10 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 10 | E-Jazzy ||

Tema:
Ambil buku fiksi terdekat dari kalian, buka halaman 6, lalu buat cerita yang terinspirasi dari dua kata pertama pada halaman tersebut

"Kami hanya" dari buku The Fountains of Silence oleh Ruta Sepetys

|| 1957 Words ||

|| Teenfiction, Comedy-Romance (Sumpah, ga bo'ong) ||

"Cowok yang kutaksir?" ulangku. Ivy mengangguk di balik kostum badutnya. "Tidak ada."

Ivy menyenggol-nyengolku dengan sikunya.

"Tidak ada," kataku lagi sambil tertawa. "Tapi memang ada beberapa anak cowok di kelasku yang tampan, idola sekolah, pintar, atletis, dan lucu."

Ivy mengangguk-angguk semangat. Kedua tangannya yang montok dan berbulu memangku dagu sebagai tanda dia menyimak.

'Ivy' hanya panggilanku buat seseorang di balik kostum badut ini. Dia bekerja di depan kafe di seberang sekolah dan tugasnya adalah menarik sebanyak mungkin pelanggan dengan bertingkah imut sambil melambai-lambaikan tangan di dalam kostumnya.

Kafe ini punya peri hutan bergaun hijau sebagai maskot. Barangkali pembuat desain maskot dan kostumnya hanya menyalin gambar Tinker Bell dan mengganti kepalanya pakai kepala Aladdin karena persis seperti itulah kostum badutnya terlihat. Tak ada yang tahu peri ini sebetulnya jantan atau betina, bahkan pemilik kafe sendiri.

Aku suka berkeliaran di sekitar Ivy. Dia empuk dan enak disandari. Teman-temanku suka menjadikannya bahan candaan dan selalu mengganggunya saat kami menongkrong di kafe ini sepulang sekolah. Aku sendiri ikut tertawa pada mulanya. Lalu, kusadari kami sudah keterlaluan saat Ruri menyandung badut itu sampai jatuh. Selebaran promosi yang sedang Ivy bagi-bagikan pun beterbangan. Teman-temanku tertawa saat melihat Ivy tertungging-tungging, kesulitan memunguti semua selebaran promosi yang tercecer di jalan dalam kostum badutnya yang berat. Saat aku membantu Ivy memunguti selebaran itu, teman-temanku mulai menggosip, "Jaslynn cari muka," dan "Jaslynn sengaja melakukan itu biar kita terlihat jahat."

Kurasa, mereka berharap aku tetap tertawa bersama mereka.

Sejak itu aku jadi kesulitan membaur. Teman-temanku bukannya mengucilkanku seketika, tetapi hubungan kami jadi canggung setelah mereka menyadari bahwa aku mendengarkan semua gosip mereka. Mau bagaimana lagi—sudah hukum alam kalau aku tidak berada di antara mereka, akulah yang jadi bahan gosip.

Jadi, sekarang temanku cuma Ivy. Sepulang sekolah, aku akan menyeberang jalan dan menunggunya muncul dari pintu samping kafe. Kutunggu dia selesai menyebarkan selebaran promo hari itu, kemudian mengobrol dengannya di emperan jalan. Sebagian besar waktu, hanya aku yang bicara, Ivy mendengarkan. Saat butuh bicara, dia menulis di selembar kertas. Kurasa dia tidak pede bicara pakai kostum badut itu.

Apa ada di antara cowok di kelasmu itu yang menarik perhatianmu? tulisnya di buku catatan kecil yang biasa dia bawa-bawa dalam kantung besar di perutnya—iya, dia Tinker Bell berkepala Aladdin dengan kantung besar mirip kangguru di perut gaun hijaunya. Alas kakinya mungkin dimaksudkan agar jadi sandal bertali anyaman yang anggun, tapi malah mirip bakiak bertali rafia. Dadanya rata, tapi pantatnya menonjol seperti bayi berpopok. Siapa pun yang mendesain maskot ini harusnya masuk penjara.

Kulambai-lambaikan tanganku sebagai jawaban buat Ivy. "Aku mencoba jadi realistis, Ivy. Aku ini hanya ... yah, aku. Aku tidak naksir siapa-siapa karena aku menahan diri agar tidak naksir siapa-siapa. Cowok-cowok di kelasku high quality, mustahil mereka melirikku. Mereka bahkan tidak tahu aku ada. Aku ini kasat mata bagi mereka. Malah, kalau kami berpapasan sekarang, mereka pasti tidak melihatku di sini. Jadi, aku tidak banyak berharap."

Pas sekali seseorang berjalan keluar dari kafe dan menyenggolku. Itu Dalton, cowok yang duduk di depanku di kelas. Dia masih mengenakan seragam sekolahnya juga, tampaknya baru makan siang di kafe sebelum pulang. Dia kaget sendiri saat menyadariku di sana. "Sori, tidak melihatmu di sana."

"Tuh," kataku ketika Dalton berlalu begitu saja dan masuk ke mobilnya di parkiran khusus siswa. "Aku kasat mata."

Menurutku kau cantik, tulis Ivy.

"Ya, Ivy. Aku bilang aku ini kasat mata, bukan berarti aku mengatai diriku jelek."

Ivy bertepuk tangan meski bunyinya cuma serupa dua bantal kapuk ditepuk-tepuk. Dia mengacungkan ibu jarinya padaku.

Aku memang takkan mengatai diriku jelek, tetapi di saat bersamaan aku sadar diri cewek-cewek di kelasku juga high quality. Aku bukan yang tercantik di sana, bukan yang terkaya, teratletis, atau terkenal. Satu-satunya kebanggaanku hanya nilai akademik—bagaimana pun, aku bisa masuk ke kelas unggulan di sekolah orang tajir ini pakai beasiswa. Mustahil ibuku yang penjual gorengan bisa membiayaiku masuk sini tanpa suami.

Ivy membalikkan halaman buku catatannya dan bertanya, Tapi, apa benar-benar tak ada cowok yang menarik perhatianmu di kelas?

Aku berpikir sebentar, lalu mulai mengabsen. "Sebenarnya ada Miller—juara kelas, cakep, ramah, dan pintar. Menurutku, dia menarik karena dia baik dan tidak pernah pilih-pilih teman.

"Lalu, ada Dalton, yang tadi menabrakku—menurutku dia menarik karena, yah, beberapa temanku menganggapnya sombong, tapi menurutku Dalton hanya tidak memahami cara kerja rakyat jelata. Malah, menurutku dia lucu—kadang, aku mendengarnya bicara, kayak, Eh, kemarin aku beli tiket konser Telor Sweep yang kursi VVIP ternyata murah banget, cuma 50 juta. Dan dia mengatakan itu dengan kepolosan maksimal karena dia benar-benar tidak sadar bahwa tidak semua orang mengeluarkan 50 juta semudah berak seperti dirinya.

"Kemudian ... Silas. Dia ketua kelas sekaligus ketua basket di sekolahku. Aku suka melihatnya saat main basket atau melakukan apa saja di jam olahraga. Sejak dulu aku kepingin pandai main basket, tapi badanku tidak pernah bergerak sesuai keinginanku kalau olahraga. Bahkan saat pengambilan nilai praktik roll depan, aku malah berguling ke samping dan menggulung diriku sendiri dalam matras. Main bulu tangkis pun, raketnya yang terbang. Jadi orang macam Silas itu menarik bagiku karena dia bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa kulakukan."

Ivy mengangguk-angguk dan menulis: Kalau salah satu di antara mereka mengajakmu kencan, kau mau?

"Tidak, ah." Aku tertawa geli. "Nanti aku baper. Kalau baper, ujung-ujungnya pasti patah hati. Jadi, mending tidak usah sekalian."

Celakanya, bak kena kutuk omongan sendiri, ketiga cowok yang kusebutkan namanya itu mulai menempeliku di sekolah keesokan harinya.

Mulanya dari Dalton. Dia meminta maaf padaku karena sudah menyenggolku di depan kafe waktu itu, dan dia merasa bersalah karena tidak ingat bahwa aku teman sekelasnya sendiri yang selama ini duduk di belakangnya. Dia menawari untuk mentraktirku makan siang sebagai pemintaan maaf, yang langsung kutolak. Aku sudah memaafkannya dan aku merasa minder kalau harus makan semeja dengannya.

Dalton tampak terpana mendengar penolakanku. "Kau cewek petama yang menolak ajakanku."

Lalu, cowok itu mulai mengekoriku ke mana-mana.

Kemudian Silas. Aku sedang melintasi lorong di sisi lapangan basket menuju perpustakaan ketika bola basket yang dilontarkannya memantul di tiang dan menabrakku di betis. Aku memekik dan Silas buru-buru menghampiriku sambil mengulang-ulang permintaan maafnya.

"Mana yang sakit?" tanyanya dengan cemas yang berlebihan. "Tidak pincang, 'kan? Ada yang patah? Mau ke UKS? Sini kugendong!"

Ini pertama kalinya kami bicara dengan satu sama lain. Aku tidak tahu orangnya se-random ini. Ketika kelihatannya dia sungguhan hendak menggendongku, aku menepis tangannya dengan agak terlalu kasar. Dan karena dia sedang mencoba membungkuk, tanganku mengenai dagunya sedikit.

"Sori!" Aku berdengap saat melihat perubahan ekspresi wajahnya. "Aku tidak bermaksud menamparmu!"

Silas menutupi matanya dengan sebelah tangan seolah tidak habis pikir, tangan lainnya dia rentangkan ke samping kepalaku untuk menangkup tembok yang kusandari. Ujarnya, "Kau cewek pertama yang memukulku."

Anjay. Ada apa ini? Kukira dialog generik macam ini hanya ada di novel dan film percintaan. Apakah hidupku mendadak berubah genre dari drama kehidupan sinetron azab menjadi romansa remaja? Baru tadi pagi aku menyaksikan ibuku menangis karena disambangi ayahku yang lagi-lagi memintainya uang untuk judi, sekarang aku sudah dipojokkan oleh idola sekolah.

Silas mulai mengikutiku ke mana-mana seperti halnya Dalton.

Puncaknya adalah Miller. Saat itu aku sedang mengurung diri di ruangan lab komputer karena tidak tahan dengan Silas dan Dalton. Mereka mengajakku mengobrol tanpa peduli bahwa obrolan kami semua tidak nyambung, dan mereka jelas tidak paham sikap mereka menjadikanku bahan gosip. Aku berencana sembunyi di ruang-ruang kelas atau lab yang sedang kosong sampai jam istirahat habis, tetapi aku malah memergoki si anak teladan sedang tidur di atas meja-meja yang dia dempetkan jadi satu. Dasinya tidak terpasang, dua kancing atas seragamnya terbuka, dan dia melepaskan kaus kakinya. Kertas-kertas berkas milik guru dan alat proyektor yang seharusnya ada di atas meja pun teronggok di lantai.

Kunci-kunci ruangan kadang memang dititipkan ke masing-masing ke perwakilan kelas. Silas menunjuk Miller yang telaten, tidak pelupa, dan disiplin sebagai pemegang kunci-kunci itu untuk kelas kami. Siapa yang menyangka Miller memanfaatkan kekuasaan itu untuk tidur tanpa gangguan di ruang kosong.

Kalau dipikir lagi, pantas saja aku bisa masuk. Padahal ruang-ruang yang sedang tidak dipakai biasanya selalu terkunci.

"Aduh," kata Miller saat memergokiku memergokinya. "Kau cewek pertama yang melihat—"

"Jangan!" Aku menutup telinga dengan trauma. "Tidak! Jangan katakan!"

Miller berjongkok di sisiku karena aku tengah terduduk di lantai dengan kedua tangan menangkup telinga. Jari telunjuknya menowel tanganku.

Saat aku menoleh, dia berbisik dekat mukaku, "Kau cewek pertama—"

"BODO AMAAT!" jeritku dengan suara pecah. "ENGGAK DENGAR! BODO AMAAAT!"

Miller pun diam. Aku menunggu beberapa saat. Ketika merasa aman, aku melepaskan tangan dari telinga dan mencoba kabur, tetapi Miller menarikku dan berucap cepat seperti rapper, "Kau cewek pertama yang melihat sifat asliku!"

***

Aku curhat ke Ivy tentang ketiga cowok itu yang mendadak mendekatiku. Si badut merespons dengan buku catatannya, Salah satu di antara mereka mungkin tulus padamu. Kau pilih yang mana?

"Pilih?" Aku berdiri dari tempatku berjongkok di emperan jalan. "Kau tidak mengerti juga, ya, Ivy? Aku ini bukan tipe atau dalam posisi bisa memilih? Kalau aku terlibat dengan salah satunya saja, bisa dipastikan 100% aku bakal patah hati!. Aku ini hanya ... aku cuma—"

Biasanya, aku bukan anak yang sedramatis ini, tetapi rasanya kehidupanku memang berubah gara-gara diajak kencan cowok tajir, di-kabedon ketua kelas sekaligus ketua tim basket sekolah, dan dapat ancaman seksi bad boy terselubung dalam topeng anak teladan—semuanya terjadi dalam satu hari.

"Ivy sama sekali tidak paham perasaanku!" Kudapati diriku berlari menjauhi si badut.

Aku pulang ke rumah. Warung gorengan Ibu belum buka dan kelihatannya ayahku sudah minggat lagi. Saat akan masuk, kudapati bayangan diriku terpantul di kaca jendela yang gelap dan berdebu.

Tidak jelek, tetapi juga tidak cantik. Ada sekitar selusin cewek anggun, bohay, dan lebih sedap dipandang mata di kelasku.

Uang pas-pasan, ibu penjual gorengan, bapak tukang judi, tunggakan sewa rumah masih 3 bulan belum dibayar, pulsa listrik harus diirit mati-matian, dan lauk malam biasanya pakai sisa gorengan yang belum habis terjual. Tidak ada satu pun cewek di kelasku bernasib macam itu—hanya aku.

Aku masuk ke rumah. Ibuku sedang tiduran menonton televisi—satu-satunya hiburannya tiap hari untuk mengusir kejenuhannya. Bahkan dari depan pintu pun aku bisa mendengar lagu soundtrack-nya tontonannya, "Ku menangiiiiiiiis! Membayangkaaaan!"

"Ibu!" Aku langsung memeluknya, seperti adegan sinetron itu, di mana si anak durhaka memeluk ibunya yang sedang dalam keadaan koma dan hidung tersumpal selang infus.

"Jaslynn, kenapa?" tanya Ibu kaget.

"Kenapa namaku Jaslynn?! Enggak cocok!"

"Kamu lari sambil menangis begini karena mendadak kepikiran namamu? Kamu emosional karena datang bulan atau memang sedang semburan kedewasaan?"

"Nama Ibu Ningsih, nama Bapak Budiono. Kenapa aku Jaslynn? Aku ini sebenarnya anak siapa?!"

"Ya anak kami!" kata Ibu keheranan. "Namamu itu dipilihkan adiknya Ibu—itu, lho, Tante Sinta yang kawin lari sama bule Belanda. Seleranya memang begitu."

Di dinding dekat televisi, ada cermin bundar tempat Ibu biasanya berdandan. Dari sana, bisa kulihat sosok kami—dua perempuan yang berangkulan; yang satu janda dengan mantan suami seberat beban negara dan satu lagi anak gadisnya yang kesulitan membaur di sekolah elit karena hanya di sana dia bisa dapat beasiswa.

Aku mengingat lagi kejadian sepanjang hari. Saat Silas menarik kursiku ke arahnya agar kami sekelompok dalam tugas Kimia. Saat Dalton memaksaku masuk ke mobilnya agar dia bisa mengantarku pulang meski kutolak mati-matian. Saat Miller mengawasiku dengan senyum ala boneka Chucky sebagai peringatan untuk tutup mulut atas apa yang kulihat.

Sesaat aku senang—rasanya aku menjadi remaja perempuan normal yang akhirnya bisa merasakan kisah kasih di sekolah. Lalu, aku teringat lagi betapa jomplangnya sosokku dengan mereka bertiga. Bukan hanya mereka, tetapi seisi kelas maupun sekolah.

Aku hanya merasa nyaman dengan Ivy, si badut maskot kafe, tetapi dia dengan bersemangat berusaha mencomblangiku dengan cowok-cowok itu tanpa paham bahwa aku sedang mati-matian menghindari rasa sakit hati.

Kuamati refleksi diriku dan Ibu, membayangkan kehidupanku nanti mungkin akan mirip dengannya—menikahi bajingan, jualan gorengan, dan punya anak yang masuk sekolah pakai beasiswa. Aku tidak boleh terlena dengan perubahan mendadak genre hidupku. Aku sama seperti ibuku.

Kami hanya dua perempuan muda melarat yang kadang-kadang ditimpa nasib baik.

Mau nyoba bikin teenfiction yang waras ternyata susah ....

Next>>> 11 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro