03 | tour eiffel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng





BILA terdapat satu hal yang Jisung mengerti, maka hal tersebut adalah seorang Lee Minho tidak pernah bermain-main dengan ucapannya sendiri.

Karena pada saat ini, ketika dirinya melangkahkan kaki menuju gerbang pintu keluar, bersandar sang pujaan hati dengan pakaian khas casual dan picnic basket yang Jisung yakini berisikan berbagai jenis makanan ringan.

Sesungguhnya, laki-laki itu pikir semuanya hanyalah kalimat manis belaka. Mungkin, ajakan Minho hanya sebatas wacana yang tak akan pernah direalisasikan. Lagipula, sejak kapan keduanya cukup dekat untuk pergi kencan ke—

—tunggu, kencan?

"Kak Minho?" Panggil Jisung ragu, membuat yang disapa segera tersenyum dan berjalan cepat untuk menghampirinya.

"Udah selesai kelasnya?" Jisung mengangguk pelan, mengamati sosok Minho yang terlihat tampan dalam balutan kaos putih sederhana, ripped jeans dan jaket denim senada. "Langsung ke Métro aja, yuk."

Keduanya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju kereta bawah tanah yang terletak tidak jauh dari universitas. Pemberhentian mereka pada stasiun Champ de Mars, kemudian akan disambung dengan berjalan kembali selama 10 menit sebelum tiba di kompleks menara Eiffel yang pasti dipenuhi banyak pengunjung.

Berjalan memasuki salah satu gerbong kereta yang segera berangkat, Jisung mengamati sekelilingnya untuk mencari tempat duduk yang kosong sebelum mendengus kesal karena gagal menemukannya.

"Kayaknya kita harus berdiri, deh. Kursi kosongnya tinggal satu."

"Lo duduk disana aja, biar gue yang berdiri."

"Nggak bisa gitu, dong!" Cemberutnya gemas. "Masa gue enak-enak duduk, sedangkan Kak Minho berdiri sendiri? Nanti pegel, lho."

"Bawel banget, sih," Minho menggelengkan kepala, sesekali terkekeh geli sebelum menggenggam tangan mungil Jisung dan mendudukkannya di kursi yang ia telah janjikan. "Gue tau lo capek, lo kan baru selesai kelas. Sekarang manfaatin waktu istirahat dulu biar nanti punya tenaga buat jalan-jalan."

"Tapi—"

"—nggak ada tapi-tapian."

"Kalau gitu, seenggaknya biarin gue mangku picnic basket-nya biar lo bisa nyaman berdiri," tanpa aba-aba, Jisung mengambil alih barang bawaan Minho dan tersenyum lebar. "Nggak ada tapi-tapian."

Minho sontak tertawa mendengar kalimat terakhir.

"Cih, ngikutin."

"Bodo amat, wleee!"

Pintu kereta yang Jisung dan Minho tumpangi telah resmi tertutup, siap membawa kedua anak manusia tersebut menuju simbol dari negara tempat mereka menimba ilmu.

Sesungguhnya, meskipun Jisung merasakan bahagia yang amat sangat dengan ajakan impulsif yang lebih tua, ia masih menyimpan berjuta pertanyaan terkait tingkah laku Minho yang tiba-tiba mendekati dirinya tanpa alasan pasti.

"Kak," panggil Jisung lagi, menatap obsidian Minho yang berdiri tepat di hadapannya. "G-gue mau tanya tentang sesuatu, dong."

"Hm, kenapa?"

Laki-laki itu mengusap tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. "Kenapa Kak Minho tiba-tiba mau ngajak gue ke menara Eiffel?"

Yang ditanya hanya mampu terdiam sesaat. "Emang nggak boleh?"

"N-nggak gitu juga, sih. Penasaran aja."

"Kalau ditanya jawabannya... sebenarnya gue juga nggak tau," ia tersenyum malu, sebelum mengusap pucuk kepala Jisung yang berada tidak terlalu jauh dari jangkauannya. "Ini mungkin bakal kedengaran aneh, tapi entah kenapa, gue pengen aja ngehabisin waktu sama lo."

"Tiba-tiba aja, gitu?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Jisung, kereta yang telah sampai di tujuan menjadi alasan Minho untuk bergegas keluar menuju peron yang disediakan. Apa yang laki-laki itu sembunyikan darinya?




P A R I S I N
T H E R A I N




"Maaf, ya."

Jisung mengalihkan kepalanya ke arah Minho yang baru selesai membongkar picnic basket mereka.

"Ngapain minta maaf?"

"Sebenarnya disini ada restoran bagus, kalau nggak salah pernah dapat Michelin Star," tunjuknya pada lantai kedua menara Eiffel yang terlihat megah dari area piknik tempat mereka berada. "Tapi budget gue cuma cukup buat bawain snacks sama bir kalengan dari minimart depan kampus, hehehe."

"Ya ampun, santai aja kali Kak!" Jisung menggeleng tak percaya. "Gue lebih suka kalau kita berdua bisa apa adanya. Pergi jalan-jalan ke menara Eiffel sama Kak Minho aja gue udah senang banget, kok."

Keduanya lalu merebahkan tubuh mereka pada alas piknik yang telah Minho bawakan, menikmati langit kota Paris yang sebentar lagi siap bercumbu dengan senja pujaan hatinya. Pemandangan Eiffel yang luar biasa indah berhasil membuat Jisung merasa begitu takjub dengan kuasa semesta yang mengizinkannya untuk berada disini.

"Tempat ini cantik banget."

"Hm," Minho memejamkan kedua matanya. "Waktu pertama kali gue pindah ke Paris, gue datang kesini setidaknya seminggu sekali. Entah untuk nikmatin sunset, baca buku, atau duduk-duduk sambil nyari inspirasi. Dan yang bikin aneh, sesering apapun gue datang, nggak sekalipun gue merasa bosan."

Jisung menatap Minho lekat-lekat. "Kakak sendirian aja?"

"Emangnya mau sama siapa lagi?"

Yang lebih mudah mengedikkan bahunya acuh.

"Lo orang pertama yang gue ajak jalan-jalan kesini, kalau lo mau tau," Minho membuka kedua matanya perlahan, menatap milik Jisung yang hanya berjarak beberapa jengkal darinya. "Dan gue rasa, itu adalah keputusan yang tepat."

"K-kenapa?" Tanya Jisung terbata-bata. Jantungnya kini berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Gue bukan tipe orang yang mudah merasa nyaman ketika dihadapkan sama orang baru," lanjut Minho sembari bangkit untuk membuka kaleng bir yang ia bawa. "Tapi dengan keberadaan lo disini, you make me feel the most comfortable I've ever been."

"Karena kita udah saling kenal waktu masih sekolah di Seoul?"

"Mungkin iya, mungkin lebih."

Pipi Jisung segera merona delima.

"Dasar cowok nggak jelas."

Minho segera tertawa kencang hingga terpingkal ke belakang. "Lo sendiri, nyaman nggak sama gue yang tiba-tiba ngajak jalan? Secara, dulu kan kita belum pernah ngobrol."

"N-nyaman, kok," angguk Jisung malu, sebelum ikut membuka kaleng bir untuk menetralisir rasa gugup yang semakin membuncah. "Kalau disuruh deskripsi perasaan itu, sejujurnya gue nggak bisa — tapi gue merasa nyaman saat ada di dekat lo. Nggak semua hal butuh penjelasan, kan?"

"Fair enough."

Mengambil sepasang earpods dari kantung jaketnya, Minho beralih untuk memutar sebuah lagu sebelum menyodorkan benda tersebut kepada sosok laki-laki yang masih terduduk menatap langit.

"Magic-nya Coldplay?"

"Lagu pertama yang pernah gue buat koreografinya. Masih ingat pentas seni SOPA, kan?"

Minho mengadahkan kepala, menatap mentari yang bertukar tempat dengan sang rembulan.

"The more I think about it," sambungnya lembut. "It reminds me of you."




Call it magic, call it true
I call it magic when I'm with you
And I just got broken, broken into two
Still I call it magic
When I'm next to you








Author's Note

————————

Halooo! Kira-kira, ada yang mau berteori
tentang gelagat anehnya Minho? 😂 jangan lupa
tinggalkan kesan pesan, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro