That Afternoon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning: One Shoot (mungkin, silakan beritahu jika cerita ini mau dilanjutkan ^^), Fluff, Hurt/Comfort, Boys Love, OOC, Typos

Pair: John H. Watson x Louis James Moriarty

Seluruh chara bukan punya saya, saya hanya meminjam untuk menistakan dan memenuhi asupan nutrisi yang kurang

Happy Reading!!!

Sore itu masih seperti biasanya. Biasa udaranya, biasa biasnya, biasa bisingnya, biasa membosankannya. Padahal jalanan terlihat sedikit sepi dari biasanya -mungkin karena akan memasuki musim dingin orang-orang memilih berdiam diri di depan tungku perapian-.

Dan ternyata sore yang biasa itu terasa lebih suram oleh pemuda itu. Sore yang biasa dia lalui dengan penuh aroma teh dan kue manis kini berganti dengan pekatnya bau kertas dan pengapnya ruangan sedang itu.

Dirinya yang biasa sibuk membuat makanan dan minuman sekarang terlena dalam tumpukan dokumen dan arsip. Yang biasanya sibuk menunggu sambil merapihkan rumahnya kini diam berhatap waktu lebih lama berputar. Hari-hari yang biasa dia harap tidak pernah berakhir sekarang berubah menjadi permohonan agar semakin cepat berlalu.

Tangannya bergerak dengan cepat seiring matanya yang membaca tiap kata dalam laporan itu. Walau apa yang dia pandang hampir sama dengan yang sebelum-sebelumnya, dirinya tidak merasakan bosan -jenuh pasti memenuhinya-. Walau begitu tidak sekali pun dia menganggap ini sebagai sebuah keharusan.

Ini adalah tugas dan bentuk tanggung jawab yang dia pilih. Tidak ada jalan balik -bahkan sejak awal tidak ada kata balik dalam hidupnya- yang dapat dia tempuh. Semua telah tersusun rapi sehingga dia tinggal mengerjakannya saja.

Pikiran yang melayang -tangannya masih sibuk menulis dalam dokumen- membuat dirinya tidak menyadari ada sosok lain yang menatapnya di balik pintu mahoni ruangan itu. Pandangan datar namun terlihat kusut dipancarkan olehnya.

Orang itu sendiri tidak tau sudah berapa lama kakinya menempel di sana. Badannya tegap dan diam. Postur tubuh yang terlihat kaku itu entah kenapa terasa sangat suram dan sendu.

Mereka -kedua orang yang tidak saling mengetahui keberadaan satu sama lain- memang berbeda, namun sama. Berbeda orang tapi sama dalam rasa. Berbeda pandangan sayang memiliki akhir yang sama. Entah kemalangan atau keberuntungan merela di pertemukan dalam gedung besar ini.

Kesampingkan rutinitas mereka yang sibuk -atau sengaja menyibukan diri- hingga jarang sekali keduanya bisa bertemu. Kalau pun mereka bertatap muka paling-paling hanya sekerdar sapa dan berbincang tentang pekerjaan bahkan pernah beberapa kali mereka saling mengacuhkan seakan tidak mengenal satu sama lain.

Teman, rekan mereka menebak banyak hal tentang apa yang terjadi di antara kedua orang itu. Sayang jawaban pasti hanya merekalah yang tau, bahkan bisa saja keduanya juga tidak mengetahui hal ini.

Kedua orang itu keras kepala, sangat keras kepala. Walau sudah di bilang kadang keduanya ingin menolak dengan alasan yang mereka simpan rapat. Perasaan pribadi menjadi halangan kenapa mereka lebih senang mengikuti dari pada di ikuti.

Bukan artinya mereka tidak berani menjadi yang di depan. Hanya saja sudah dalam diri mereka untuk selalu menjadi penopang dan penjaga orang itu. Orang berbeda yang terkadang keduanya bingung bagaimana takdir mengacak benang mereka hingga bisa bersama sampai seperti ini.

Kejadian malam itu semakin membuat mereka sadar -sekali lagi mereka hanya tidak ingin mengakuinya- bahwa janji atau sumpah sekali pun tidak ada yang abadi. Hal abadi hanya omong kosong yang tidak akan pernah ada. Tidak di sini juga tidak di alam sana.

Keabadian hanya sebuah kata yang mempercantik kalimat. Membuat makna menjadi dalam walau artinya sangat bodoh, tidak berguna. Hanya saja, sesekali kau memang membutuhkannya dalam kalimatmu.

Meninggalkan hal itu, lelaki bersuai hijau keabuan itu melangkah masuk dalam ruangan dingin yang dia pandangi dalam kurun waktu sejam terakhir ini. Tetap tidak ada kata yang terlontar, hanya diam dan suara ketukan kaki mendominasi sekelilingnya.

Pandangan lekat tetap dia arahkan pada pemuda yang masih sibuk dengan gunungan kertas di meja sedangkan yang di tatap tidak mengindahkannya. Dirinya terus saja fokus pada pekerjaannya seakan jika dia mengalihkan sedetik saja konsentrasinya maka semua akan hilang.

Tak bisa dipungkiri wajah pemuda pirang itu tampak sangat lelah dibalik topeng dingin yang dia kenakan. Mencoba terlihat tegar namun gagal di mata orang-orang. Yang melihatnya hanya tau dan diam sementara tindakan mereka menggambarkan jika pemuda itu berhasil mengelabui mereka. Pundak kokoh itu sekarang mulai runtuh.

Hanya sebentar hingga lelaki berstatus dokter itu sampai di hadapan sang pemimpin organisasi. Dalam pandangannya pemuda itu masih sama, walau kesamaan itu hanya berlaku untuk tiga tahun belakangan ini. Mulutnya terbuka, mau mengatakan tapi diurungkannya. Begitu terus hingga saat ketiga kalinya dia berhasil mengeluarkan suara.

"Mr. Moriarty."

Pelan sekali ucapannya, namun berhasil menarik perhatian permata merah itu pada keberadaannya. Adu tatap mereka lakukan. Bahkan sampai melewati beberapa menit tidak ada yang bersuara. Keduanya juga tidak merasakan canggung yang biasanya mereka rasakan saat bertemu orang asing. Namun ternyata keheningan yang mereka kira akan bertahan lebih lama, diputuskan oleh keduanya, secara bersamaan.

"Mr. Moriarty / Dr. Watson."

Lagi-lagi diam. Sepertinya kedua orang ini mulai menyukai yang namanya keheningan. Bagaimana tidak, sekarang pun mereka lebih menikmati dan memilih untuk diam dari pada mengatakan sesuatu. Sayang kali ini mereka tidak bisa diam lebih lama karena urusan yang harus segera diselesaikan.

"Ehm.. Dr. Watson, ada keperluan apa datang kemari?"

"Tidak ada yang penting sebenarnya. Saya hanya ingin mengajak anda untuk keluar menghirup udara segar sambil mungkin berjalan-jalan sedikit?"

Kebingungan melanda keduanya. Yang satu bingung untuk menjawab sedang yang lain bingung kenapa tidak ada jawaban yang keluar atas ajakannya. Merasa tidak enak telah mengutaran permintaan yang menurutnya terasa terlalu memaksa, -karena dia melihat banhak sekali tumpukan berkas di sana sehingga berpikir dia telah menggangu waktu sang pemuda- lelaki dokter itu memutuskan untuk menarik kembali ajakannya sambil secara tidak sadar menggaruk canggung pipinya.

"Se-sepertinya saya sudah mengganggu waktu anda. Maafkan saya karena tidak tau- bukan seharusnya saya tau anda adalah orang yang sibuk sekarang, tapi masih saja saya minta untuk melakukan sesuatu yang membuang-buang waktu. H-haha, kalau begitu saya permisi dulu. Sekali lagi maaf sudah mengganggu waktunya, Mr. Moriarty."

Saat dirinya berbalik namun belum sempat dia melangkah sebuah panggilan halus dia dengar membuat niatnya untuk segera pergi menjadi tertunda, bahkan mungkin tidak jadi.

"Aku tidak mengatakan 'tidak' bukan?"

Sebuah kalimat singkat dan juga senyum tipis dari pemuda yang kini perlahan berdiri dari duduknya menjadi sebuah jawaban akhir tanpa pertanyaan lagi untuk sang dokter. Senyum hangatnya membalas sambil dia menunggu si pirang bersiap-siap. Agak bersalah dirinya mengajak keluar di saat pekerjaan terlihat sangat menumpuk, juga bagaimana kantung mata dan pundak sedikit lesu dari direktur muda itu. Tapi, sebagai orang yang dipercayakan untuk mengawasi kesehatan seluruh anggota organisasi rahasia ini -berbeda alasan dengan yang sebenarnya khusus untuk sang pemimpin- dia harus mau tidak mau menjadi tegas dalam beberapa hal.

"Dokter, kita tidak jadi keluar?"

"Ah! I-iya. Maaf."

Sepertinya dia harus segara menghentikan kebiasaan mengkhayalnya.

.
.
.

Ternyata udara di luar gedung itu sama saja. Lebih dingin kalau John ingin menegaskan. Untungnya mereka berdua memakai jaket yang lumayan tebal, jadinya dingin itu tidak terlalu menusuk tulang. Walau sesungguhnya dingin itu tidak hanya datang dari alam saja.

John tau, sangat tau malah, kalau pemuda di sampingnya itu orang yang dingin. Kalau bukan karena keadaan yang memaksanya begitu, John yakin dia akan lebih sering menunjukan lengkungan yang manis -sekali lagi John tidak sadar memikirkan ini- itu.

Kursi taman terlihat sangat nyaman, pendangan mereka menangkap banyak sekali warna coklat ke-emasan dan kemerahan yang berjatuhan dari dahan pohon sekitar taman itu. Hembusan napas mereka bisa terlihat, namun sepertinya tidak ada yang memperdulikannya. Ribut dari anak-anak juga percakapan orang sekitar mereka saja tidak dihiraukan sama sekali.

Akhirnya tidak ada yang berubah. Keluar pun hanya diam menguasai, tidak ada yang mau mengambil inisiatif memecahkannya, umpama sebuah kaca rapuh yang menjadi pembatas -buatan mereka sendiri- diantara rasa ingin dan tidak bagi keduanya.

Lain halnya dengan John, sepertinya pemuda pirang yang duduk di sebelah memikirkan hal sebaliknya. Hening menjadi pilihannya bukan karena dia tidak ingin berbicara atau sombong, melainkan dia tau sekali mulut membuka pada akhirnya hasil yang dia dapatkan tetap sama, tidak akan ada yang berubah.

Pandangannya lebih terfokus -lebih memilih- untuk menatap merpati yang kini mengerubungi jalan beton di depan mereka. 'Bebas sekali,' seperti itu pikirnya. Sangat mudah dia batinkan tapi terasa terlalu kasar untuk dikatakan. DIrinya hanya tidak ingin membuyarkan suasana tenang yang ada.

Aroma daun khas musim gugur masuk dalam penciuman keduanya. Sedikit muncul latar belakang sisa air hujan di sana, dan memang ternyata selama mereka berada dalam gedung tadi, gerimis membasahi tanah itu. Tidak ada yang menolak sejak mereka juga sangat menyukai suasana seperti itu. Entalah, seperti menenangkan juga menggambarkan sempurna keduanya.

"Mr. Moriarty-"

"Louis saja, dokter. Kita sedang di luar dan tidak ada misi yang terlibat," egois memang ingin dia lakukan sekarang, dan John tidak keberatan sama sekali dengan hal itu. "Dan kita juga tidak sekaku itu bukan," sekali lagi John tau itu sedikit sindiran tapi dia tidak akan marah tentang itu.

Karena John sendiri tidak sadar jika sarkas itu ditunjukan bukan untuknya.

"Baiklah kalau begitu, Louis?"

"Jangan bertanya seakan kita sedang dalam rapat, dokter."

Kenapa harus lengkung tipis itu tidak bisa John miliki. "Panggil aku John saja, setidaknya dengan begitu kita impas kan," Louis terlalu sadar jika itu hanya sebuah perkataan halus yang mengena padanya, hanya kembali lagi dirinya terlalu ingin menutup hingga kata yang tidak memiliki maksud apapun itu diartikan lain olehnya.

Sedikit bodoh kalau kau tanya aku.

Lihat, lagi-lagi diam masuk dalam mereka. Tidak jelas apakah sengaja atau tidak lagi sekarang. Tap satu yang pasti, mereka masih belum bosan dengan semua itu. "Um, bagaimana pekerjaanmu Louis? Kudengar banyak sekali laporan dari Ratu yang harus kau selesaikan," kenapa juga John bertanya seperti itu, seperti kehabisan bahan bicara saja-

Benar juga, mereka memang 'tidak ada' bahan bicara.

"Semua masih dalam kontrol, aku masih bisa melakukannya sendiri. Lagipula menyerahkan pekerjaan dokumen pada mereka sama saja dengan membuat pekerjaanku bertambah dua kali lipat," Louis sendiri terkejut dia bisa menjawab dengan lancar seperti itu.

Anggukan kepala menjadi pilihan sedikit rancu dari John, pasal dia menjadi bingung untuk membalas apa. Ah! Mungkin sekarang tidak lagi, "jangan terlalu banyak bergadang. Sangat tidak baik untuk kesehatanmu," tapi ini terdengar lebih menggurui dari yang dia kira.

Senyum itu sedikit lebih lebar sekarang. Baiknya bagi dia, John tidak menyadarinya karena masih sibuk menutupi wajahnya yang memerah malu, yang tidak ada gunanya jika manik delima itu sudah melihatnya. "Baiklah, baiklah. Terima kasih atas sarannya, dokter John."

Tidak bisa mereka saling menyalahkan kalimat yang kini membuat suasana lebih canggung dari sebelumnya. Sudah bingung tidak bisa melanjutkan percakapan sekarang ditambah gugup yang terlalu iseng datang dan menggoda mereka. 'Bodoh kau Louis / John!' runtuk batin keduanya sebenarnya sering terjadi bersama-sama, dan tidak ada satu pun yang akan mengetahui hal itu.

"Mr. Moriarty / Dr. Watson," keheningan kali ini berbeda, bukan karena ketidaksiapan melainkan karena hal lain yang sama sekali tidak mereka tolak. Kegembiraan fana yang sedikit itu mereka ciptakan ingin rasanya untuk bertahan selamanya bahakn jika tidak mungkin terjadi.

Kini mereka tidak lagi malu untuk menunjukan lengkung ke atas itu. Membiarkan yang lain melihat bagaimana cantik dan indahnya pemandangan yang pertama kali keduanya pandangi tanpa ada acara sembunyi-sembunyi. Manik delima itu sampai menutup membuat yang berwarna coklat berbinar senang dapat menyaksikannya.

"Cantik," bukan kata pertama yang dia batinkan, tapi itu adalah yang pertama yang dia ucapkan hingga terdengar oleh yang lain di sebelahnya. Tak khayal hal itu membuat pipi pucat menjadi merona merah.

"Jo-John..?"

"Eh?! Ma-maaf Louis..!"

Tidak ada yang ingin saling tatap setelah kejadian memalukan itu. Terlalu banyak berkontak ternyata membuat jantung merrka menjadi sakit karena terlalu banyak berdetak. Herannya, mereka menyukai sensasi detak namun tidak dengan sakitnya.

Mana bisa mereka tau jika keduanya akan berakhir seperti ini. Bukan salah siapa-siapa tapi terlalu menyakitkan jika tidak ada yang bisa disalahkan. Ingin mencari alasan tapi sayang itu sama saja dengan menyalahkan satu sama lain. Terus diam sepertinya bagus dilakukan walau artinya mereka harus mengorbankan bahkan membunuh apa yang tumbuh sekarang ini.

"Terima kasih banyak," kalimat itu bahkan terlalu halus untuk keduanya, tapi dia tetap memaksa untuk mengatakannya.

"Untuk apa?"

"Untuk banyak hal, untuk semua yang telah kau lakukan," 'dan mungkin juga hanya itu yang bisa aku ucapkan padamu,' tidak mungkin baginya mengucapkan kata itu secara gamblang.

Senyum dari lekaki bersurai coklat keabuan itu berubah secara perlahan menjadi sendu, tidak terlalu kentara tapi pasti ada di sana. "Kalau begitu aku juga ingin berterima kasih untuk Louis."

"Aku tidak melakukan apa-apa yang pantas mendapat kata terima kasih."

"Bagi Louis mungkin seperti itu, tapi bisa saja bagi yang lain tidak bukan? Atau anggap saja itu balasan karena tadi kau berterima kasih padaku."

Sudah seharusnya mereka tau, sekeras kepala pun, se-egois apapun, sebodoh apapun keduanya lakukan, tetap akhir yang akan datang sama, tidak akan pernah berubah, sampai kapan pun. Tapi tidak ada yang ingin mengungkapkan selamat tinggal, membuat terima kasih menjadi keputusannya. Kerakusan ingin mengatakan lebih namun ketakutan datang lebih dulu dan lebih besar.

Dan inilah yang menjadi pelarian mereka.

'Kau sudah bertahan dan membuatku ingin bertahan juga dalam panasnya duri-duri ini. Kau yang sendirian berjuang menolak tanganku untuk membantu, dan aku tau itu lebih dari siapapun. Aku tidak akan memaksa karena itu hanya akan melukaimu, dan itu bukan hal yang ingin aku bayangkan sekali pun. Walau terhalang aku hanya ingin tau kalau kau akan tetap menjadi sosok tersendiri dalam diriku. Terima kasih sudah menjadi orang yang kuat yang pernah aku temui, semoga bahagia selalu mengikutimu.'

Lihatlah sampai akhir mereka pun tidak ada yang mengucapkannya. Kata sakral yang menjadi runcing tajam menusuk hati masing-masing, mengikatnya hingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa, selain diam.

THE END

Halooo lagi maaf udah lama nggak update buku ini (个_个) nanti buku ini tetap bakalan lanjut terus kok jadi stay tuned terus yaaa (・ω<)☆

Terima kasih sudah mau mampir ('。• ᵕ •。') ♡
Don't forget to Like and Comment (ノ' з ')ノ

See ya!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro