{ 3 | m e m o r i e s }

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prompt 3:
Buat karya yang wajib memiliki kata-kata ini di dalamnya:
Dunia bawah tanah
Pesta Teh
Perhiasan yang hilang

── * ‹ ° . . ° › * ──

Tadinya hari ini aku tak niat ke luar rumah. Hanya saja Karin, salah satu rekan kerjaku, mengundangku ke pesta teh kecil-kecilan di rumahnya. Hanya aku, dia, dan salah satu rekan kerja kami yang lain. Alasan aku merelakan rencana mendekam diri di rumah selama hari Sabtu adalah karena Karin bilang ia ingin curhat, dan kupikir ngobrol-ngobrol kecil di teras rumahnya sambil ditemani secangkir teh adalah ide brilian untuk melepaskan penat fisik dan otak selama seminggu ini.

It was a great day, sebelum akhirnya aku musti terjebak di dunia bawah tanah ini.

Sepulang dari rumah Karin, aku hendak memesan taksi online. Setelah mendapatkan taksinya, aku dan Pak Sopir janjian di dekat halte yang tak jauh dari perumahan tersebut. Belum sempat taksi itu datang, aku merasa ada yang menarik tanganku. Tak sampai aku melihatnya, orang itu sudah mengambil gelangku, gelang emas yang kubeli sendiri tahun lalu, dikumpulkan dari sisa-sisa gaji bulanan.

Karena sosok itu masih berjarak dua meter dariku, aku tak ragu untuk mengejar. Aku terpaksa meng-cancel taksiku—aku terus terang bilang aku kecopetan—sambil berharap Bapak Sopir yang baik hati itu mendapat penumpang pengganti yang jauh lebih bertanggung jawab dariku.

Singkat cerita, aku mengikuti pencuri itu sampai ke stasiun MRT, dan setelah bajingan itu melebur dengan kerumunan, aku kehilangan jejaknya, hebat sekali. Aku jalan lontang-lantung, kurasa tenagaku tak cukup untuk lari lagi, tapi aku ingin perhiasan yang hilang itu kembali. Kalau ingin mengejar orang itu pun aku tak tahu harus berlari ke mana.

Maka akhirnya kutelepon Karin dan bilang, "RIN, GELANG GUE DIAMBIL ORANG!"

Beberapa orang yang baru saja mendengar pernyataanku yang diucapkan lantang-lantang tersebut menoleh, memasang ekspresi kaget sekaligus bingung. Karin tentu saja kaget mendengarnya. Dia langsung bertanya kronologis, tempat kejadiannya, dan lain-lain. Lalu aku mengutarakan segala kebingunganku apa aku harus tetap mengejarnya atau lapor ke polisi atau bagaimana. Karena Karin juga bingung, dia hanya bisa mendengarkan segala kegamanganku di seberang sana.

Lalu kini, aku lebih tak mengerti lagi apa yang harus kulakukan. Aku cuma bisa duduk di tempat para penumpang menunggu sambil melihat orang-orang dengan segala kepentingan mereka dan kereta-kereta berlalu lalang. Jika kau bingung, aku juga beli tiket kereta hanya untuk sampai ke bawah sini. Untuk apa? Tak tahu, pencuri itu lebih cerdik dalam menyelinap daripada aku. Benakku sedang kacau, ada marah, sedih, putus asa, sesal, pokoknya segala hal yang membuatku ingin menjambak rambut sambil teriak dan berderai air mata.

"Deva." Sebuah suara maskulin membuyarkan pikiran kacauku untuk sesaat. Aku mencari keberadaan pemilik suara tersebut yang memanggil namaku.

Saat aku menoleh ke kiri, seorang pria berambut klimis berkata, "Eh, bener 'kan ya?" Suara itu berasal dari pria yang tubuhnya semerbak wangi parfum cowok di sebelahku.

"Iya, Darren bukan?" tanyaku balik.

Dulu Darren adalah partner menyontekku saat SMA. Tiap kali ada ujian, entah itu tengah atau akhir semester, dia selalu jadi teman sebangkuku. Bukan keinginan kami sendiri, melainkan ditentukan oleh absen.

Ia mengangguk sekali. "Lagi apa, Dev?"

Aku berkata terus terang, "Itu, gue kecopetan."

Raut wajahnya berubah. "Loh, terus? Apa yang dicopet?"

"Gelang gue ...," lirihku. Rasa sesal dan sedih kembali bersemayam di hatiku, kapan lagi aku bisa beli perhiasan dengan uang sendiri?

Sebelah alisnya terlihat sedikit mengkerut. "Aneh, kemaren temen gue juga kecopetan, di mana?"

Sekalian saja aku menceritakan kronologi hilangnya perhiasanku itu.

Kurasa tak banyak hal yang berubah darinya selain kumis dan jenggot tipis yang menghiasi dagunya dan tubuhnya yang lebih berisi. Aku masih dapat mengenalinya dengan baik. Ah, mungkin gaya berpakaiannya juga jadi lebih rapi. Kemeja lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu mengilap, sangat necis.

Sedikit pengakuan, dia adalah cowok pertama yang berhasil memikat hatiku. Aku pernah begitu tergila-gila dengan bulu mata lentik dan alis tebalnya. Perasaan itu bertahan selama kurang lebih satu semester, sebelum akhirnya aku naksir kakak kelas. Yah, meskipun begitu, kuakui cinta pertama lebih berkesan.

"Eh, ngomong-ngomong lo mau ke mana, kok rapi banget?" Aku memerhatikan penampilannya dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Baru pulang kerja, biasa, kalo Sabtu musti cepet-cepet biar bisa makan masakan istri pas masih anget," ujarnya diiringi tawa.

Aku ikut tertawa, tawa yang kukeluarkan adalah tawa miris.

Baru saja tadi aku terbayang-bayang kenangan manis saat aku masih dibuat mabuk oleh senyumnya yang kuanggap manis pada waktu itu. Baru saja aku kembali mengingat betapa mulianya saat ia rela berbagi sontekan denganku. Perasaanku memang sudah biasa saja terhadapnya, tapi rasanya saat mengetahui bahwa ia sudah menjadi suami orang ... ah, mantap.

── * ‹ ° . . ° › * ──

Oke, sudah memasuki hari ketiga dan syukurlah masih bisa ku-handle dengan—nggak begitu—baik. Tapi, at least masih masuk tema, ya 'kan?

Rabu, 3 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro