{ 6 | m o n o t o n }

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prompt 6:
Tuliskan sebuah cerita dengan menggunakan gabungan kata dan genre tersebut. Diharapkan yang diambil adalah kata dan genre yang muncul di percobaan pertama.

── * ‹ ° . . ° › * ──

Ilham hanyalah satu dari sekian belas siswa lelaki di kelasnya. Umurnya enam belas tahun, duduk di kelas sebelas SMA. Rambutnya hitam cepak dengan sentuhan belah tengah. Iris matanya berwarna cokelat tua. Kulitnya sawo matang. Tingginya rata-rata. Badannya ceking. Tampangnya juga pas-pasan.

Tiap pagi dia bangun, mandi ke sekolah, pulang, makan, tidur, minta sontekan, lalu tidur, ulangi di keesokan harinya.

Tinggal di sebuah keluarga kecil yang harmonis adalah sebuah anugerah. Meskipun bukan anak kongromerat, setidaknya ia cukup. Hanya ada satu ayah, satu ibu, dan satu  anak. Kehidupannya jauh dari gunjingan tetangga, prahara rumah tangga, juga kejaran wanita.

Goals banget, kalau kata Ilham sendiri.

Harta, tahta, wanita, semua hal itu tak ia pedulikan selama masih bisa duduk berlunjur di atas sofa ditemani sepiring gorengan hangat sambil cekikikan menonton sitkom favoritnya.

Suatu hari, semua itu berubah, Solihin, sepupunya, datang ke rumahnya. Sementara Solihin asyik cerita soal teman-teman dan kegiatannya selama di kampung, Ilham cuma bisa mengangguk-angguk seperti burung kakatua.

Waktu giliran Solihin yang bertanya tentang kehidupan Ilham, Ilham cuma bisa bilang, "Ya gitu-gitu aja."

Ilham ingat betul apa yang Solihin bilang setelah itu, "Kamu kebanyakan di rumah, Ham, makanya hidupmu datar banget."

Gara-gara petuah sepupunya itu, Ilham jadi kepikiran. Hidup yang ia pikir harmonis ternyata dianggap membosankan oleh orang lain.

Tiap hari ia kepikiran soal ucapan Solihin, berbagai macam hal ia pikirkan supaya hidupnya tidak monoton-monoton amat.

Lalu ia ingat ucapan salah satu temannya—yang tak penting-penting amat sehingga tak perlu disebut namanya, "Kalo nggak nakal nggak asik, Bro."

Lantas ia mencoba menjadi nakal. Usahanya untuk menjadi nakal itu mulai dirintis kecil-kecilan. Awalnya dia mulai menyelundupkan minyak rambut, sisir—yang ia sebut obat ganteng, serta parfum-parfum menyengat di tukang parfum curah ke tas sekolahnya.

Kuning ceria tak lagi menjadi warna favoritnya, hitam sang kegelapan telah memikat hatinya. Otomatis, Spongebob telah dicoret dari daftar idolanya. Celana kolor Doraemon yang menjadi temannya sejak masa-masa mengiler di bantal tiap malam sudah ia sembunyikan di bagian terdalam lemarinya—katanya sih buat kenang-kenangan kalau sudah sukses jadi anak nakal nanti.

Level nakalnya meningkat sebulan kemudian, dia minta dibelikan motor sendiri. Alih-alih murka, bapak berkumis jarang-jarang itu malah mengiakan keinginan anaknya tersebut sebab selama ini Ilham tak pernah merepotkannya.

Namun, selama motor pribadinya belum sampai, dia masih menggunakan motor ungu yang sering ibunya pakai untuk mengantar pesanan tetangga.

Tibalah malam ini, di mana puncak kenakalan yang selama ini ia idam-idamkan, sesuatu yang ia rencanakan sejak sebulan lalu saat baru merintis karir sebagai pentolan sekolah.

Tepat pukul sembilan malam—waktu di mana Ilham mulai menarik selimut biasanya—Ilham mengendap-endap ke luar rumah. Kunci bergantungan boneka Hello Kitty sudah ada di genggamannya. Perlahan, motor itu ia keluarkan dari halaman rumah.

Dan kini, puncak kenakalan seorang Ilham yang kini bercita-cita sebagai pentolan sekolah, akan dimulai. Langsung saja ia tancapkan gas. Motor matic warna ungu mengilap itu dengan gagah agak kemayu membelah jalanan gang.

Kencangnya angin malam masih kurang tangguh untuk mencerai-beraikan jambul Ilham yang sudah diminyaki berkali-kali. Kaus kebesarannya—secara harfiah—membuat tubuh cekingnya kelihatan seperti ditiup angin.

Di—hampir—jalan raya, Ilham merasa tersaingi oleh orang di sebelahnya. Mendadak, ia merasa lebih cupu dari dirinya yang masih berambut belah tengah dulu.

Ilham menganggap pemuda di sebelahnya adalah definisi nakal yang sesungguhnya. Wangi parfum curahnya lebih semerbak dari Ilham. Knalpotnya yang berisik kini terdengar merdu di telinga Ilham. Rambutnya yang dicat pirang benar-benar anti-badai yang sesungguhnya. Kaus hitam kebesaran, kalung rantai, anting, celana robek-robek, ugh.

Jikalau tidak dalam kondisi mengendarai motor, ia pasti akan bertanya, "Rahasianya apa, sih?"

Ah, Ilham baru ingat petuah teman seperjuangannya yang namanya masih misterius, nakal itu harus totalitas.

"Bro!" Pemuda bau menyan itu tak menengok.

"Bro!" Ilham masih kukuh.

"Tanya dong, itu outfit lu beli di mana?"

Jamet kelas menengah itu malah makin menaikkan laju motornya, lelaki itu cekikikan sendirian. Motor berisiknya makin melesat meninggalkan motor feminin yang dikendarai Ilham. Namun, lelaki berwajah pas-pasan itu punya jiwa pejuang tangguh. Ia juga menaikkan lajunya meski tahu motornya tak mungkin menyejajari motor cungkring itu.

Semakin Ilham mendekat, cowok itu malah atraksi dengan motornya.

Seolah dia pawang motor yang sudah khatam membuat Maut terpesona dengan atraksinya, ia liuk-liukkan badan motornya. Meskipun di jalanan sepi tentu saja hal itu amat berbahaya. Kekaguman Ilham berubah menjadi rasa takut.

"ASTAGFIRULLAH!" Syukurlah jiwa-jiwa agamis masih tersisa secuil meski cita-citanya sudah bobrok.

Mendengar seruan histeris dari Ilham, si jamet itu malah tertawa makin lebar. Aksinya makin menjadi ketika kedua kakinya ia naikkan ke atas dan tangannya tak lagi menggenggam setang.

Teriakan feminin Ilham makin menggelegar. Jiwa sang pemilik motor ungu metalik mungkin telah merasuki tubuhnya.

Puas mendengar suara melengking dari anak setengah nakal di belakangnya, jamet itu berkata, "Atraksi nggak atraksi ujung-ujungnya gue mati juga,"

"Ngelanggar apa enggak ujung-ujungnya kalo mati ya mati aja,"

"Hidup-mati 'kan di tangan Tuhan." Dengan bangga ia menyuarakan pidato singkat itu di atas motor jeleknya. Semua kalimat itu membuat Ilham jadi ilfeel dan urung daftar menjadi fans pertamanya. Padahal dia sudah membuat list nama fanbase yang akan dia usulkan pada jamet di depannya itu.

Seketika otak Ilham kembali berfungsi normal.

Ia teringat kata-kata bapaknya, "Pakai helm nggak pakai helm memang kalau lagi nggak mujur ya tetep aja kepala bocor, tapi 'kan udah dipikirin alat biar meminimalisir bocor kepala." Ilham ingat betul waktu itu bapaknya sedang baca koran di teras pagi-pagi, masih pakai kaus kutang dan sarung gajah telentang—merk disensor karena bapaknya Ilham belum jadi brand ambassador—ditemani secangkir kopi hitam sachet-an.

"Astagfirullah, apa yang hamba lakukan selama ini?" Dengan air mata menggenang, Ilham bertutur bak orang dapat hidayah di FTV religi.

Lalu ia melanjutkan sesi siraman rohani di tengah jalanan sepi, "Ya Allah, sesungguhnya hamba sudah punya segalanya, kebahagiaan, walau sederhana, tetapi kenapa ...? Sepertinya ... manusia memang tak pernah puas akan segala yang mereka miliki .... Astagfirullahaladzim ...." 

Di tengah-tengah sesi siraman rohani, Ilham mendengar suara teriakan yang satu oktaf lebih menggelegar dari teriakannya tadi.

Seorang wanita menyeberang jalan seraya tersedu-sedu berjarak hanya sekitar satu meter dari motor si jamet.

"Yang, aku bisa jelasin." Seorang Pria berkemeja ikut menyeberang mengejar wanita itu.

"Nggak! Nggak ada lagi yang bisa kamu jelasin! Cukup! Cukupphh, Mass!" ujarnya dramatis. Ilham seolah menonton FTV kesukaan ibunya secara live.

Kalau ibunya ada di sini dia pasti berseru semangat, "Udah, tinggalin aja, Neng! Nggak pantes laki kayak gitu! Tapi jangan di tengah jalan juga!"

Oh, tadi motornya sudah berjarak satu meter, ya?

Sekarang jaraknya makin berkurang. Setengah meter, sepuluh sentimeter, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, dan ...

"AAAAA!!!!!" Alih-alih minggir, sang wanita malah berdiri menghadap motor yang jaraknya tinggal satu setengah sentimeter darinya.

Selagi motor itu mendekat, si jamet dan wanita itu adu teriakan menggelegar. Jika Ilham tak menghentikan laju kendaraannya demi menutup lubang telinga, niscaya gendang telinganya akan pecah.

...

...

...

Satu.

Duar!

Meskipun nggak selebay itu, motor kurang gizi si jamet menyerempet lengan sang wanita yang sedang termehek-mehek itu. Wanita itu langsung mendesah dramatis.

"Kamu nggak papa?" Pasangan prianya—mungkin—berlari mendekat untuk mengecek luka di tubuhnya.

Dan, mari kita sudahi cerita alay ini. Itulah akhir dari kenakalan Ilham. Kejadian ribut di malam itu membuat Ilham mendarat di tukang tambal ban. Karena terlalu dramatis saat mengerem, bannya bocor satu. Kabarnya, wanita yang punya masalah dengan pasangannya itu dibawa oleh ambulans ke rumah sakit dan mendapat perban di kepala, meskipun setahu Ilham cuma baret di tangan.

Malam yang panjang. Setelah itu Ilham berniat menebus semua kesalahannya. Dia akan kembali ke jalan yang benar. Hidup dalam harmoni, menjauh dari drama-drama kehidupan. Kembali ke kehidupannya yang monoton. Setidaknya, sitkom favoritnya masih tayang, gorengan di depan gangnya masih berjualan, dan celana boxer Doraemon-nya masih ada. Apalagi yang ia butuhkan. Itu sudah cukup membuatnya bahagia untuk saat ini.

Tak ada lagi cita-cita mulia sebagai pentolan sekolah jika hal itu membuatnya bertemu dengan pelanggar lalu lintas yang bisa saja mengancam nyawanya.

Jadi, pesan moral dari cerita ini adalah patuhi lalu lintas, pakai helm, dan jangan atraksi di atas motor.

── * ‹ ° . . ° › * ──

Oke, cerita ini kelewat absurd, maafkan. Saking ogahnya liat kelalayan diri sendiri tadi malam sampai lupa kasih notes dan tanggalan, pokoknya selesai, publish aja.

Anyway, ini termasuk drama-comedy ngga ya? Karena di otakku pas denger drama-comedy cuma FTV :,)

Iya, itu lawak.

Oh ya, maaf kalo garing atau agak maksa, buat yang ketawa, love you :,*

Sabtu, 6 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro