01 part 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Eh, jadi kamu mau ke Semeru? Hmm, titip bunga Edelweiss, ya?!”

Suara halus Bu Sekar memecahkan keheningan di meja makan. Walaupun beliau adalah pemilik villa ini, Bu Sekar selalu membantu para penjaga villa di hari-hari tertentu. Sama seperti akhir pekan ini, alih-alih datang karena bosan di rumahnya, Bu Sekar hadir hanya untuk menyambut Panji. Setiap penjaga tahu kebiasaan Bu Sekar, jadi tak heran kalau mereka bisa menangkap arti lain dari perkataan majikannya, apalagi jika sudah berurusan dengan Panji.

“Iya Tante, sebenarnya malas untukku pergi, tapi barusan aku lihat di internet ada berita kalau lima hari lagi akan ada komet yang melintas. Jika prediksi ku benar, mungkin aku bisa melihatnya sebelum sampai di puncak.”

“Selasa besok kira-kira, ya? Hati-hati aja lah, jangan sampai sakit nanti!”

“Memangnya Tante bicara sama siapa? Hahaha,” Panji terdiam sebentar. “Tante, haruskah aku pergi? Ada dia disana.”

“Siapa? Renata? Bukannya itu bagus, lagipula memang sudah seperti itu kan harusnya, kalian berdua.”

“Renata sih iya, tapi aku tak suka kakaknya.”

“Gara-gara ‘itu’? Santai saja lah, Tante di sini mendukungmu, ah tidak, bukan hanya Tante, Nina juga.”

Teringat kembali sebuah kepingan puzzle yang lama terbengkalai. Sudah lama Panji tak mendengar nama itu disebut oleh Bu Sekar. Bukan karena lupa, tapi menyebutkan nama itu sedikit menyesakkan dada. Anak semata wayangnya yang harus terbaring di tempat tidur selama hampir lima tahun ini. Kalau ada orang yang sanggup tertawa setelah mendengar hal itu, mungkin hawa kemanusiaannya patut dipertanyakan.

“Ngomong-ngomong, komet apa memang yang akan melintas nanti?”

Salah seorang tamu yang tak sengaja mendengar pembicaraan mereka berdua, tertarik dan duduk di kursi sebelah Panji. Matanya yang kecil melebar penuh rasa keingin tahuan. Walau dialek yang dia gunakan sedikit mengundang tawa, namun
Panji menahan perasaan itu agar tidak melompat ke permukaan.

“Ah, Hiroshi Jiro, musisi yang kebetulan lewat dan tertarik dengan tempat ini.”

“Hiroshi? Wow, bahasamu lumayan juga untuk ukuran orang luar,” puji Bu Sekar padanya.

“Ya kebetulan saja,” Hiroshi mengangguk tersipu.

“Aku kurang tahu informasi lebihnya. Hanya rumor yang beredar, tapi banyak yang mempercayai informasi ini. Dalam sumber yang aku baca, nama komet itu pun masih menjadi misteri karena belum ada kebenaran yang absolut tentangnya. Terlebih lagi, ada sumber lain yang mengatakan kalau benda itu terakhir melintas pertengahan abad ke-14 dari Laut Cina Selatan mengarah ke utara. Jika mengikuti diagram tersebut, mungkin jalur orbitnya yang akan terlukis nanti dimulai di sekitar Pulau Jawa dan terus mengarah ke utara entah sampai kemana,” ucap Panji menjelaskan informasi yang dia dapat.

Mereka berdua hanya mengangguk antara paham dan tidak saat mendengar penjelasan tersebut. Apalagi Bu Sekar yang menyiratkan wajah seakan tak percaya seperti ingin mengatakan, ‘tak disangka Panji akan sepintar itu.’

“Rasanya seperti mendengar bon hutang yang belum Panji bayar kemarin,” ungkap Bu Sekar sedikit bercanda.

Panji tertegun, dan entah kenapa candaan Bu Sekar tepat mengenai sasaran. Sial.

“Boleh aku ikut bersamamu ke tempat itu?”

“Maaf Hiroshi, bukannya aku menolak, hanya saja aku belum memutuskan akan benar-benar pergi atau tidak.”

“Kamu sudah janji akan membawakan tante bunga Edelweiss, bukan? Ah, tante gak percaya akan hari dimana kamu mengingkari janjimu secepat ini.”

“Tapi kan Panji, tak pernah menjanjikan hal itu?!”

“Ah, Tante tak percaya kalau kamu seorang pendusta!”

Ada ejekan di tiap ekspresi sedih yang dibuat oleh Bu Sekar. Begitu pula Hiroshi yang ikut dalam alur permainan wanita itu. Mau tidak mau, Panji dengan sangat terpaksa mengajak Hiroshi ikut bersamanya mendaki.

“Tambahkan dua orang, ya? Ku percayakan padamu hari esok, Panji-san,” ejek Hiroshi yang kemudian beranjak pergi ke kamarnya di lantai dua.

Dentingan bandul jam dinding terdengar sebanyak sepuluh kali yang berarti sudah menandakan pukul sepuluh malam. Suara-suara hewan malam menambah nuansa rileks malam itu. Kelelahannya terbayar lunas hanya dengan menikmati momen kecil tersebut.

Kepulan asap dari terbakarnya tembakau menari-nari di hadapan pria itu. Tak lupa secangkir double shot espresso menjamu ukiran yang dia buat di atas lembaran kertas putih.

Malam itu bulan bersinar cukup terang. Pantulan cahaya matahari yang dia terima kini tersebar secara merata tanpa ada halangan sedikitpun. Andai manusia bisa terbang dengan bebas, pastinya mereka akan berdansa di atas langit malam dipandu dengan cahaya bulan.

Cukup banyak lagu tercipta karena jasanya, seperti lagu-lagu yang dibalut nuansa cinta, keluarga, instrumental, hingga melankolis dan patah hati. Tiap lirik yang tercipta entah siapapun itu penciptanya, selalu ada makna khusus jika menambahkan temaramnya bulan sebagai tema dasar.

Seperti Hiroshi kali ini, mencoret beberapa bait yang dia tuliskan demi mendapatkan lirik yang pas. Beberapa kali dirinya menggumamkan nada ciptaannya pada lagu tersebut, namun Hiroshi masih belum mendapatkan pencerahan. Itulah alasan kenapa Hiroshi mengembara ke tempat-tempat baru guna mendapatkan suasana yang belum pernah dia rasakan di tempat asalnya.

Matanya segera menyambut sosok yang perlahan menampakkan diri dari arah tangga menuju lantai dasar. Pemuda itu segera keluar menuju ke balkon dan memberikan Hiroshi senyuman ramah. Sekilas tidak ada yang aneh dengan kondisi pemuda tersebut yang tadi dia temui di ruang makan. Keraguan itu muncul begitu saja, seperti ada aura gelap yang menahan langkah pemuda itu, tapi terkadang juga sekilas saja dia melihat aura hangat layaknya mentari fajar.

“Belum tidur, Hiroshi?”

Panji menyapa Hiroshi sembari memperhatikan bulan yang sayup-sayup mengantuk. Ditemani angin malam yang kian menggelitik setiap sistem syaraf milik mereka berdua.

“Ada sedikit yang ingin ku selesaikan, inspirasi mungkin? Lagu pertama yang aku buat setelah berkeliling dari berbagai negara, selain tempat asalku.”

“Ah, benar juga, Hiroshi itu seorang musisi ya.”

“Ya, seperti itulah. Belum banyak yang mengenal lagu buatanku ini. Hanya saja, aku begitu suka dengan lagu. Seperti aku merasakan sebuah dunia tersendiri, dan aku ingin tahu, dunia seperti apakah yang bisa meraih hati mereka. Motivasi itu yang selalu berdiri di sampingku hingga saat ini.”

Panji sekilas tersenyum mendengar penjelasan dari Hiroshi.

“Menurutmu, Panji-san. Dunia seperti apa yang bisa menyentuh mereka yang membatu?”

“Aku juga ingin tahu hal itu. Sekalipun aku mendapatkannya, mungkin susah untuk menjelaskannya. Atau  lebih tepatnya untuk saat ini, tidak mungkin jawaban itu akan datang.”

“Kenapa?”

“Entahlah, karena kenapa atau bagaimana adalah dua pertanyaan yang sulit untuk ku ketahui jawabannya.”

“Hmm, baiklah. Jika ada sebuah dunia dimana Panji-san benar-benar bisa menyentuh dan menghancurkan dinding dari mereka yang membatu, sepertinya akan sangat menyenangkan bukan?”

“Ya, kurasa itu cukup keren meski itu hanya mimpi.”

“Tidak, tidak, tidak. Dunia seperti itu ada, lho! Bukan hanya sekedar mimpi.”

“Lelucon yang bagus, hahaha.”

“Kalau begitu coba dengar lagu ini, bukan lagu yang ku ciptakan. Tapi coba dengarkan saja. Umi no Koe.”

https://www.youtube.com/watch?v=-zQWavER7to


Hiroshi segera mengetuk meja yang terbuat dari kayu agar memberi nada dari lagu yang akan dia nyanyikan. Jika didengar dari ketukannya, ini bukanlah lagu bertempo cepat. Benar saja, begitu Hiroshi bernyanyi dengan suara yang lirih namun masih sanggup terdengar jelas.

Pemandangan yang Panji lihat kala itu, dimana awalnya dia duduk menghadap pegunungan, kini ia berpindah menembus hingga tiba di sebuah pantai yang luas seorang diri.

Masih terdengar jelas di telinganya lantunan lagu dari Hiroshi. Butiran pasir yang menari riang diatas telapak tangan sang ombak yang mencoba menjangkau Panji. Sesekali juga terdengar teriakan keras ombak besar yang menerobos kokohnya batu-batu karang. Tidak ada makhluk apapun di sana. Hanya ada Panji yang kini dalam posisi duduk bersimpuh di atas batu besar.

Alunan musik dari ketukan dan nyanyian Hiroshi benar-benar memanjakan telinga Panji. Lembut dan menenangkan, walau ada sedikit nada serak yang keluar, tentu saja itu bisa teralihkan selagi ketukan demi ketukan dari nada yang Hiroshi ciptakan.

Namun ada sesuatu yang aneh. Panji merasa tidak pernah berada di tempat ini, atau pernah melihat pantai ini di suatu media. Pantai tersebut benar-benar terasa asing, dengan hutan gelap di bagian belakang yang sangat lebat.

Lalu muncul tiga orang dari
balik hutan. Mereka tampak terengah-engah kehabisan napas. Wajah mereka tidak nampak begitu jelas, entah itu karena posisi Panji yang sedikit jauh atau karena mereka menggunakan tudung jubah yang menutupi diri mereka dari atas kepala sampai ke paha.

Perlahan Panji bergerak menyelidiki ketiga orang tersebut. Lantunan nada dari Hiroshi belum terputus. Sebab itu lah Panji mencoba mendekati mereka. Dia mengendap-endap dari balik batu besar yang satu ke batu besar yang lain. Begitu jarak sudah semakin mendekat, dan semakin mendekat. Sebuah kapak berukuran
kecil terlempar tepat ke arah Panji. Panik, dia segera memutar arah dan ingin segera berlari. Namun sayang kapak tersebut sampai terlebih dahulu.

'AAAAARRGGHH'

Panji menjerit keras begitu dia terjatuh dan darah mengucur dari betis kanannya.

Ketiga orang tersebut kini berdiri mengelilingi Panji. Mata Panji terbelalak saat melihat sesuatu di balik tudung yang mereka kenakan. Sepersekian detik berikutnya pandangan Panji menggelap. Dan kini Panji kembali terbangun di tempat awal dia berada. Duduk di kursi sembari mendengarkan musik dari Hiroshi yang tampaknya sudah berakhir.

“Ada apa?”

Hiroshi bertanya ketika melihat Panji duduk terengah-engah dengan keringat yang mengalir beitu deras.

“Sial! Apa itu tadi? Lagu apa yang kau nyanyikan Hiroshi?”

“Hanya lagu biasa, lagu tentang laut. Memang ada yang salah?”

“Tidak, tidak, tidak, meski aku tak mengerti arti dari lirik yang Hiroshi nyanyikan. Aku benar-benar merasa seperti terdampar dalam sebuah pantai yang luas.”

“Sungguh? Baru kali ini aku mendengarkan hal itu.”

“Maksudnya?”

“Setiap kali aku menyanyikan lagu ini. Orang yang ku nyanyikan biasanya akan menangis terhanyut dalam lagu, dan rasanya, baru kali ini aku mendengar reaksi seperti itu, sungguh.”

Hiroshi memejamkan matanya seraya berpikir.

“Ya, aku rasa, baru Panji-san yang berkata begitu.”

Panji segera melompat kaget ketika smartphone miliknya bergetar. Dilihatnya layar yang menampilkan sebuah panggilan.

Panji segera beranjak ke sudut beranda meninggalkan Hiroshi begitu dia selesai menjelaskan situasinya. Digesernya tombol hijau yang menandakan menerima panggilan tersebut.

“Halo.”

Suara halus dari penelepon segera terdengar.

Panji seakan ragu untuk menjawabnya, tapi kepalang tanggung, penyesalan memang datang belakangan. Panji segera mengumpat pada dirinya sendiri dalam hati karena menerima panggilan tersebut.

“Hei! Kenapa diam saja?!!”

Kembali terdengar suara itu, namun dengan nada yang sedikit meninggi.

“Kenapa? Ada angin apa kau menelpon jam segini?”

“Ini tentang rencana yang tadi siang. Ehmm, kamu datang, KAN?”

Hawa dingin segera menusuk bulu kuduk Panji. Keringat kembali mengucur dari kedua pelipisnya.

“Bukannya aku ingin Anom datang juga, tapi kalau gak ada Anom, entah kenapa rasanya akan sepi.”

Panji masih merinding mendengar kata demi kata yang terlontar dari sang pemilik suara di balik telepon sana.

“Kenapa diam saja dari tadi, sih?!! Apa karena aku yang nelpon? Atau kamu mau ditelpon sama 'dia'? Ah! Sebentar kalau begitu.”

Panji ingin cepat-cepat mengakhiri panggilan tersebut, namun tangannya tak kuasa untuk bergerak. Seluruh badannya kaku dan bergetar. Entah sudah berapa kali dia menelan ludah, tapi nyatanya jika dia mengakhiri panggilan ini secara sepihak, maka kondisinya akan semakin runyam ketika mereka bertemu nanti. Dan Panji sangat tidak ingin kondisi itu terjadi.

“Halo?”

Suara yang lain terdengar. Itu bukan suara lembut yang Panji dengar sebelumnya, melainkan suara yang sedikit berat untuk ukuran suara perempuan dan terdengar sedikit mengintimidasi.

“Jika senin nanti, aku gak melihat batang hidungmu. Akan ku bunuh kamu!!! Dimana saja Anom berada, aku akan datang lalu ku belah perutmu itu, dan ku jual ginjalmu!!!”

“T-tapi kan?”

“No excuse boy!!”

Suara itu terdiam sejenak, lalu kembali melanjutkan pembicaraannya setelah dia berpindah tempat, setidaknya begitu yang Panji dengar. Panji masih merasa gelisah dan ingin cepat-cepat mengakhiri panggilan tersebut.

“AH! Maaf  yang sebelumnya. Ya, kamu tau sendiri kan ada kakak, ehehehe.”

Panji tertegun dengan perubahan drastis dari pemilik suara tersebut.

“J-jadi, k-kau setuju ikut ke Semeru?”

“Aku rasa begitu, dan, HEY! Sudah berapa kali aku bilang, namaku bukanKAU’!!”

Jika malaikat pencabut nyawa datang malam ini. Sepertinya Panji rela dengan ikhlas memberikan nyawanya agar cepat-cepat terhindar dari kedua orang yang dengan seenaknya mengganggu malam itu. Ah, mungkin juga tidak, Panji tidak memiliki keberanian seperti itu.

“Iya, iya, oke, aku datang. Aku-akan-datang. Apa perlu aku jemput? Atau mungkin jangan, ah gak jadi jemput saja lah! Kan kalian berangkat berdua dari sana.”

Tch!!”

tut.. tut.. tut.. tut.. tut..

Secara sepihak panggilan tersebut dihentikan dari pihak sana. Rasanya Panji ingin membanting smartphone miliknya keras-keras. Namun segera dia urungkan niat tersebut begitu nada dering terdengar sekali lagi.

Selamat malam!! Ku tunggu senin nanti!! Kalau Anom gak ada, ku bunuh kau!!!”

tut.. tut.. tut.. tut.. tut..

Panggilan pun berakhir. Panji hanya berdiri diam penuh kekesalan. Dia bahkan belum mengucapkan sepatah kata pun.

Tawa Hiroshi yang sedari tadi tertahan kini meledak ketika melihat gelagat Panji. Panji hanya mendengus kesal sembari kembali ke kamarnya di lantai satu.

Segera dihempaskan badannya ke kasur dan menarik selimut. Pikirannya yang sudah kacau semakin terasa pusing jika sudah berhadapan dengan kedua kakak-beradik aneh itu. Juga, pemandangan pantai yang dia rasakan tadi, terasa begitu nyata seperti Panji alami sendiri kejadian itu.

Dia tepis pemikiran tersebut dan segera tertidur begitu malam semakin larut. Namun, tanpa Panji ketahui. Sedikit demi sedikit wajah di balik tudung jubah tersingkap, wajah itu, bekas luka di pipi kiri itu, dengan menampilkan seringaian tajam, tidak salah lagi. Itu adalah wajah dari dirinya sendiri.

********** Paradox Spiral **********

Note: Yak, gimana dengan lagu yang aku share di atas? Keren kan? Wkwkwk
Untuk chapter 2 akan rilis abis lebaran ya, so stay tune terus disini.
Bagi yang mau nenda juga dipersilakan.
Dan terima kasih bagi yang sudah membaca. Aku harap kalian suka.
😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro