Say It or Not

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning: One Shoot, Highschool AU, Fluff, Hurt/Comfort, Boys Love, Humor yang super garing tidak renyah, OOC, Typo

Pair: John H. Watson x Louis James Moriarty

Seluruh chara bukan punya saya, saya hanya meminjam untuk menistakan dan memenuhi asupan nutrisi yang kurang

Happy Reading!!!

Louis bukan seseorang yang menganggap perasaan pribadi miliknya adalah sesuatu yang penting. Tolong catat itu dengan baik. Louis juga bukan orang yang memiliki mental yang lemah dan mudah dipengaruhi oleh perasaan. Sekali lagi, catat dan ingat itu baik-baik. Louis juga bukan orang yang akan memaksakan persaannya pada orang lain. Dan untuk kesekian kalinya, camkan itu baik-baik.

Dengan semua catatan yang ada diatas, dapat dipastikan bahwa Louis memeng tidak pernah memperhatikan apa yang dia rasakan pada orang lain. Mungkin hanya sebagian orang seperti kedua kakaknya. Tapi yang lain, jangan harap akan mendapatkannya.
Sayangnya, Louis mungkin harus segera mengubah pernyataannya karena apa yang dirinya rasakan sekarang. Begitu juga yang dipikirkan orang-orang berstatus para korban perasaan yang Louis rasakan sekarang.

"Louis sudahlah ayo kita balik sebentar lagi Mr. Jack mau masuk," keluh sang korban pertama.

"Benar apa yang dikatakan buaya ini Louis, kita balik sekarang nanti sebentar kita datang lagi," tambah sang korban kedua.

Sedang sang korban ketiga hanya diam mengamati dari belakang mereka.

"Louis bagaimana jika kita pasang alat pelacak-" kali ini ucap sang korban keempat yang sayangnya sudah dipotong duluan oleh sang pelaku.

"Kalian semua diam dan jangan banyak bicara. Apa tidak lihat aku sedang fokus disini."

Sungguh, mereka semua rasanya ingin menyeret Louis agar segera berhenti dari kegiatannya memata-matai seseorang yang dicurigai mereka sebagai penyebab Louis bertingkah seperti ini. Keempat orang itu kini ikut melihat objek yang sepertinya sangat tidak menyadari keberadaan mereka padahal hanya berjarak beberapa meter saja.

Objek atau seharusnya seseorang, lebih tepatnya dua orang atpi sepertinya Louis tidak ingin mengakui yang satunya, itu sedang duduk berdampingan sambil bercakap-cakap sesekali menertawakan sesuatu. Kelihatan sangat damai sekali dengan aura berwarna pink disekitar mereka. Sayang semua itu langsung sirna ketika mereka menatap Louis yang kini mengeluarkan aura hitam disekitar tubuhnya.

Bukan salah si objek mata-mata Louis juga sebenarnya. Tapi Louis sebenarnya hanya terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Sangat keras kepala yang mengakibatkan dia merasakan cemburu berlebihan seperti sekarang.

Iya, cemburu.

Seorang Louis James Moriarty yang terkenal tidak berperasaan, dingin, susah untuk didekati. Belum lagi sifat overprotektif pada kedua kakaknya semakin membuat sosok Louis lebih susah untuk dijangkau orang asing. Bahkan mereka berempat, Moran, Bond, Fred dan Herder, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa dekat dengannya. Itu pun hanya sebatas pesuruh bagi Louis. Miris memang nasib mereka, tapi kalau bukan karena kakaknya Louis mereka tidak akan bisa bertemu dengannya.

TENG! TENG! TENG!

"Louis ayo kita masuk kelas sekarang, belnya sudah berbunyi," bujuk Bond lagi.

"Iya benar, itu lihat si dokter juga sudah beranjak masuk ke kelas kan," sambung Moran yang mulai menarik tangan Louis dari batang pohon malang yang menjadi sasaran rematannya.

Louis sebenarnya masih belum ingin beranjak dari tempatnya, tapi karena mata tajamnya melihat guru yang akan mengajar kelas mereka telah dalam perjalanan menuju kemari, mau tidak mau dia, dan jangan lupakan para babunya, harus segera masuk kelas.

"Baiklah ayo kita masuk kelas."

Dengan begitu mereka berlima berjalan menuju kelas mereka yang kebetulan sama. Perjalanan yang hanya memakan waktu sepuluh menit itu dihabiskan dengan kesunyian yang terasa sangat dingin dan mencekam. Louis yang berjalan duluan menatap tajam setiap benda dan orang yang dilewatinya. Hal yang biasa memang tapi entah kenapa sekarang ini terlihat lebih menyeramkan dari sebelumnya.  Sedangkan mereka yang lain hanya berjalan dibelakangnya sesekali menunduk meminta maaf karena perlakuan dingin berlebihan dari teman mereka.

Tak lama kemudia sampailah mereka keruang kelas yang beruntungnya masih belum dimasuki oleh guru mereka.

BRAK!

Pintu yang malang, batin semua yang ada didalam kelas itu. sudah tidak terlalu terkejut sebenarnya, tapi rasa kasihan mereka masih sangat tingga untuk benda mati bernama pintu yang baru saja menjadi satu lagi objek pelampiasan amarah dari si surai pirang itu.

Langkah yang sedikit dihentakan itu kini sampai pada bangku tempatnya duduk di kelas itu. Seorang pemuda yang menjadi teman sebangkunya hanya bisa menelan ludah dan sedikit mengeluarkan keringat dingin melihat Louis yang sepertinya sedang memiliki mood yang sangat buruk.

"L-Louis b-bagaimana makan siangnya?" suara patah-patah itu dikeluarkannya berharap tidak menambah amarah dari sang bungsu Moriarty.

Sedang orang yang diajak bicara hanya diam sambil beberapa kali mneghela napasnya, terlihat seperti mencoba menenangkan dirinya sendiri. Setelah dirasa dirinya mulai tenang, Louis berbalik menghadap pemuda yang menatapnya cemas namun tertutupi dengan perasaan takut.

"Lumayan menyebalkan. Dan aku baik-baik saja. tidak perlu khawatir, John."
John yang mendengar perkataan teman sebangkunya itu hanya bisa menghela napas sambil mengeluarkan senyum ceria, khas dirinya.

"Senang mendengarnya Louis. Kalau ada apa-apa kau bisa cerita padaku. Pasti akan aku bantu sebisaku, aku janji."

Senyum tipis adalah jawaban yang pilih Louis untuk John. Setelah memastikan teman sebangkunya baik-baik saja John pun mulai mempersiapkan peralatan belajar miliknya. Perlahan tanpa John ketahui, Louis menghela napasnya sambil ikut mengambil buku yang akan dia pakai. Sedang keempat orang yang menonton interaksi singkat diantara keduanya, mengigit gemas jari tangan mereka, kecuali Fred yang masih setia dengan wajah datarnya, merasakan gemas yang berlebihan akan keduanya.

'Louis hebat bisa menahan emosi didepan dokter ya, padahal tadi tatapannya sudah seperti ingin memakan orang hidup-hidup,' batin semuanya.

Tunggu, sepertinya ada yang salah dikalimat itu. Dokter? Iya kalian tidak salah baca. Dokter.

Orang yang menjadi target mata-mata Louis dan mereka semua tadi, juga merupakan alasan kenapa Louis sampai bersikap seperti ini adalah karena seorang John H. Watson atau yang akrab dipanggil John atau dokter oleh mereka. Dan entah sebuah keberuntungan atau kesialan, nyatanya John adalah teman sebangku Louis. Diulangi, teman sebangku.

Kalian bisa memikirkan bagaimana perasaan Louis setiap hari melihat John dari jarak sedekat itu. Belum lagi senyum hangat miliknya dan perhatian yang diberikan John untuk Louis membuatnya semakin menumbuhkan perasaan asing dalam dirinya. Baiklah, sekarang Louis akui dirinya memiliki sebuah perasaan pribadi untuk teman sebangkunya itu.

Sebuah perasaan yang selalu dia anggap sebgai sebuah hal yang sangat merepotkan namun sepertinya dia malah terkena karma dengan merasakan perasaan yang sama sekarang. Setidaknya dia tidak atau mungkin belum berani mengungkapkannya, pikirnya ditemani dengan perasaan sedih dan kesal disaat bersamaan.

Louis bingung akan dirinya sekarang. Disaat dia mau menutup rapat perasaannya, tapi sebaliknya malah ini yang dia dapatkan. Jujur saat pertama kali dia menyadarinya Louis benar-benar bingung harus berbuat apa. Mau bertanya pada kedua kakaknya juga bukan pilihan yang baik apalagi bertanya pada temannya, pesuruhnya, yang lain. Tapi tanpa Louis membritahu pun sepertinya orang-orang disekitarnya sudah peka, kecuali objek perasaanya itu.

Sekali lagi, bukan salah John tidak menyadari perasaan Louis, karena dia sendiri pun sudah memiliki kekasih. Lebih tepatnya kekasih dari kelas sebelah mereka. Pertama kali Louis mengtahui hal itu dia tidak bisa fokus lagi pada pekerjaannya. Bahkan the yang seharusnya dia campur dengan gula malah dicampur dengan garam. Dan itu hanya kesalahan kecil dari berbagai kesalahan yang dia lakukan selama hampir sebulan penuh.

Hingga entah mendapat dorongan darimana, di mulailah aksi mata-matanya itu, baik hanya dirinya sendiri atau seperti tadi diikuti oleh temannya, pesuruhnya. Louis akan bersikap seperti tidak ada apa-apa dihadapan sang pujaan tapi saat dibelakangnya semua emosi yang dia tahan ditumpahkannya. Masih untung jika itu adalah benda mati bukan manusia.

Keempat temannya, pesuruhnya, yang mulai merasa kasihan dengan Louis mencoba meminta tolong kepada kedua kakak Louis supaya bisa membantu mereka dan jawaban yang mereka terima adalah,
"Bagaimana jika menyuruh Louis menulis surat cinta untuknya?"

Sunggu saat itu juga hasrat Moran dan Bond untuk memukul kepala yang memiliki surai serupa dengan Louis meningkat tajam. Dan lebih mengherankan ternyata Louis menyetujui usulan itu dan mulai menulis surat cinta untuk pujaannya.
Mereka lelah dengan kelakuan ajaib dari sang Louis James Moriarty berserta kedua kakaknya.

Tiap malam Louis akan memikirkan dengan sungguh-sungguh kata apa yang akan dia tuliskan disurat itu. dilihat dari banyaknya kertas yang pemuh dengan coretan-coretan hingga bagaimana tiap pagi ada kantong mata yang terlihat dibawah matanya. Mereka semua bisa menilai bagaimana kerja keras Louis untuk membuat sepenggal surat itu.

Tentu paginya Louis akan menaruh surat itu di laci meja John yang tepat berada disampingnya, dan berpura-pura tidak tau saat John menanyakan siapa pengirim surat-surat itu. Walau sebenarnya dalam hati Louis yang paling dalam, dirinya benar-benar ingin mengatakan bahwa dirinyalah pengirim surat itu. bahwa dirinya menyimpan rasa yang masih dia pelajari pada teman sekelasnya itu.

Namun sayang beribu sayang, Louis masih tidak berani untuk menyuarakan perasaannya. Dirinya masih terlalu takut akan penolakan yang dia yakin pasti akan didapatkannya. Baginya selama dia masih bisa bertukar sapa dan John masih ingin berbicara dan berteman dengannya, itu sudah lebih dari cukup.

Sangat klasik.

Louis memang ingin sekali serakah dan egois menyampaikan semua itu, tapi akal sehatnya menahannya dengan baik untuk tidak mengucapkan sepatah kata apapun dan menyimpannya dengan rapat seperti yang selalu dia lakukan.

Dan apa yang kau harapkan dari seseorang yang sudah terbiasa menyembunyikan perasaannya? Bahwa dia tiba-tiba akan menyurakan apa yang dirasakannya? Tiba-tiba dia berubah pikiran dan melakukan apa yang selama ini dia tahan dengan susah payah? Tentu saja tidak. Louis teralu keras kepala untuk yang masalah yang satu ini. Keras kepala ang sangat menyebalkan bagi orang-orang sekitarnya yang sudah mengetahui perasaannya. Sangat menyebalkannya hingga mereka tidak habis pikir bagaimana bisa Louis menahan semuanya hingga mereka beranjak ke tingkat akhir pendidikan mereka.

Entah bagaimana caranya sampai Louis tidak menjadi gila seperti kebanyakan orang yang terlalu lama menahan persaan mereka. Surat-surat yang dia kirim pun terhitung mulai jarang dikirimkannya saat melihat kedekatan sang pujaan dengan pasangannya. Surat yang biasa muncul seminggu sekali kini menjadi sebulan sekali atau bahkan lebih dari sebulan.
Sampai akhirnya acara kelulusan mereka lakukan, Louis masih belum berani mengatakan apapun pada John. Padahal dirinya telah memutusan untuk berangkat ke Amerika untuk meneruskan studinya. John yang menyadari tatapan Louis padanya berusaha mengajak berbincang. Dan Louis pun menyetujuinya. Dilangkahkan kaki mereka menuju kea tap sekolah yang pasti sepi karena semua sibuk dengan acara yang sedang berlangsung meriah dibawah sana.

"Tidak terasa akhirnya kita bisa lulus juga ya," kata John memecah keheningan diantara mereka.

"Benar padahal rasanya baru kemarin kita masuk sekolah."

"Kudengar Louis akan melanjutkan ke Amerika. Louis hebat sekali bisa diterima disana," nada ceria itu masih sama ditelinganya.

"Terima kasih, kudengar John akan mengambil jurusan kedokteran dan sudah diterima. Bukankah ujian masuk kedokteran sangat sulit? Kalau begitu John lebih hebat bisa menyelesaikannya."

Kini tawa dan raut malu-malu milik pemuda bersurai hijau keabuan itu yang mendominasi wajahnya.

"Terima kasih Louis, walau aku tidak merasa sehebat itu. masih ada yang lebih berbakat dariku."

"Bagaimana dengan kekasihmu itu? apa dia akan bersekolah ditempat yang sama denganmu?" sunggu lidah Louis terasa sangat pahit saat mengucapkannya.

"Hehehe iya. Mary berencana mengambil satra Inggris disana," mata yang terlihat lebih bercahaya itu kini membuat hati Louis semakin teriris melihatnya.

'Sekarang atau tidak sama sekali,' dan dengan itu dikeluarkannya amplop yang telah dibawanya sedari tadi. Perlahan diserahkannya amplop itu pada John yang sedikit melebarkan mata melihatnya.

"Kenapa amplop itu bisa ada padamu Louis? Apa kau mengambilnya tadi dilaci mejaku? Padahal tidak perlu repot-repot mengambilnya karena aku sudah tidak akan kembali ke ruang kelas,"

"John kalau kubilang selama ini akulah sang pengirim surat itu bagiamana?"

John tentu semakin melebarkan matanya, terkejut akan pernyataan yang dia dengar dari pemuda dihadapannya itu.

"Louis pasti bercanda kan? Tidak mungkin kau melakukan-"

"Lihat, jika aku mengatakan dari awal pasti seperti ini juga reaksimu bukan?" potongnya. Senyum getir itu dia keluarkan. Tanpa suara apapun digenggamnya tangan pemuda yang masih terkejut didepannya dan meletakan surat terakhir darinya itu.

"John H. Watson aku memang seorang yang egois dan serakah. Aku juga tidak akan mengatakan apapun karena sudah bukan tempatku untuk mengatakannya. Tapi aku tidak ingin meninggalkan penyesalan di masa laluku. Walau sesakit apapun itu setidaknya itu terukir dengan nyata disana. Aku pasti akan lebih menyesal jika tidak melakukannya. Setelah ini jika kau ingin membuang surat itu atau menjauh dariku silahkan karena aku juga akan berusaha melupakanmu. Kudoakan yang terbaik untuk kalian. Semoga kalian akan selalu berbahagia, John."

Perlahan tapi pasti Louis berbalik meninggalkan John yang masih menatap punggung yang semakin kecil hingga akhirnya menghilang dibalik pintu dengan tatapan tidak percaya yang sangat kentara. Tanpa sadar tangannya meremas amplop surat itu sambil mengutuk dirinya yang kurang peka akan perasaan temannya itu. Menghela napasnya pelan, John berusaha menenangkan dirinya sambil membuka amplop yang sudah sedikit kusut itu.

Kini perasaan bersalah yang amat besar melingkupi dirinya. John tidak pernah sekali pun membaca surat-surat itu. dia kadang hanya menaruh dalam tas kemudian dibawa pulang yang dipastikan berakhir di tempat sampah. Sedikit gemetar, dibacanya untuk pertama kali surat itu. dan air mata tidak bisa lagi dia bendung hingga mereka mangalir dengan bebas diwajahnya.

Aku selalu melihatmu dari dekat tapi aku mengetahui dengan pasti kalau kau sangat jauh dariku. Aku sealu mendengarmu berbicara tapi aku tau suara itu bukan milikku. Aku selalu diberikan senyum hangat darimu walau aku tau senyum itu bukan untukku. Maaf telah menjadi seseorang yang kurang ajar dan mengecewaknmu sperti ini. Terima kasih telah mengisi masa laluku. Terima kasih telah hidup di masa sekarang. Dan terima kasih karena akan bahagia bersama dia yang merupakan milikmu di masa depan. Sekali lagi terima kasih dan selamat tinggal.

L.J.M

.
.
.

"Louis kau yakin akan akan pergi ke Amerika? Walau ada Moran dan yang lainnya tapi aku masih merasa khawatir padamu," kata Willliam yang benar-benar mencemaskan keadaan adik satu-satunya itu.

"William benar Louis. Apa sebaiknya kami ikut kesana?" kini bujukan datang dari kakak tertua mereka, Albert.

Senyum kecil diberikan Louis pada keduanya, mencoba untuk meyakinkan bahwa dia akan baik-baik saja dengan banyaknya temannya, pesuruhnya, yang ikut bersamanya.

"Aku akan baik-baik saja Kak. Tidak perlu khawatir. Nanti aku kan terus mengirimi kalian kabar."

Helaan napas terdengar jelan ditelinga Louis yang berasal dari kedua kakaknya. Sebuah tepukan pelan dan pelukan erat dia dapatkan dari keduanya saat mendengar pengumuman keberangtannya.

"Jaga dirimu baik-baik adikku. Kami akan datang mengunjungimu saat liburan nanti."

"Baiklah Kak. Sekarang Louis pamit berangkat dulu ya, sampai bertemu nanti."
Dan lambaian tangan itu diarahkannya pada keduanya sebulum memasuki ruang unggu penumpang pesawat. Dirinya memang tersenyum, tapi bohong jika hatinya sudah sembuh. Kembali dia menggelengkan kepalanya, menyadarkan dirinya untuk menghadap kedepan.

'John terima kasih telah ada disampingku selama ini. Kau telah membuatku belajar seseuatu yang sangat berharga dan tidak akan aku lupakan sepanjang hidupku. Terima kasih karena sudah memberitahu banyak hal padaku. Selamat tinggal. Aku tidak brharap kita akan bertemu lagi, tapi mungkin jika takdir yang berucap?'

THE END

Terima kasih sudah mau mampir ('。• ᵕ •。') ♡
Don't forget to Like and Comment (ノ' з ')ノ

See ya!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro