05 | les sans culottes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


⚠️

Long chapter ahead.




"SEMALEM pulang jam berapa?"

Jisung mengalihkan pandangannya menuju seorang mahasiswa asal Korea Selatan yang sedang duduk di belakang bangku miliknya.

Seperti yang sudah ia duga, dapat dipastikan bahwa Kim Seungmin akan menggodanya seharian penuh karena kembali ke asrama dengan pipi yang merona delima.

"J-jam sebelas, kenapa?"

"Nggak," geleng Seungmin yang berusaha menahan tawanya. "Maksudnya, nggak pulang juga nggak apa-apa."

Refleks, Jisung melempar sebuah penghapus kearah sang roommate, menghiraukan dosen mata pelajaran filsafat yang sedang menerangkan sejarah Socrates di papan tulis.

"Kalau ngomong tuh di filter dulu!"

"Loh, emang gue salah?" Balas Seungmin sembari memutar bola matanya malas. Memastikan bahwa tenaga pengajar tersebut tidak mencurigai mereka, laki-laki itu melanjutkan. "By the way, nanti malam mau ikut nggak?"

"Nanti? Emang ada acara apaan?" Jisung menaikkan alisnya.

"Penyambutan mahasiswa pertukaran pelajar sama anak-anak ekspat yang lain," Seungmin kini kembali menatap Jisung menggoda. "Oh ya, bakal ada anak-anak senior juga, loh."

Astaga, Tuhan.

Jisung paham kemana arah perbincangan ini.

"Tunggu, jangan bilang..."

"Yak, seratus buat Han Jisung!" Seungmin bertepuk tangan meriah meski tanpa suara decakan.

Tubuh Jisung melemas. Berhadapan kembali dengan laki-laki yang semalam menerbangkannya ke langit ketujuh— demi apapun, rasanya ia ingin menghilang dari muka bumi.

"Tapi... waktu lo pergi sama Kak Minho, dia nggak aneh-aneh sama lo kan," Sung?" Melihat perubahan ekspresi pada raut wajah sahabatnya, Seungmin kini jadi mendadak khawatir.

"N-nggak..." Jisung menggelengkan kepala, sebelum kembali meluruskan pandangan ke arah papan tulis dan mulai mencatat. Memorinya tentang pertemuan mereka di Eiffel hingga percakapan terakhir seketika mendominasi indera. "Nggak salah lagi."

Ah, dasar Lee Minho sialan!





P A R I S
I N   T H E
R A I N





Socrates pernah berkata, mereka yang paling sulit dicintai, sesungguhnya adalah mereka yang paling membutuhkannya.

Berkaca dari pembicaraan singkat Jisung bersama Minho semalam, laki-laki itupun akhirnya mengerti. Minho bukanlah seseorang yang mudah — dirinya telah melalui banyak hal, menjadikannya sosok yang selalu terlihat baik-baik saja, bahkan dapat dibilang hampir sempurna, meskipun sebenarnya menyimpan segudang permasalahan yang terasa sungkan untuk diceritakan.

Tetapi bagaimanapun juga,

Lee Minho tetaplah seorang Lee Minho.

Jisung hanya mampu merapal syukur karena dapat menjadi salah satu orang pertama yang laki-laki itu biarkan masuk, menginvasi zona nyamannya meski hanya sekejap.

Selesai membereskan barang-barangnya, Jisung dan Seungmin bergegas menuju Metro terdekat, berjanji untuk menemui mahasiswa-mahasiswa asing lainnya di sebuah bar yang terletak persis di seberang Places des Vosges, sebuah taman sekaligus alun-alun tertua di jantung kota Paris.

"Bonsoir, welcome to Les Sans Culottes!" Seorang bartender menyapa mereka ramah ketika berjalan masuk ke dalam area bar.

Melihat sekumpulan anak muda yang sedang asyik berbincang di sudut ruangan — lebih tepatnya Lee Minho yang terlihat luar biasa tampan dengan padu padan celana denim dan all black — rasanya Jisung ingin menenggelamkan diri saja.

"Han Jisung, Kim Seungmin! Over here!"

Salah satu dari mereka kini berdiri, melambaikan tangan penuh semangat sebelum sibuk mencomot beberapa potong kentang goreng di atas meja.

"Itu... siapa?" Bisik Jisung malu.

"Felix," balas Seungmin. "Pelajar dari Australia yang pacaran sama Kak Changbin, anak arsi. Katanya sih ikut student exchange karena udah gumoh LDR. Lo tau kan, yang mana Kak Changbin?"

"Yang satu angkatan sama Kak Minho?"

"Giliran Kak Minho aja gercep!"

Jisung menepuk pundak Seungmin kencang, menarik perhatian dari para pengunjung bar.

Keduanya kemudian berjalan dan mengambil posisi duduk, memaksa Jisung untuk berhadapan langsung dengan Minho yang hanya tersenyum penuh arti. Di sampingnya, seorang laki-laki lain terlihat menatap mereka secara bergantian, seakan-akan memahami tensi yang tercipta meski tanpa sepatah kata.

"Good to see you," mahasiswa itu kini mengalihkan pandangan pada Jisung — jangan lupakan cengiran manisnya — dan memulai pembicaraan. "Mau pesan apa, Sung?"

"Bir aja, Kak," angguknya mantap.

"Wait, give me a second," ia memanggil pelayan yang berjaga dan berbisik untuk memesan beberapa botol bir.

Sesungguhnya, Jisung mengakui jika laki-laki itu memang terlampau tampan. Perawakannya atletis, terlebih dengan kemeja putih yang digulung hingga lengan dan aksesoris berwarna silver yang memberi kesan smart casual. Sempurna.

"Sebelumnya kenalin, gue Chris. Christopher Bang. Aslinya dari Aussie tapi dari lahir memang tinggal di Perancis," Chris melanjutkan perbincangan. "It's nice to meet you, Jisung."

"Nice to meet you too," yang lebih muda membalas sopan, kemudian meraih minuman beralkohol yang baru saja datang.

Sejak dirinya sampai, tak sekalipun Minho membuka mulutnya — sepertinya laki-laki itu kini terlalu sibuk memicingkan mata ke arah Chris yang bahkan sama sekali tidak menyadari perlakuannya.

"Ngomong-ngomong, lo sama Minho udah kenal dari lama, ya?" Tanya Chris lagi. "Gue dengar dulu kalian sama-sama satu SMA."

"Iya, dulu gue adik kelasnya di SOPA," angguk Jisung lagi.

"So, you guys are very close?"

"Uh—"

"—biasa aja," potong Minho cepat. "Seperti yang lo lihat, senior dan junior pada umumnya."

Jisung hanya mengusap tengkuknya canggung. Ingin merasa kecewa, tetapi bukankah kata-kata tersebut memang benar adanya?

"Well, berarti nggak masalah dong kalau gue dekat sama lo?"

Jisung dan Minho sama-sama tersedak.

"M-maksudnya?"

"Nothing," Chris hanya tersenyum, kemudian beralih untuk menyesap minumannya sebelum bergabung bersama Seungmin, Felix dan Changbin yang terlihat asyik membahas kehidupan perkuliahan mereka.

Menatap Minho yang pandangannya terlebih dulu terpatri padanya, Jisung hanya mampu menyeringai kikuk dan menghabiskan bir yang telah dipesankan oleh Chris.

Serius, apa sih maksud cowok itu?

"—Han Jisung."

Suara khas Minho membuat Jisung mendongakkan kepalanya segera. Ia tidak bisa berbohong jika suara berat itu membuat hatinya sedikit berdesir.

"Ya?"

"Kalau lo berkenan..." Minho mengambil coat yang tersampir di belakang kursi dan menunjuk ke arah pintu keluar. "Mau ikut gue cari udara segar di Place des Vosges, nggak?"




P A R I S
I N T H E
R A I N





Asap rokok yang bercampur kabut musim gugur menyeka ruang di antara mereka.

Keduanya duduk saling berdampingan, menikmati pemandangan kota Paris dengan sebuah air mancur besar di hadapan mereka. Meskipun tidak ada yang memulai percakapan, entah mengapa, kesunyian itu menjadi bentuk rasa nyaman yang mereka berikan kepada satu sama lain.

Hingga pada akhirnya, di antara hembusan batang-batang nikotin tersebut, Minho dan Jisung membuka mulut di waktu yang sama.

"Sung—"

"—Kak Minho."

Minho segera terkekeh geli. "Lo duluan."

"Um," Jisung mengubah posisi duduknya. "G-gimana harinya?"

"Serius, lo nanyain itu?" Minho tergelak penuh tawa, berusaha menahan gemas atas kepolosan yang lebih muda. "Cukup baik. Awalnya gue nolak ajakan Chris buat ikut, tapi dia bilang kalau bakal ada mahasiswa pertukaran pelajar dari Korea. It instantly reminded me of you — ternyata insting gue nggak salah."

"Nggak nyesel, kan?" Jisung mengedipkan matanya jahil.

Minho menggeleng cepat. "Nggak sama sekali."

Sepasang anak Adam itu kembali tenggelam dalam keheningan. Mematikan rokoknya, Minho menatap lalu lalang muda mudi yang tengah bersantai, lalu mengalihkan pandangan ke arah Jisung yang sama sekali tidak menyadarinya.

"Chris kayaknya pengen lebih dekat sama lo."

"Masa, sih?" Jisung mengadah terkejut.

"What do you think of him?"

"Err..." Jisung menggaruk kepalanya bingung, tak yakin harus menjawab apa. "Dia kelihatannya baik, dewasa juga. Sejujurnya gue nggak berada di posisi untuk bilang banyak hal sih, gue belum benar-benar kenal orangnya."

"Tapi kalau dia berusaha lebih mendekat." Minho memberi jeda dalam kalimatnya. "Kemungkinan lo untuk menyambut, ada?"

Gimana gue mau ngasih orang lain ruang, kalau satu-satunya yang ada di bayang gue cuma lo?

Jisung terdiam.

Suasana kembali canggung.

"Balik, yuk," Minho beranjak dari posisi duduknya, membiarkan pertanyaan retoriknya berakhir sebagai pertanyaan terbuka. "Takut yang lain nyariin."

Namun sebelum itu, ia membalikkan tubuhnya dan menghela napas, membuat milik Jisung terlebih dulu tercekat akibat makna yang tersirat.

"Maaf kalau gue terkesan lancang bicara kaya gini...
tapi kalau gue boleh bersikap egois, tetap berada di tempat dimana lo berdiri saat ini. Jangan melangkah ke arah dia — dan cukup tinggal disini."









Author's Note

————————

Makasih banyak buat teman-teman yang
masih ngikutin Paris in the Rain! Agak nggak
nyangka udah nyentuh 1K reads aja... cerita ini
jauh dari kata sempurna, tapi kuharap tetap bisa
menghibur kalian ya 💛 sampai sini ada yang
mau berkomentar, mungkin?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro