{ 1 4 | w o n d e r f u l n i g h t }

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prompt 14:
Buat karya dengan kalimat awal:
"Semua itu dimulai dengan sebuah kebohongan"

── * ‹ ° . . ° › * ──

Semua itu dimulai dengan sebuah ikebohongan.

"Aku biasa saja, mana mungkin aku cemburu, lagi pun aku tak menyukainya, kita cuma teman," ucapku pada Azalea waktu itu.

Sayangnya, tak lama setelah itu pemuda yang kubicarakan muncul menghampiri kami. Aku yakin pasti dia mendengar semuanya dan paham betul maksud kalimatku. Sayangnya, dia mengendus sebuah kebohongan dalam ucapanku—aku sangat yakin. Dia lebih pintar dariku, sehingga ia menghampiri kami seolah tak mendengar semua hal yang kami bicarakan sebelumnya.

Dia memang bersikap normal, sama seperti sebelum aku mengatakan hal itu, tapi lambat laun aku mulai merasakan ia menjaga jarak dariku. Intensitas bertemu kami semakin sedikit. Dia itu cowok yang aneh, dia akan menjauhi siapa pun yang kelihatan menyukainya. Dan aku tahu sebabnya, dia tidak ingin terikat sebuah status semu yang paling hanya akan bertahan tak lebih dari setahun, dan dia hanya ingin menjadi teman yang baik untuk semua orang.

Sejak saat itu aku dilanda gelisah. Sesungguhnya aku lelah pura-pura bersikap seolah aku tak memiliki perasaan khusus di depannya selama ini. Aku ingin menyuarakan perasaanku di hadapannya demi agar dia tahu bahwa aku menyukainya. Tapi, mendengar prinsipnya tersebut, aku kepingin mundur teratur dan mengunci rapat-rapat mulutku.

Kuharap aku bisa pergi ke masa lalu dan menampar pipiku saat itu agar tidak mengatakan kalimat yang membuat hubungan pertemanan kami merenggang tersebut. Bukan hanya dia yang menjauh, tapi entah kenapa aku terus menghindar tiap kali ada dia. Aku hanya ... merasa canggung, dan semua prasangka-prasangka itu memenuhi kepalaku.

Hari ini sesuatu yang cukup besar akan terjadi di hidupku, yaitu pergi ke prom night tahunan yang diadakan sekolah. Hendak berdansa dengan siapa? Nah, itu dia, aku pun tak tahu.

Kemarin ada sebuah acara perjodohan dadakan di kelas, sebetulnya aku ditawari untuk dicarikan pasangan dansa, tapi aku menolak dengan sebuah harapan cowok itu berinisiatif mengajakku berdansa tiba-tiba. Bodoh. Bisa-bisanya aku berpikir aku satu-satunya cewek yang dekat dengannya di sekolah ini.

Dia punya banyak teman, cowok, cewek, satu kelas, lain kelas, kakak kelas, adik kelas, bahkan guru bisa dihitung sebagai temannya. Sedangkan aku ... teman cewek saja bisa dihitung jari, apalagi cowok.

Aku hanya berdiri di sini, menyaksikan dengan miris pasangan muda-mudi berdansa dengan asyiknya sambil memakan entah cupcake keberapa. Dari yang berstatus pacaran sampai yang masih teman, berdansa seakan dunia milik berdua.

Ada sebuah penyesalan besar yang kurasakan saat ini. Kenapa aku menolak dijodohkan kemarin? Percuma saja aku mengelilingi seluruh penjuru mall untuk membeli gaun baru kemarin. Percuma saja belum lama ini aku pergi ke salon untuk merapikan rambutku. Percuma saja aku minta diajarkan dansa oleh Mama. Percuma aku belajar make up seminggu ini hanya untuk jadi patung selama tiga jam di antara semua pasangan dansa di ruangan ini. Buat apa aku datang?

Aku ... menyedihkan. Tiba-tiba dadaku sesak. Sebulir air mata keluar. Aku marah. Aku kecewa. Aku sedih. Kendati demikian, ada sekelumit perasaan hampa yang tersisa di lubuk hatiku. Aku tak mengerti apa mauku selama ini.

Aku berteriak dalam hati. Kalau bisa berteriak, aku akan melakukannya. Aku ingin menangis sepuasnya sampai air mataku habis. Aku tak ingin terus-terusan memendam rasa seperti ini, pun aku tak mau menyatakan perasaanku. Aku tak mau dia terang-terangan menunjukkan kedekatan dengan perempuan lain, tapi aku tidak memiliki hak apapun. Dia baik kepada semuanya, dan itu hal yang bagus, tak seharusnya aku merasa cemburu karena itu. Aku tak mungkin melarang seseorang untuk bersikap baik kecuali padaku, terutama aku bukan siapa-siapanya. Dia bersikap baik kepadaku bukan karena dia suka padaku, dia melakukannya karena memang itu yang harus seorang manusia lakukan kepada manusia lain.

Aku tak mampu menahan air mataku. Air mataku terlanjur mengalir. Aku menyekanya, lalu berlari ke luar aula dansa.

Kini, aku berdiri di balkon, menatap langit malam sekaligus menahan jatuhnya air mata lagi yang kutahu akan menghancurkan riasan wajahku. Lagu dansa yang romantis itu tetap mengalun sebagai musik latar, yang membuat hatiku semakin panas tanpa alasan.

Aku tak seharusnya merasa iri pada orang-orang yang berhasil menikmati malam ini. Aku menuntut terlalu banyak. Aku hanya mau berdansa dengan orang yang kucinta. Hanya itu yang aku kategorikan malam yang sempurna. Padahal, ada banyak cara lain untuk menjadikan malam ini malam yang spesial, yang akan kukenang selama seumur hidupku.

"Hey ...." Sebuah suara maskulin terdengar lirih di telingaku.

Aku agak terkejut. Aku takut itu hanya halusinasiku. Untuk beberapa detik aku berpikir, dan aku memilih untuk tak merespons.

"Kenapa sendirian di luar?" tanya suara itu lagi. Aku merasakan dia bergerak semakin dekat.

Aku menghela napas. "Menurutmu?" tanyaku masih jual mahal. Aku masih mendongak untuk menahan jatuhnya air mata, walau hanya sebentar lagi.

"Maaf ..."

Dia seharusnya tak meminta maaf untuk apapun yang terjadi padaku. Ini bukan salahnya. Aku hanya terlalu egois.

"Ini bukan salahmu ...." Aku berusaha mati-matian untuk berbicara dengan suara yang bergetar.

"Aku tak seharusnya membiarkan hal ini begitu lama,"

Aku meliriknya dengan ekor mataku. Hal apa?

"Aku seharusnya menghampirimu dari tadi,"

"Aku tak bermaksud membuatmu seperti ini."

"Aku hanya ingin bilang,"—ia menghela napas—"aku suka padamu dari awal kita bertemu. Saat kita satu sekolah, aku sempat menyukai beberapa perempuan, tetapi yang selalu ada di benakku hanya dirimu, aku tak membual, . Aku tak mengerti mengapa kau begitu spesial, sejak awal aku merasakan hal itu."

Mataku terbuka lebar. Rasa hangat menjalari seluruh tubuhku. Aku yakin pipiku yang sudah memakai blush on makin memerah. Aku merasa senang, aku merasa diriku terbang, tapi aku tetap ingin menangis.

Dia mendekat, kini ia berada tepat di sebelahku. Seolah-olah ada sesuatu yang mendobrak jantungku di dalam sana. Aku benar-benar tak mengerti harus bereaksi bagaimana, aku tak bisa berkata-kata.

"Aku tak berbakat menjadi lelaki romantis, maaf jika aku payah dalam merangkai kata-kata. Maaf jika ucapanku barusan terdengar seperti gombal murahan," ujarnya.

"Namun, jika kau masih ingin menangis, menangislah, kau sendiri yang bilang menangis dan merasa sedih itu normal." Tangannya diletakkan di atas tanganku. Aku baru tahu kalau ukuran tangan kami tak berbeda jauh—ya, tanganku memang besar.

Mataku makin berkaca-kaca. Pandanganku makin buram—bukan hanya karena aku lupa memakai lensa kontak.

"Aku tak mau merusak make up-ku," ujarku sambil menyeka setetes air mata yang hampir turun.

"Setelah ini kita akan berdansa semalaman dan tidak akan ada yang peduli." Aku merasakan sebuah tatapan hangat mengarah kepadaku.

Aku memberanikan diri untuk berdiri di depannya dan menatapnya. Oh tidak, Onyx dengan setelan jas adalah sebuah ancaman besar. Apalagi dengan rambut yang disisir rapi dan senyumannya yang ... ah, aku meleleh. Aku yang tersipu malu mengarahkan pandanganku ke bawah, tetapi semakin aku menunduk semakin mudah air mataku untuk turun. Aku berakhir menangis di depannya. Tentu saja aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan.

Dan saat ia memelukku, aku merasa tubuhku panas. Aku ingin melayang di angkasa. Wajahku terasa sangat panas.

Saat kurasa aku telah meluapkan emosiku, aku melepaskan pelukannya.

"Ayo masuk ke dalam, ini baru jam sembilan," ucapnya sambil melirik arloji mahal di tangan kanannya.

"Tunggu dulu, wajahku masih jelek," aku menyeka air mataku.

"Memangnya kapan tidak?" Baru tadi menjadi romantis, sekarang sudah menyebalkan. Aku menatapnya sinis.

Ia terkekeh. "Bercanda, kau selalu cantik." Orang ini memang pandai sekali membuatku tersipu.

"Hm, mau tahu satu hal sebelum masuk?" tanyaku.

"Apa?" ia bertanya menuntut.

"Aku memang merasa kau berbeda sejak awal kita bertemu. Kau tahu aku bukanlah orang yang mudah dekat dengan orang lain. Namun, dalam perjalanan singkat itu aku mampu mengobrol dan tertawa bersamamu. Aku minta maaf karena telah egois, tak seharusnya aku melarangmu menjadi orang baik," jelasku panjang lebar. Senyumnya melebar, begitu juga dengan senyumku yang tak tertahan lagi.

"Baiklah, ayo nikmati sisa malam ini," katanya.

Kami berdua masuk ke dalam saat musik romantis itu masih diputar. Terlihat beberapa pasangan yang ke pinggir, juga beberapa orang yang kelelahan dan memilih bercengkrama sejenak dengan yang lainnya. Juga terlihat beberapa pasangan yang masih semangat berdansa. Di masing-masing mata mereka terdapat gejolak cinta dan letupan antusias. Tak peduli apa mereka bisa berdansa atau tidak.

Kini saatnya aku untuk merasakan apa yang belum pernah kurasakan.

Saat telapak tangan kami mulai bertautan, aku terhenti sejenak. Aku menatap wajahnya yang tak henti-hentinya tersenyum. Aku pun tertawa karena salah tingkah.

Kami mulai berdansa. Awalnya aku belum menikmatinya, lama-lama aku merasa lantai dansa hanya milik berdua. Hatiku merasa lega karena telah mengutarakan perasaanku, juga meluapkan emosiku. Malam ini adalah malam terbaik.

Malam ini aku belajar, bahwa mungkin sesuatu tak terlihat seperti yang kita inginkan, tetapi kebahagiaan masih bisa datang dengan cara yang lain. Kebahagiaan tak akan datang apabila seseorang terlalu mengharapkan sesuatu, karena harapan belum tentu bisa menjadi kenyataan—dan hal itu akan berubah menjadi kekecewaan. Justru kebahagiaan akan datang jika kita tidak terlalu berharap.

Hari ini akan menjadi sejarah bagi kisah cintaku. Ini kali pertama aku bisa mengungkapkan perasaanku, juga seseorang mengungkapkan perasaan kepadaku. Meskipun begitu, aku tak mengharapkan status pacaran. Menurutku, status itu tidak penting. Yang penting kami berdua merasa nyaman dengan masing-masing, itu sudah cukup.

── * ‹ ° . . ° › * ──

Hari ini agak panjang. Anggaplah edisi spesial Valentine. Karakternya adalah tokoh-tokoh di sebuah cerita yang belum pernah aku publish. Soon sepertinya aku unpublish chapter ini, karena kayaknya bisa kepake buat ceritanya.

Minggu, 14 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro