01 part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana hening menyelimuti kampus ternama di kota ini. Tidak ada sedikitpun keributan yang keluar. Tampak beberapa mahasiswa fokus dalam menyelesaikan lembar demi lembar esai milik mereka. Embusan angin yang menerpa, menemani bagaimana tenangnya siang hari itu. Gemerisik dedaunan, jarum jam yang berdetik, kicauan burung, decakan cicak, suara yang seharusnya tidak bisa mereka rasakan dalam keadaan normal, kini terdengar begitu jelas. Hingga bunyi lonceng terdengar,
menandakan berakhirnya waktu bagi mereka untuk mengerjakan ujian.

“Akhirnya selesai juga!”

“Perjuangan yang berat. Berapa kira-kira IPK ku nanti?"

“Ayo karaokean! Pokoknya harus malam ini!”

“Oke, ke rumahku saja kalau begitu. Bakar-bakar sate sapi kita.”

“Woeh, mantap barbekuan!”

“Arrgghh! Semua kerja kerasku!”

“Sial, udah mau skripsi aja kita … hmm, apa?”

Hawa riang yang sejenak keluar berubah kelam ketika ada yang mengatakan kalimat  kutukan itu. Skripsi menerjang tak kenal pandang bulu. Apapun dan bagaimanapun
jadinya selalu sukses membuat air mata mengalir dengan deras. Tawa dan canda, suka dan duka, mungkin masih lebih banyak duka daripada suka. Sebuah eksistensi yang sangat ditakuti bagi para mahasiswa semester tua. Segala cara akan mereka lakukan. Mengais tanah, muntah darah, menangis hingga air mata tak lagi sanggup mengalir,
berlari mengejar dosen yang menghilang bagai ninja, tanpa kenal lelah hingga waktu yang ditentukan berakhir.

Perlahan para mahasiswa keluar dari ruang kelas masing-masing. Koridor, gazebo, lapangan, taman, yang sedari tadi kosong kini dipenuhi berbagai macam tipe mahasiswa. Meski matahari sudah mulai lelah berdiri dengan tegap, mereka masih
belum beranjak meninggalkan area kampus. Padahal kebanyakan dari mereka hanya membahas omong kosong, benar-benar seperti tak ada beban di pundaknya.

Panji terus saja berjalan tak mempedulikan segala di sekitarnya. Ia hanya terpikir satu tempat, coffe shop tempat dia berjanji dengan teman-temannya. Meski banyak
mahasiswi tengah membicarakan dirinya dari belakang. Panji tak menggubris sama sekali perkataan mereka.

Desas-desus buruk selalu menghampiri Panji. Banyak dari mereka yang menaruh dendam padanya karena kalah dalam permainan mereka sendiri. Percobaan penyabotasean, penipuan, hingga hal-hal yang terlampau ekstrim, semua mereka lakukan demi meraih nilai atas kepuasan pribadi belaka. Namun apalah arti dari itu
semua jika karakter mereka akhirnya membuat resah sekitar. Maka dari itu usaha mereka harus berakhir sia-sia jika sudah terendus oleh kelompok yang didirikan oleh Panji. Sebuah kelompok relawan yang membantu para dosen dan rektor untuk
memperbaiki moral para mahasiswa dari kampus tersebut.

Bukan hal yang mudah untuk melakukan pekerjaan itu. Itulah sebab mengapa Panji selalu dinilai sebagai penghambat bagi mereka. Tak heran mulai dari tahun pertama hingga para alumni yang sempat bertemu dengan Panji, akan selalu menaruh tatapan dendam, baik secara sembunyi atau terang-terangan mengolok Panji.

Panji segera duduk di sofa pojok tempat temannya berkumpul begitu sampai di coffe shop. Tanpa basa-basi dipukulnya keras pundak orang yang duduk di sebelah kirinya.

“Jadi ada urusan apa kali ini, Rud?”

“Ugh! Kita-kita mau ke Semeru. Ikutan gak, Nom?” Rudi mengangguk mantap menatap mata Panji.

“Yaelah, kirain ada apaan. Semeru, kah?”

“Kau wajib ikut, Nom!” timpal Meidi kembaran Rudi.

“Kita juga udah ngajak Renata dan katanya dia mau ikut. Kalo ada Renata kan kita juga bisa ketemu kakaknya, si Andewi. Ya gak, Rud?”

“Yep! Makanya kau harus ikut Nom!”

“Tunggu, apa aku gak salah dengar? Gila kalian, sampai harus ada Renata,” sanggah Panji keras.

“Kan mumpung mereka belum pulang ke Australia. Ada Ian sama Penggala juga. Jadi kau gak perlu khawatir masalah keamanan cewek-cewek, haha!”

“Ditambah kita berdua kalau kau mau ikut, jadi nanti kita berangkat muncak bertujuh.”

“Kapan berangkat?”

“Hari Senin besok, tiga hari lagi,” ucap si kembar dengan mantap.

“Lagipula aku menemukan informasi menarik terkait apa yang akan terjadi nanti, fufufu.”

“Apa itu?”

“Komet akan melintas, diikuti dengan hujan meteor. Menarik bukan? Untuk pecinta langit sepertimu, ini adalah situasi langka. Dan juga, mereka mengatakan kalau lintasan objek tersebut bisa dilihat dari Semeru. Jadi, jangan buat Renata sebagai alasan supaya kau tak ikut, ups!”

“YA! YA! ITU! Mau sampai kapan kau dan Renata akan terus seperti ini? Ah, andai dia memilih di antara kami berdua, pasti situasinya akan tetap lancar seperti dulu, hahaha! Tapi sayangnya malah kau yang dipilih dari kita bertiga, kenapa harus kau coba, Nom?”

Panji terdiam cukup lama setelah mendengar percakapan dari mereka berdua, sampai datang sebuah tepukan ringan di pundaknya bersamaan dengan bisikan lembut menembus gendang telinganya.

“Lama tak jumpa, Pan-ji A-nom-ku.”

Sosok itu adalah perempuan yang mereka sebut Andewi beberapa saat lalu. Pancaran cahaya seakan mengelilingi pesonanya. Rambut panjang bergelombangnya yang
tergerai, semakin menambahkan kegelisahan bagi siapa saja di sekitarnya, termasuk Panji.

“So-so-sore Kak,” balas Panji terbata-bata.

Melihat hal itu terulang kembali, sontak membuat si kembar dan Andewi tertawa terbahak-bahak. Pengunjung lain di kafe itu merasa terganggu dengan gelak tawa mereka bertiga yang cukup kencang.

“Sudah lama aku tak melihat si Anom ini tersipu-sipu malu begitu, Hahaha.”

“Benar juga, sudah dua tahun sejak Kak Andewi lulus.”

Waktu itu memang sedikit berharga. Ketika masa-masa pembentukan kelompok tersebut, walau banyak yang menentang mereka. Salah satunya adalah Andewi ini, klien pertama mereka. Seberapa jauh manusia akan bertindak dan berpikir untuk melindungi apa yang mereka yakini. Tak ada yang tahu hal itu.

“Di mana Renata?” tanya Meidi ditujukan pada Andewi.

“Aku kira dia sudah sampai duluan, makanya tadi aku bingung kenapa hanya kalian bertiga di sini,” jawab Andewi kebingungan. “Mungkin sebentar lagi dia sampai. Hey Nom, kenapa kamu diam saja? Kan sudah ada kakak di sini yang akan terus
memperhatikanmu,” lanjutnya menggoda Panji semakin intens, dengan mulutnya yang sekarang tepat di samping telinga Panji. Tentu saja serangan seperti itu tepat mengenai sasaran. Wajah Panji sontak memerah layaknya tomat yang siap panen.

“Aku pergi!!!”

“EH! Mau kemana?”

“Bukan urusanmu!!”

Panji secara spontan bangkit dari posisi duduknya dan mulai melangkah pergi. Ketika Andewi hendak mencegahnya, tangan kanan Rudi yang bebas segera meraih tangan perempuan itu. Dia menahannya dengan maksud supaya perempuan itu tak lagi mengejar Panji. Andewi tak lagi pergi dan segera menghempaskan dirinya tepat di samping Rudi, hingga sisi tubuh mereka saling berhimpitan.

“Jadi kau tak rela Anom kesayanganmu aku rebut? Auh, so sweet~~”

“Hentikanlah, candaan itu sudah tak lucu lagi.”

Menanggapi itu, Andewi hanya tertawa lebar. Sampai dia benar-benar selesai tertawa dengan puas, sifat sejatinya keluar. Wajah yang tadi tampak mempesona kini terselimuti aura suram.

“Jangan bercanda! Kalian masih punya muka rupanya, haha. Kalian mengundangku mendaki? Lelucon macam apa itu? Setelah apa yang kalian semua lakukan, masih berani mengundangku? Bercanda juga ada batasnya.”

Kini giliran Meidi yang tertawa. Membuka sebuah catatan dari aplikasi di handphonenya, dia membacakan hal itu. Raut wajah Andewi segera memucat, dan sekali lagi, mau tak mau harga dirinya kembali jatuh di hadapan si kembar.

Panji segera bergegas kembali ke area kampus tempat dia memarkirkan sepeda motornya. Bisa dibilang tempat yang dia kunjungi barusan, cukup menguras kantong walau hanya dengan segelas kopi. Mungkin karena tempat itu ada di kawasan Mall, jadi pajaknya cukup membuat hati Panji teriris.

Sial, kenapa juga aku harus terpikir masalah itu? Itu sudah bukan lagi masalah yang bisa kutangani seperti ini. Kenapa juga harus dia? Apa salahku kawan?

Pikirannya saling berkecamuk. Tidak ada benar atau salah dari apa yang dia putuskan waktu itu. Dia hanya murni menjadi relawan bersama si kembar, karena mereka sama-sama memiliki pengalaman yang pahit dalam bersosialisasi. Itulah tujuan grup mereka tercipta, untuk saling mengembangkan ke-efektifisan dari cara mereka bersosialisasi. Namun hal itu menjadi salah arti di mata para dosen karena sedikit kesalah pahaman. Dan akhirnya situasi-situasi tak terduga datang menghampiri mereka bertiga. Hingga yang tersisa hanyalah rasa muak dan ingin muntah jika mereka terus memikirkan hal tersebut.

Langkah kakinya yang panjang terus menyusuri tiap inci dari jalanan. Matanya terus memandang dengan awas meski dia tak menginginkannya. Semua terjadi begitu saja hingga menjadi sebuah kebiasaan. Entah dimanapun dia berada, pandangannya tidak ada di tempat tersebut. Hampir tiap detil yang tertangkap di matanya akan menjadi informasi yang berguna suatu hari nanti. Seperti itu Panji meyakininya.

Begitu tiba, matanya tanpa sadar menangkap sosok yang terus dibicarakan oleh si kembar tadi di kafe. Perempuan itu menatapnya sinis ketika mata mereka secara tak
sengaja bertemu. Penampilannya berbanding 180 derajat dengan kakaknya. Jika kakaknya adalah orang yang  fancy, easygoing, dan fashionable. Maka perempuan ini adalah tipe yang hampir selalu ada di bawah bayangan. Dengan celana jeans yang entah itu memang sengaja dirobek atau memang sudah seperti itu dari sananya, juga jaket yang nampak jauh lebih besar dari dirinya, pasti membuat siapapun yang
melihat akan mengangguk dengan yakin, dandanannya norak banget. Tetapi meski dia berpenampilan seperti itu, pesona tersembunyi yang dia miliki tak kalah dengan
pesona kakaknya.

“Mereka sudah ada di sana.”

Hanya itu yang terucap dari Panji, tanpa menoleh atau memperhatikan lebih jauh perempuan tersebut.

“Tch!”

Dan hanya itu balasan yang Panji terima.

********** Paradox Spiral **********

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro