PART 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PART 18

_Jati_

Yasmin tidak terdengar memaksa saat menyodorkan ajakan liburan. Cukup memasang sikap lembut dan manja, dia mampu meluluhkan hati orang lain. Hal itulah yang dialami Jati saat ini.

Yasmin selalu bersikap seperti itu setiap menginginkan sesuatu.

Seperti sebuah senjata rahasia.

Like mantra.

What she wants, she will get it.

"Oke kalo gitu. Hari Senin berangkat, pulangnya hari Rabu," jawab Jati tanpa berpikir terlalu lama. Dia tidak bisa menolak rajukan Yasmin.

"Hah? Serius?"

Hanya butuh anggukan pelan dari Jati untuk mengiyakan.

"Yeay!" Yasmin langsung memeluk Jati kuat-kuat, mencium pipinya dan kembali memeluk lebih erat. "Thank you, Kak."

Jati mengabulkan keinginan Yasmin sebagai bentuk hadiah atas kesabaran Yasmin menjalani pengobatan. Selain itu, Jati berharap liburan itu bisa menjadi suntikan semangat bagi Yasmin untuk menghadapi proses terapi selanjutnya hingga kondisinya menjadi lebih baik.

"Kalau begitu, sebaiknya kita cepet-cepet aja booking paket tur wisata." Yasmin sudah kembali setelah sempat beranjak dari duduk. Jemarinya mulai bergerak lincah di permukaan screen ponsel.

"Ngapain harus booking paket tur? Yang kita butuhin hanya tempat menginap. Soal rute ke lokasi wisata, nggak akan terlalu rumit kan?"

Yasmin mendengarkan Jati tanpa menyela. Meski begitu, Yasmin tetap melihat ke screen ponselnya, entah apa yang dicari.

"Aku nanyain dulu soal vila papa. Biasanya kalau ke Puncak, kami nginap di situ. Tapi akhir-akhir ini, karena udah pada jarang ke Puncak, vila-nya udah jarang ditengok. Nggak sampe jadi vila berhantu sih, cuma gimana ya, kalo rumah udah jarang dihuni. Udah berasa aneh aja."

"Kalau soal itu, biar saya saja yang ngurus, ya?" Jati mengambil ponsel kemudian menelepon penjaga vila, menanyakan keadaan vila milik keluarganya yang juga berada di kawasan Puncak. Vila tersebut terdiri dari dua bangunan. Satu bangunan disewakan, sedangkan satunya lagi ditempati asisten yang biasanya bertugas membersihkan dan merawat vila.

"Oke kalau gitu."

Tidak berselang lama, penjaga vila menelepon, mengabari jika vila dalam keadaan aman, terawat dan selalu siap ditempati menginap. Jati berpesan kepada asisten menyiapkan segala keperluan rumah selama beberapa hari.

"Vila sudah siap. Nanti ada pekerja vila yang bisa jadi guide."

"Trus, yang nganterin ke Puncak siapa?"

"Me."

"Really? Waah."

"Apa kemampuan nyetir saya meragukan?"

Yasmin tertawa. "Nggak. Bukan gitu. Aku pikir Kak Jati mau jalan nyantai aja gitu disupirin. Biar nggak capek kan?"

"Tujuannya biar nggak ngerepotin. Biasanya kalau bepergian ke daerah yang rutenya masih terjangkau, saya lebih suka bawa kendaraan sendiri."

"Udah kebiasaan dong, berarti?"

"Waktu kuliah dulu, saya senang road trip bareng teman-teman kuliah. Hiking, menjelajah tempat-tempat baru. Semacam itu."

"Aaah jadi pengen deh ikutan road trip. Sejak dulu, cuma bisa dengar cerita dari teman-teman aja, yang sampai road trip keliling US dan Kanada. Aku tertarik sih, tapi taulah mama sama papa, over protective banget. Hiking aja hanya dibolehin yang deket-deket. Itupun harus bareng beberapa teman yang mereka udah kenal. Pas summer atau spring paling jalan-jalannya banyakan ke pantai atau belanja. So boring."

"Putri kesayangan memang harus dijaga. Seenggaknya, kamu masih diberi kebebasan untuk kuliah di luar negeri selama bertahun-tahun. Itu artinya, keluarga kamu masih menaruh kepercayaan sama kamu."

Yasmin mengangguk. "Hmm, iya."

"Anggap saja perjalanan ke Puncak itu road trip pertama kamu."

"Yeah, road trip perdana yang bakal sangat berkesan karena perginya berdua sama Kak Jati. I expect some romantic moments with you there, Kak."

Yasmin merebahkan kepalanya di dada Jati. Memejamkan mata dan tersenyum.

"Siapa tau aja dengan trip itu, aku bisa sembuh."

"Are you considering this short trip as a honeymoon?"

"Tentu saja. Memangnya mau ngapain lagi kita di sana, Kak? Masa jalan-jalan terus?" Yasmin tertawa. Tangannya lalu memainkan kancing kemeja Jati. "Apalagi tempatnya dingin? Kan enak, bawaannya pengen dipeluk terus?"

"What's wrong with my wife's brain?"

"Di pikiranku kan hanya ada kamu, Kak. Gimana dong?" Yasmin mendongak, mengusap dagu dan rahang Jati sebelum kembali ke posisi semula. "Masih nanya lagi."

"Kamu memang paling bisa urusan ngasih jawaban."

Yasmin menanggapi dengan tawa. "Hari Seniiiin, cepatlah datang."

Jati mau tidak mau ikut tersenyum melihat tingkah Yasmin. Dia membiarkan Yasmin bermanja-manja dengannya. Berbaring dengan kepala bersandar di dadanya, berceloteh riang tanpa beban. Sesekali mengendus aroma body wash bercampur parfum yang masih melekat di tubuhnya.

Baru saja tangan Jati terulur hendak mengelus pipi Yasmin, ponsel Jati berdering.

"Nggak usah bangun, Yas. I can reach it," cegah Jati ketika Yasmin hendak bangun dari posisinya yang sudah sangat nyaman. Jati kini menggenggam ponselnya yang masih terus berdering.

Nomor baru lagi.

Jati memilih me-reject. Dia tidak pernah mau mengangkat nomor baru, kecuali nomor tersebut mengirimi pesan atau SMS yang menginformasikan identitas pemiliknya.

Ketika ponselnya kembali berdering, Jati memilih untuk tetap mengabaikan.

"Diangkat aja, Kak. Siapa tau aja telepon penting." Yasmin melongok ke screen yang tengah berkedip-kedip.

"Nggak perlu. Palingan orang iseng."

Jati tidak punya bayangan tentang siapa yang sudah berkali-kali menghubungi nomor ponselnya.

"Jadi penasaran deh."

"Udah. Abaikan saja." Jati akhirnya memilih menonaktifkan ponsel. Setelah itu, dia kembali mengambil majalah yang masih bisa terjangkau oleh tangannya.

"Aduh, lupa kaan?"

Jati mengangkat alis. Tiba-tiba Yasmin bangun. "Ada apa?"

"Aku harus cek hasil layout sama konsep cover. Pasti Mbak Siska udah nungguin dari kemarin." Yasmin menyentuh ujung hidung Jati menggunakan telunjuk. "Tungguin. Jangan kemana-mana. Aku mau sekalian ngambil minum. Aku ambilin jus ya? Mau jus apa?"

"Terserah kamu." Jati membalas sambil melihat-lihat lagi majalah di pangkuannya.

"Kalau jus Penuh Rasa Cinta, gimana?"

Astaga. Apalagi ini?

Ketika Jati hanya menggeleng-geleng, Yasmin mengedipkan satu mata.

"Aku bikin speechless kamu lagi, Kak? Hehe."

Mengapa perempuan satu ini jadi semakin menggemaskan?

***

Acara makan siang bersama di halaman belakang berlangsung meriah meski hanya dihadiri oleh enam orang. Aroma panggangan yang super wangi berembus kemana-mana.

"Ayo siapa lagi yang mau nambah?"

Yasmin yang sejak tadi cukup sibuk melayani para tamu dengan jamuan makanan, kini meletakkan di atas meja, sepiring besar sosis premium dan daging sapi berbumbu panggang yang telah matang.

"Gue fokus makan ini dulu," Rafael menunjuk grill berisi beef slice wagyu dan Karubi. Semerbak aroma bawang bombay dan bawang putih panggang tercium cukup menyengat.

"Gue mau nambah, Yas."

"Oh, boleh. Mau yang mana, Bi?"

Jati yang duduk berhadapan dengan Ana dan sepupunya, mengamati interaksi antara Yasmin dan sahabatnya yang bernama Bian. Bian menunggu sampai Yasmin mengambilkan sosis panggang berikut saus sambal ke piringnya, padahal Jati cukup yakin, Bian bisa mengambilnya sendiri.

Tidak hanya sekali dua kali Jati memergoki laki-laki itu memerhatikan Yasmin sambil sesekali menikmati hidangan di depannya, seolah sosok istrinya itu lebih menarik perhatian ketimbang makanan di depannya. Jati tidak bisa sepenuhnya menyalahkan jika ada yang memerhatikan Yasmin sampai seintens itu. Siang itu, Yasmin begitu cantik dalam balutan blus dan rok panjang kuning pastel berbahan ringan. Rambutnya diikat kain bandana warna biru langit dan kuning. Wajahnya yang putih mulus dipulas make-up tipis. Bibirnya berwarna seperti raspberry, sedikit mengilap oleh sentuhan lipgloss.

Seharusnya Jati mengingatkan Yasmin untuk tidak berdandan secantik itu. Tapi, Yasmin memang selalu tampil memesona, sekalipun belum mandi dan hanya memakai daster lusuh.

Bian memandangi Yasmin sambil membisikkan sesuatu kepada Rafael. Rafael mengatakan sesuatu yang hanya ditanggapi Bian dengan gelengan kepala.

Senyum Bian mengembang setiap mengobrol dengan Yasmin dan yang lainnya, tetapi mendadak jadi lebih kalem dan dingin saat melihat Jati. Bian bahkan tidak pernah mencoba membuka obrolan dengannya, tidak seperti yang dilakukan oleh Ana dan Rafael. Kedua sahabat Yasmin itu masih mencoba bersikap ramah kepadanya, meski mereka juga tidak bersikap berlebihan. Keramahan yang lebih mengarah pada kesopanan, seperti yang dilakukan orang awam saat bersosialisasi satu sama lain.

Jati mencoba bersugesti positif. Mungkin kepribadian Bian memang kurang lebih sama seperti dirinya. Sulit bersosialisasi dengan orang baru. Tapi bukan berarti tidak mampu bersikap ramah kepada orang lain.

Bian, Ana dan Rafael telah bersahabat dengan Yasmin sejak SMA. Menurut penuturan Yasmin, dia lebih dulu mengenal Ana dan Bian, kemudian menyusul Rafael yang masuk ke lingkup pertemanan mereka di tahun kedua SMA. Jati baru menyadari bahwa teman perempuan Yasmin yang setiap saat berada di dekatnya adalah Ana. Bian, seingatnya aktif di ekskul basket, sedangkan Rafael sepertinya tidak begitu tertarik dengan kegiatan di sekolah. Ya, Jati sulit mengingat teman-teman satu sekolahnya jika mereka bukan bagian dari pengurus OSIS, ekskul KIR, Komputer atau siswa yang sehari-hari aktif dalam klub belajar maupun klub sains. Sahabat-sahabat Yasmin memang tidak ada satu pun yang pernah kenal apalagi bergaul dengannya hingga Jati lulus dari SMA.

Andaikan Yasmin tidak menyukai sains dan aktif di klub, mungkin mereka pun tidak akan pernah mengenal satu sama lain.

"Kak, masih mau nambah daging?" tanya Yasmin saat Jati sedang berusaha menandaskan yakiniku.

"Nggak, Yas. Thanks. Ini udah cukup."

"Kalau gitu, aku ambilin buah sama minumnya ya?"

"Oh, oke."

Dari tempatnya duduk, Jati bisa mendengar bisik-bisik Retha, sepupu Ana yang ikut dalam acara tersebut.

"Ganteng banget, sumpah."

"Sssh, lo tuh ya. Bisa-bisanya lo cuci mata ngeliatin suami orang?"

"Ih cuci mata doang, nggak boleh?"

"Lo diundang ke sini buat makan, remember?"

"Pernah dengar pepatah, sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui? Gue ikutan makan, iya, kalo cuci matanya, itu bonus. Sayang banget pemandangan indah dianggurin."

Yasmin yang baru saja duduk di sampingnya, mengambil tisu, dan mengusapkan keringat di dahi Jati. Menatapnya dengan tatapan penuh cinta, seperti biasa.

"Tuh udah ada minumnya."

"Thanks."

"Ada brownies cheesecake juga tuh, Kak."

"Nanti saja. Saya sudah kenyang sekali." Jati menepuk-nepuk pelan perutnya sebagai penegasan.

"Gimana rasanya? Sausnya aku racik sendiri lho. Daging sama bahan-bahan lainnya juga aku yang milih sendiri." Yasmin terlihat senang dan bangga dengan hasil kerja kerasnya menyiapkan menu makan siang.

"Enak sekali. Terima kasih." Jati menunggu sampai Yasmin duduk di sampingnya. Dia tidak akan membiarkan Yasmin sibuk kesana- kemari. Khawatir dia bisa kelelahan. "Duduk di sini, Yas."

Yasmin mengatakan kalau dia melupakan sesuatu.

Jati lekas menahan tangannya sebelum sempat beranjak.

"Duduk saja. Kamu pasti capek. Minta tolong sama Nena saja kalau perlu sesuatu."

Yasmin sedikit bingung dibuatnya, tetapi kemudian Yasmin menuruti permintaan Jati.

Tidak hanya itu saja, karena kini Jati sudah mengambil sepotong brownies dan menyuapkan ke mulut Yasmin. Yasmin mengerutkan kening, tapi segera menyambut suapan Jati dengan penuh semangat.

Bian menatap ke arah mereka dengan tatapan tajam.

Jati memang sengaja melakukannya untuk menunjukkan kepada Bian, bahwa Yasmin adalah miliknya.

Bukan lewat kata-kata, tetapi tindakan yang bisa langsung terlihat oleh Bian.

"Cieee suap-suapan nih yee. Ciyeee."

"Mau juga dong."

"Nih gue suapin sumpit," Ana menanggapi Rafael yang ikut meledek mereka. Kontan saja mereka semua tertawa mendengar komentar Ana. Rafael membalas komentar ledekan itu dengan menjulurkan lidah.

"Awas lo ya? Gue sumpahin lo keselek wagyu,"

"Ih, nggak pa-pa keselek wagyu. Daripada keselek tulang ikan. Nggak keren."

Yasmin menoleh kepada Jati. "Mereka memang sering banget berantem. Heran deh. Jarang banget rukunnya."

"Kalau teman kamu yang satunya?"

"Bian?"

"Iya. Kelihatannya dia ada something sama kamu. Dari tadi, dia ngeliatin kamu terus."

Yasmin membulatkan mulut. "Kak Jati memang sengaja merhatiin ya dari tadi?"

"Nggak sengaja, kan duduknya di depan saya." Jati lalu segera meralatnya, sebelum Yasmin menuntutnya mengakui dengan jujur bahwa Jati memang sengaja mengawasi Yasmin dari tempat duduknya. "Iya, sengaja. Alasannya, kamu terlalu cantik. Saya nggak bisa berhenti memandangi kamu."

"Sweet talk. Tapi tentu saja aku seneng banget dengernya."

"Lain kali dandannya biasa saja. Saya nggak mau kamu jadi obyek fantasi laki-laki lain."

"Perasaan, ini dandannya udah biasa banget. Aku malah sengaja cuma pake bedak sama lipgloss aja."

"Berarti dasarnya kamu memang udah cantik."

"Kak Jati bikin aku blushed deh. Tumben jadi royal mujinya."

"Kalau aku bilang yang sebaliknya, berarti aku bohong."

"Nggak gitu juga." Yasmin mengerucutkan bibir. "Ya udah. Jadi biar aku jelasin nanti soal Bian."

"Jadi apa firasat saya benar kalau dia suka sama kamu?"

Yasmin mengangguk pelan.

"Jangan marah ya, Kak? Karena aku nggak pernah ngomong sebelumnya soal ini."

Sejak dulu, banyak laki-laki yang menyukai Yasmin. Sejak SMA-pun, Jati kerap mendengar teman-temannya membicarakan cewek-cewek yang dianggap paling cantik se-SMA Aravena, dan Yasmin sering disebut-disebut dalam obrolan yang tidak sengaja ia curi dengar. Jika para senior kelas XII saja menyukai Yasmin, lantas bagaimana dengan junior seangkatan Yasmin atau senior di kelas XI? Berapa banyak saingannya?

Yasmin menyadari hal itu, tetapi nampaknya Yasmin tidak mau memberi peluang kepada setiap cowok yang mendekatinya. Karena menurutnya, peluang itu hanya akan diberikan kepada cowok yang disukainya, unfortunately, cowok itu tidak berani mengambil peluang yang ada.

Cowok itu tidak percaya diri berada di sisi Yasmin.

Dan cowok itu adalah Jati. Dirinya sendiri.

He's just so lucky.

Beruntung sekaligus pengecut.

"Jangan khawatir." Jati meneguk segelas air putih.

Yasmin tidak perlu menjelaskan terlalu banyak tentang Bian, atau laki-laki lain. Karena selama ini, Yasmin-lah yang selalu paling terbuka tentang segalanya. Dalam pernikahan mereka, Yasmin seringkali menjadi pihak yang memiliki inisiatif untuk membawa hubungan mereka ke arah yang lebih baik. Dengan kelembutan sikapnya, Yasmin perlahan-lahan memasuki teritori yang selama ini dijaga oleh Jati untuk tidak tersentuh oleh perempuan lain selain satu sosok yang selama ini menjadi mimpi indah sekaligus mimpi buruknya. Yasmin dengan segala kesempurnaan yang melekat pada sosoknya kini menjadi sesuatu yang bisa tergapai oleh Jati, dan bukan lagi sesuatu yang selalu dihindarinya.

Dia tidak ingin menghindari Yasmin lagi. Karena dia hanya ingin membuka pintu hatinya seluas mungkin untuk Yasmin, membiarkannya masuk, memerangkapnya hingga tidak bisa keluar lagi.

Dia hanya ingin mengungkapkan perasaannya tanpa ragu, dan tanpa terhalang oleh apapun.

Mencintai dan menyayangi Yasmin dengan sepenuh hati.

***

_Yasmin_

"Akhirnyaaa bisa istirahat."

Yasmin merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Sehabis mandi dan berganti pakaian, tubuhnya terasa jauh lebih segar. Yasmin tidak sempat berendam di bathtub karena dia hanya ingin segera mandi dan beristirahat di tempat tidur. Terkadang, keasyikan berendam membuatnya malas keluar dari kamar mandi dan berakhir tertidur di dalam bathtub.

Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, Yasmin berjalan untuk mengambil ponselnya di atas nakas. Di tempat itu pula, tergeletak ponsel milik Jati. Diliriknya screen Fold milik Jati dengan minat tinggi untuk membukanya. Selama ini Yasmin tidak pernah sekalipun mengutak-atik ponsel Jati. Faktor utama adalah persoalan privasi. Ponsel ibarat bagian sensitif manusia, tidak semua orang boleh melihatnya. Alasan berikutnya, dia memang tidak pernah suka mencari informasi di ponsel orang lain. Jiwa stalking-nya kepada Jati sejak dulu hanya sebatas mencari akun media sosial Jati yang nyatanya tidak banyak memberi informasi berarti. Akun Facebook Jati semasa SMA dulu hanya berisi beberapa foto bersama teman sekolahnya dan foto-foto tempat wisata yang dikunjunginya semisal Universal Studios, traveling ke luar negeri bersama keluarga. Sampai sekarang pun, Jati hanya memiliki akun Instagram yang diprivasi dan hanya berisi foto-foto proyek Arsitek yang ditanganinya.

"Ah ngapain sih kepo sama ponselnya?" gumam Yasmin sambil meletakkan kembali Fold yang sempat dipegangnya. Dibanding dirinya yang merupakan pengguna iPhone sejak awal launching seri pertama, Jati lebih suka menggunakan ponsel android. Kecuali untuk gambar dan keperluan pekerjaan, Jati menggunakan iPad dan Macbook Pro.

Saat ini, Jati baru saja selesai mandi. Dari kamar mandi, Jati langsung masuk ke walk in closet dan berpakaian di sana. Setelah itu, dia menghampiri nakas untuk mengecek ponselnya.

"Kak, aku mau nyiapin pakaian yang mau dibawa buat liburan. Aku sekalian nyiapin pakaian kamu ya?"

"Jangan repot-repot, Yas. Nanti saya siapin sendiri."

"Tapi aku pengen nyiapin buat kamu." Yasmin menghampiri dan mengalungkan lengan di leher Jati. "Yaa? Boleh yaa?"

"Kalau itu mau kamu...," Jati memotong ucapannya, lantas memeluk pinggang Yasmin dengan satu tangan. "Apa saya bisa nolak?"

"Nggak bisa. Karena setiap permintaan aku, nggak akan bisa Kak Jati tolak."

"Very confident woman. But, fortunately, that's a truth. Saya nggak pernah bisa menolak setiap kamu meminta sesuatu."

"Alasannya apa?"

"Love."

"Hah? Ulangin."

"No relay, Lady."

"Nyebelin." Yasmin gemas sampai menginjak kaki Jati, meskipun pelan. "Say it, because you love me."

"Saya hanya berani bilang di saat-saat tertentu," goda Jati. Jati menunduk untuk menyentuhkan puncak hidungnya ke hidung Yasmin. "At special moment."

"Aku tunggu ya? Awas kalau nggak." Yasmin melepaskan rangkulan di leher Jati dan meraih kedua tangannya. Mereka saling menjalinkan jemari satu sama lain.

"I will."

Mereka bertatapan beberapa saat sebelum Yasmin maju dan menempelkan bibirnya ke bibir Jati. Hanya dalam waktu singkat, kini mereka saling mencecap satu sama lain dengan antusias.

"I love you soo sooo and so much, Kak."

Yasmin tidak pernah bosan mengucapkannya. Karena perasaan itu terlalu dalam dan tidak akan membuatnya lelah untuk terus mengungkapkannya.

" I know," ucap Jati singkat sebelum mencium bibirnya.

Kini mereka telah berpindah ke tempat tidur. Tubuh Yasmin berbaring dengan Jati yang masih menguasai kendali, menciumnya dengan kontrol yang terjaga. Mereka sekadar berciuman, tidak lebih dari itu.

Ketika ciuman itu berakhir, mereka terdiam, hanya saling menatap, sambil mengatur napas dan detak jantung hingga kembali normal.

Jati masih berada di atasnya, kedua siku menyangga bobot tubuhnya.

"You're so beautiful, Yasmin. The most beautiful woman i've ever met."

Hati Yasmin tersentuh setiapkali Jati mengucapkannya sambil menatap kedua matanya. Suaranya begitu lembut dan tulus.

"And you are the most handsome man i've ever met in my entire life ."

"Your eyes, your nose, your lips are so beautiful. And look at this flawless skin."

Mereka sama-sama saling memuji, berakhir senyum malu-malu di wajah Yasmin.

"Stop it!" pinta Yasmin sambil memalingkan wajah. "Aku malu."

Jati berguling ke samping, hingga kini mereka bisa saling menatap dengan lebih rileks.

Dipandanginya setiap bagian dari wajah Jati satu-persatu tanpa luput satupun. Ketampanan yang tidak pernah lekang meski dua belas tahun telah berlalu. Malah, mungkin jauh lebih tampan dari sejak pertama Yasmin melihatnya, dengan gurat-gurat kedewasaan, rahang yang semakin tegas, matanya yang semakin teduh dan bibir yang penuh candu serta senyum manis nan berwibawa.

Wajah yang menghiasi mimpi-mimpi indah. Wajah yang selalu terbayang di benak. Yang dulu membuatnya bersemangat ke sekolah setiap hari, serta membuatnya optimis mengejar cita-cita. Wajah itu yang ingin selalu dilihatnya dan diinginkannya untuk selalu hadir dalam nyata dan khayalnya.

Tuhan begitu baik, menghadirkan sosok seorang Jati Prapta Atmaja di dalam hidupnya.

"And this part is my most favorite of all." Jari telunjuk Yasmin mengusap permukaan bibir Jati.

"Alasannya?"

"Naughty, wild. Kalau udah beraksi, bahaya banget."

"Make you lose your control. Well, that's how my lips and my mouth works on you." Jati terdengar bangga saat mengucapkannya. "To make you lose your control and your sanity."

"Proud banget, ih. Nyebelin."

" I thought your most favorite is my fingers." Jati mulai menggodanya.

"Dangerous combo."

"Well, perfect combo. I take it as a compliment."

"Then prove it. Again."

"Well i'm gonna show you right now."

Jati menipiskan jarak di antara mereka dan mulai membuktikan perkataannya. Jantung Yasmin rasanya mendapat ujian berat dalam limabelas menit terakhir ini. Dia tidak ingin protes karena tentu saja dia menyukainya.

Sangat sangat menyukainya.

***

Part ini panjang banget, paasss 3000 kata. Semoga puas bacanya yaaa

PART 19 dan 20 akan dipost dalam waktu yang tidak ditentukan. Soalnya aku bakalan sibuk semingguan ini :D imajinasiku nggak bisa ditebak kapan datangnya kalo lagi sibuk sama kerjaan.

Aku hanya pengen bilang kalo cerita ini lebih Adult dan romantis dari cerita-cerita sebelumnya. Jadi jangan heran kalo aku lebih sering menaburkan scene-scene romantis. Aku juga berusaha membuat konflik yang tidak terlalu berat, karena aku suka pusing nulisnya :D capek nangis-nangis pas lagi nulis :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro