9 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 9 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita dengan tema makanan/minuman favorit kalian dengan tokoh utama kebalikan dari gender kalian

|| 1393 Words ||

|| Werewolf Apocalypse but kinda Slice of Life ||

Aku dan kedua adikku tidak begitu menyukai kopi sejak kami kecil. Padahal mendiang ibu kami pecinta kopi dan mendiang ayah kami mantan barista.

Kiamat werewolf mengubah itu semua.

Ibu tidak mungkin minum kopi dalam kubur dan mayat ayahku mustahil membuat kopi lagi; sedangkan aku jadi kecanduan.

Aku—dan sebagian besar warga kota kecil ini—selalu menyetok kopi untuk bergadang. Orang-orang yang sedikit lebih beruntung dan mampu memasang panel dinding kedap suara masih bisa tidur di malam hari meski dibayangi ketakutan, tetapi kami yang rumahnya sudah pernah hancur berulang kali hanya bisa memanfaatkan apa yang ada dan tersisa.

Seperti malam ini. Setelah hancur belasan kali, rumahku sekarang hanya seluas setengah dari batas asli tanah yang kupunya. Panel kedap suara yang pernah kumiliki entah hancur atau hilang diambil orang di tengah kekacauan. Gipsum dan glasswool yang tersisa hanya cukup buat dapur dan toilet, busa dan karpet yang tersisa tidak cukup untuk seluruh tembok ruang tengah, dan instalasi panel akustik seadanya di ruang tamu barangkali hanya berguna untuk meredam suara barang kecil jatuh. Kalau aku tidur dan mengigau sambil teriak-teriak, para Werewolf pasti masuk.

Jadi, aku duduk di ruang tamu menghadap jendela dengan seceret kopi. Werewolf pertama yang datang padaku mengambil wujud seorang perempuan yang mengenakan gaun pengantin putih panjang. Dia mengetuk kaca jendelaku. "Halo? Maukah kau mengizinkanku masuk? Calon suamiku meninggalkanku sendirian."

Kuambil selembar kertas dan pena, lalu menulis. Kuperlihatkan padanya: CIYEE, GAGAL KAWIN.

Perempuan jadi-jadian itu mulai terisak dan mengataiku jahat. Ini informasi baru. Mereka bisa membaca.

Kuhirup aroma kopiku, lalu meneguk tanpa bunyi. Melihatku yang bergeming pada air mata buayanya, perempuan itu berhenti menangis dan mengubah ekspresinya jadi datar dalam sekejap mata. Pipinya bahkan tidak basah.

Kusodorkan segelas kopi untuknya, kutaruh di kosen jendela. Kutadahkan tanganku sebagai tanda, Silakan ambil kalau bisa.

Si mantan calon mempelai ini memasang wajah cemberut. "Bagaimana caraku mengambilnya? Kau harus membiarkanku masuk dulu."

Kulambaikan tanganku ke pintu. Kutulis di selembar kertas, Tidak terkunci—masuk saja kalau bisa.

Perempuan itu mengangkat sebelah alisnya. "Aku akan benar-benar masuk, lho."

Kusiapkan wadah anak panah penuh racun dan busurku. Kugoyang-goyangkan jari tanganku sebagai tantangan buatnya.

Werewolf itu menelengkan kepalanya, lalu berbalik. Saat kukira dia akan berbelok ke teras muka dan masuk lewat pintu, makhluk itu malah menyeberangi jalan. Ekor gaunnya diseret di tanah. Dia menyambangi rumah lain dan sepenuhnya mengabaikanku.

Serius? Kenapa monster-monster ini random sekali? Sebenarnya mau mereka apa?!

Aku menyeruput kopi lagi, kali ini agak berbunyi karena sedang tidak ada Werewolf di sekitar rumahku. Ketika gelas pertamaku habis, Werewolf kedua datang. Kali ini, ia mengambil wujud bocah laki-laki—barangkali 6 atau 7 tahun.

Bocah itu terlihat tidak sehat. Ada lingkaran gelap di sekitar matanya, kulitnya pucat, bibirnya membiru dan pecah-pecah. Werewolf itu memeluk bahunya sendiri dan pura-pura menggigil.

"Kak ...." katanya memelas. "Tolong. Biarkan aku masuk. Dingin sekali di luar sini."

Aku mencebikkan bibirku sebagai tanda simpati dibuat-buat. Kutulis lagi di selembar kertas untuk diperlihatkan padanya, Kau mau kopi, Dik?

"Mau, Kak," ujarnya penuh harap. "Berarti aku boleh masuk—"

Yang tersisa tinggal kopi sianida. Aku membalikkan kertas dan membiarkannya membaca terus. Biar kau cepat mati sekalian, menyusul anak yang kau bunuh dan kau ambil wujudnya itu.

Raut wajah anak itu berubah lagi, benar-benar seketika seperti halnya mempelai wanita tadi. Sikap tubuhnya tidak lagi seperti orang sakit. Tanpa bersuara lagi, anak itu berbalik pergi meninggalkanku.

Kutuang cangkir kedua kopiku dan duduk menyilang kaki, menunggu Werewolf mana lagi yang mau mengobrol denganku malam ini.

Seseorang mendekat lagi. Namun, kali ini aku melonjak berdiri.

Itu Leona—cewek yang minggu lalu kugendong sampai toserba. A-apakah dia sudah mati? Karena itukah Werewolf ini mengambil wujudnya? Atau ... ini Leona asli?

"Biarkan aku masuk," lirihnya. Matanya berkaca-kaca. "Aku hamil, pacarku mencampakkanku, dan aku tidak punya siapa-siapa lagi di luar sini."

Aku terduduk lagi. Kucoba untuk tetap tenang. Kuangkat cangkir kopiku dan meminumnya.

Ini bukan Leona—kuyakinkan diriku sendiri. Ini Werewolf. Sungguh mengejutkan Werewolf ini bisa tahu gadis itu sedang hamil. Hanya segelintir orang yang tahu.

Kutulis pertanyaanku di kertas, Mau kopi?

"Mau masuk," rengeknya. Astaga, bahkan cara bicaranya pun benar-benar sama.

Aku menulis lagi. Kau tahu siapa aku? Namaku?

"Bjorn," jawabnya sambil tersenyum. "Sulung dari tiga bersaudara. Laki-laki. 22 tahun. Makanan favorit sup jamur. Minuman favorit—"

Bagian bawah mataku berkedut. Sekujur tubuhku membeku tetapi sikuku terasa goyah. Jari-jari tanganku yang mencengkram cangkir kopi pun bergetar. Kudengarkan dengan ngeri sementara makhluk ini menyebutkan warna favorit, ukuran sepatu, lingkar pinggang, sampai berat badanku.

Apakah si Werewolf mengetahui ini atau Leona? Apa Leona benar-benar sudah mati? Apa Werewolf ini mengambil semua yang dimiliki korban yang dikonsumsinya sampai ke ingatan dan pengetahuan mereka?

Kuteguhkan diriku dan menulis lagi. Stalker. Kau naksir aku ya?

Leona gadungan mengangguk-angguk sambil mengaitkan jari-jari kedua tangannya. "Maukah kau membiarkanku masuk agar kita bisa menghabiskan malam bersama?"

Kau mantan pacarnya Deryn. Ini bagian dari bro-codes untuk tidak memacari mantan teman sendiri.

"Tapi kalian tidak berteman. Kalian bahkan belum pernah benar-benar mengobrol sebelum ini."

Dari mana makhluk ini tahu?!

Kuteguk kopiku sampai habis sebelum melanjutkan menulis. Aku tidak tertarik padamu—kau kecil, pendek, rata, dan lebih kekanakan dari adik bungsuku. Di atas segalanya, kau serigala.

Leona gadungan terisak tanpa air mata—cuma memasang ekspresi menangis dan menutupi wajahnya seperti yang dilakukan si mempelai wanita sebelum ini. Satu lagi informasi: mereka tidak mengeluarkan air mata.

Aku menuang kopi lagi, perlahan dan tanpa suara. Lalu kutuang ke satu gelas lagi untuk diletakkan di kosen jendela. Kuminum kopiku pelan-pelan dan mendengarkan Leona gadungan menangis semalaman.

***

Leona belum mati. Dia masih ada di rumah sahabatnya, Deborah. Malah, gadis itulah yang membukakan pintu buatku saat aku bertamu pagi-pagi.

"Hai, Bjorn," sapa Deborah saat aku masuk. "Mau kopi? Pacarku memberikan stok kopi luwak kemarin."

"Kopi yang keluar dari pantat musang itu? Tidak, terima kasih." Kutepuk-tepuk perutku. "Lagi pula, aku sudah minum banyak kopi belakangan. Omong-omong, apa ada yang terbunuh di antara kalian semalam?"

Deborah dan Leona menoleh dari cangkit kopi mereka masing-masing, menatapku heran.

"Seperti yang kau lihat." Deborah menunjuk dirinya sendiri dan Leona. "Hidup. Di depan matamu. Pertanyaan macam apa itu?"

"Oke ...." Aku menggaruk kepala. Ini absurd. Selama ini, kami tahu bahwa para Werewolf hanya mengambil wujud manusia yang dibunuhnya ... atau mungkin tidak? Atau ....

Kujentikkan jariku ke hidung Leona sampai gadis itu memekik.

"Apa, sih?!"

Aku bukan detektif, tetapi aku yakin cewek ini hidup. Bukan setan atau mayat berjalan. "Di mana kau tadi malam?"

"Apa urusannya denganmu?!"

Aku memandang Deborah. Gadis itu mendesah dan menjawab, "Dia menginap di sini semalam. Tidur seperti musang mati."

Aku mengacak rambutku dengan frustrasi. Bagaimana bisa informasi yang kudapat, bukannya membantu, malah menambah misteri dan membuat sia-sia informari yang sudah terkumpul sebelumnya?

"Apa lagi yang kau dapatkan tadi malam, hm?" tanya Deborah seraya menghidupkan kompor dan menyiapkan panci. "Apa ada sesuatu yang aneh semalam? Karenanya kau bertingkah begini?"

"Yah ... aku masih butuh lebih banyak informasi untuk mendapat kepastian." Kutekan ibu jariku ke bibir dan mencoba berpikir lagi. Kulirik Leona yang kembali menyeruput kopinya. "Leona," panggilku sampai dia menoleh dengan pipi menggembung menyimpan kopi yang belum ditelan. "Apakah kau naksir padaku?"

Bibirnya terbuka dan cairan kopi meleleh keluar.

"Sebenarnya, kau dan Deborah menganggap aku ini cewek macam apa?" tanyanya dingin. Gadis itu meraih serbet dan menotol-notol mulutnya yang bisa saja tampak anggun andai noda kopi mirip air terjun tidak membasahi bagian depan bajunya sampai ke paha celana. "Maaf, ya, Bjorn. Kau bukan tipeku."

"Baguslah." Aku duduk di samping Leona dan mengambil piring. Melihatku melakukan itu, Deborah memutar bola matanya dan mengambil telur ekstra buatku. Aku bertanya lagi pada Leona, "Apakah kau ... kebetulan mengetahui informasi-informasi pribadi tentang orang-orang sekitar sini? Misal ... makanan favorit dan ukuran sepatu mereka?"

Leona menganga, "Aku bahkan tidak tahu ukuran sepatuku sendiri."

Deborah kembali menoleh padaku. "Sebenarnya ada apa, sih? Apa lagi yang kau temukan tentang para Werewolf itu semalam?"

Aku tidak menjawab. Aku tidak punya jawaban. Tidak ada yang masuk akal lagi. Para Werewolf yang kukira hanya berubah menjadi manusia yang pernah mereka mangsa ternyata mampu berubah jadi orang yang masih hidup juga. Werewolf itu bahkan tahu hampir segalanya tentangku, tetapi bukan karena dia mengambil wujud Leona. Gadis ini bahkan tidak mengetahui itu semua.

Mereka bisa membaca.

Mereka tidak masuk meski tahu pintunya tidak terkunci.

Mereka mengerti ejekan dan hinaan.

Kepalaku pusing. Kuraih cangkir di hadapanku dan menyeruput kopi yang sudah dingin, beruaha menelannya bersama segala kebimbangan dan kegetiran yang kusembunyikan.

"Bjorn," kata Leona, "itu kopi dari pantat musang yang tadi kumuntahkan."

Aku menyemburkannya kembali.

DWC udah menjadi sarang untuk ide-ide dalam kepala saya, yang punya potensi jadi cerita panjangnya sendiri tapi akhirnya terbengkalai '-')

Mulai dari cerita Alabaster ber-genre space opera,

Clarissa-Khalil di zaman futuristik,

cerita Naya di sekolah asrama berhantu,

cerita reinkarnasi kerajaan Myosoti-Alpestrias,

cerita Delilah-Idlan di dunia perdukunan modern,

cerita Maurice di masa revolusi industri,

fanfic Harry Potter yang magical muggle,

dan sekarang kiamat werewolf.

Dan yang kelanjut cuma Naya, itu pun masih ngegantung karena file nya di laptop di rumah. Dahlah. Escapade aja belom. Btw, mau liat nda cover buku kedua Escapade?'-')

Nyehehehe

Next>>> 10 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro