungan yang mewah namun ia tak mau mewah diri. Ia tetap belajar cara menjadi wanita yang sebenarnya dan itulah yang membuat para maid dan butler sangat sungkan padanya.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro