[17] Coklat Pembawa Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Will you be My Valentine?

-Dendi-

Dyvette dan Dendi menjalankan aksi diam selama dua hari. Tugas yang dikasih sama Dendi pun dikerjakan Dyvette dengan bantuan Jason. Dyvette ngga mau ngomong sama Dendi.

Dan selama dua hari ini hati Dendi ngga tenang, kepengen ngobrol sebenernya, tapi bingung musti mulai duluannya gimana.

Bukan gengsi loh ya, bingung.

Sampai pagi ini, waktu Dyvette sampai di kantor, seisi kantor lagi heboh karena senang mendapat coklat di mejanya. Hari ini tanggal 14 februari. Orang bilang, ini hari kasih sayang.

Jason menghampiri kubikal Dendi sambil makan coklat. "Den, coklatnya ada lagi ngga?"

Dyvette melirik sedikit, lalu memperhatikan mejanya yang rapih dengan tumpukan berkas. Ngga ada coklat di mejanya. Membuatnya manyun. Misalkan dikasih pun kemungkinan dia ngga makan karena takut gemuk, tapi kan yang ngasih dan momennya yang bikin berkesan.

"Abis lah."

Jason menggerutu. "Pilih kasih, yang lain dikasih coklat mahal, gue cuma dikasih black thunder, yang kecil terus cuma sebiji lagi."

Dendi tertawa.

Yang Jason maksud mahal itu coklat yang harganya di atas 15.000 ya. Sebenernya untuk Jason dan Dendi itu ukurannya murah. Tapi kalo dibandingin sama coklat yang Jason terima, coklat yang lainnya terhitung mahal.

Buat yang belum tau, coklat black thunder itu keluaran dari Delfi tapi harganya cocok sama kantong yang kaya martabak hits, tipis kering. Yang ukuran kecil harganya 2000 doang.

Satu coklat yang lain bisa dapet tujuh coklat buat Jason.

"Mana ih coklat mahal buat gue."

Dendi tertawa lagi. Ia menarik laci meja kerjanya, mengeluarkan satu box besar coklat Delfi.

"Ih, katanya abis, itu masih banyak." Jason berteriak heboh.

"Saran gue sih disimpen di gue dulu, kalo lo bawa ke meja lo nanti diserbu orang kantor." Dendi berbisik.

Jason berpikir sebentar, lalu ia mengangguk semangat. "Iya deh di lo dulu aja."

Dendi tertawa. Ia kembali memasukkan coklat itu di laci mejanya.

"Janji ya itu buat gue semua."

Dendi mengangguk. "Iya, biar lo diabetes terus cepet die."

Jason mencibir. "Gua sumpahin lo yang die duluan."

Jason beralih ke meja Dyvette yang mantan mejanya. "Dyvette, dapet coklat apa dari Dendi?"

Dyvette menggeleng. "Ngga dapet, Mas."

Jason memicing ke Dendi yang telah kembali fokus sama laptopnya. Lalu mencondongkan badannya ke Dyvette. "Kamu sabar ya, Dendi emang gitu, suka pilih kasih."

"Son, gue denger." Dendi berucap tanpa menoleh.

Jason langsung berlari ke mejanya karena takut diamuk Dendi. Takut coklatnya malah ngga jadi buat dia.

"Dyvette." Dendi memanggil.

Dyvette enggan menjawab apalagi menoleh. Dia masih marah.

"Avi..." Lembut banget nadanya.

Dyvette menoleh karena ngga kuat. Bibirnya manyun karena kesal.

"Saya boleh minta tolong?"

"Hm."

"Ya udah kalo ngga boleh." Suara Dendi terdengar lesu. Baru ia berdiri hendak keluar kubikel, tangannya ditarik oleh Dyvette.

"Mau minta tolong apa?" Dyvette berusaha se-sinis mungkin, namun tetap terselip nada perhatian di suaranya.

Dendi tersenyum dalam hatinya. Ia kembali duduk di kursinya. "Tolong satuin berkas yang baru saya fotocopy, tiap berkas ada lima halaman terus di klip aja."

Dendi ngga ngasih tugas buat ngerjain berkas lagi, soalnya nanti Dyvette malah ke Jason. Mending dikasih kerjaan yang gampang, biar perempuan itu ngerjain di sampingnya.

Dyvette mengambil hasil fotokopi Dendi dan dibawa ke mejanya. Setelah ia menyatukan berkas, ia membuka laci untuk mengambil klip tanpa melihat. Tapi, bukan kotak klip yang diambil, melainkan coklat. Ia melihat isi lacinya, ternyata peralatan kerjanya telah diganti dengan sekotak coklat.

Dyvette mengeluarkan sekotak penuh coklat itu, lalu melirik ke laki-laki yang disebelahnya yang sibuk dengan kerjaannya.

Dyvette kembali memerhatikan yang ada di hadapannya. Ia tersenyum bahagia, hatinya pun sama bahagianya. Teman-teman yang lain dikasih coklat cuma satu, sedangkan dia menerima banyak coklat.

"Mau makan malem bareng saya ngga?"

Dendi telah membuat keputusan. Daripada dia mundur dan terluka untuk kedua kalinya karena kehilangan kesempatan lagi, ia lebih memilih untuk maju. Yang kali ini harus diperjuangkan!

Senyuman manis terukir di wajah Dyvette. "Mau."

Dendi sedikit menyesal ngga memilihkan baju untuk Dyvette karena pilihan baju perempuan itu lagi-lagi terbuka dan ketat. Tadi dia cuma berpesan pake dress warna pink ya, supaya senada sama pakaiannya.

Sepanjang perjalanan, Dyvette hanya tertawa mendapat omelan dari Dendi. Sebenarnya pas pertama kali Dendi liat bajunya udah disuruh ganti sama yang lebih tertutup, tapi dia tetep kepengen pake baju itu. Akhirnya Dendi ngalah.

Sesampainya di restoran yang sudah Dendi pesan untuk mereka berdua pun, Dendi request yang boleh mengantar makanan ke meja mereka cuma pelayan perempuan, pelayan laki-laki di dapur aja.

Iya, ngga salah baca kok, Dendi beneran booking satu restoran buat mereka berdua. Dendi Sultan Paramayoga.

Dyvette pun tertawa senang melihat kelakuan Dendi. Sebenarnya ia sengaja memakai pakaian seperti ini, mau tau laki-laki dihadapannya ini akan se-posesif apa. Kalau posesif begini, selain membuat Dyvette senang, ia juga akan menanyakan tentang hubungan mereka.

Makanan dihidangkan, Dendi masih ngga bisa menahan omelannya yang kaya ibu-ibu ngomelin anak gadisnya gara-gara pulang malem.

"Udah Mas, makan dulu, ngomelnya lanjut nanti."

Dendi mendelik. Mencebikkan bibirnya. "Kamu tuh bandel banget sih, udah berkali-kali dibilangin pake baju tuh yang bener."

"Ini udah bener, Mas."

Dendi melotot. "Biarin aja nanti kalo ada yang jelalatan kaya Arkan, saya ngga mau nolongin."

Dyvette tertawa. "Iya-iya, ngga usah ditolong Mas."

Dendi memotong makanannya dengan sebal. Padahal ia udah berpikir akan makan malam romantis yang dipenuhi canda tawa kaya di film-film gitu.

Boro-boro romantis, ini mah yang ada sepanjang malem dia bakal senewen terus darah tingginya naik.

"Mas, kita tuh apa sih?"

"Orang."

Dyvette yang tadi hatinya bahagia karena ke-posesif-an Dendi, mendadak kesal mendengar jawaban itu. Dia tau kalau mereka berdua itu orang bukan hewan apalagi bakteri, kan maksud pertanyaannya itu hubungan mereka itu apa.

"Hubungan kita apa Mas?"

Dendi yang mendengar pertanyaan itu langsung batuk-batuk tersedak makanannya sendiri. Ia benar-benar kaget menerima pertanyaan seperti itu.

Dyvette bukannya memberikan minuman ke Dendi, ia malah melipat tangannya di depan dada sambil melemparkan tatapan galak.

Ngga romantis kaya di film-film, kan?

"Hubungan apa?"

Dyvette semakin kesal. Emangnya dikira mereka makan malam romantis berdua di hari kasih sayang begini cuma antar teman kantor? Kalau iya, kenapa ngga sekalian ajak sekantor aja terus bikin prasmanan? Ngga usah sok candle light dinner gini. Kan jadi bikin berharap.

"Menurut Mas kita ini apa? Cuma temen?" Dyvette bertanya dengan sinis. Nafsu makannya menghilang.

Dendi meminum minumannya. Ia mau bilang cuma temen tapi kok kaya brengsek banget rasanya, mau bilang pacaran kok kaya ge-er banget dia, kan dia belom nembak jadi belom tentu diterima.

"Mas?"

Dendi masih bingung harus jawab apa.

"Tau gini mending dinner sama Arkan tadi." Dyvette menoleh ke samping, malas ngeliat Dendi.

Sebelum mereka pulang kantor, Arkan menghampiri meja Dyvette dan memberikan satu buket mawar merah dan mengajak makan malam, namun ditolak Dyvette.

Dyvette ngga beneran mau makan malam bareng Arkan. dia cuma kesel karena lagi-lagi merasa ditarik ulur.

"Menurut kamu, hubungan kita gimana?" adalah ucapan Dendi setelah ia diam cukup lama.

Dyvette menutup wajahnya. Ia benar-benar kesal sekarang. Kan harusnya laki-laki di depannya menjawab pertanyaannya dengan sebuah pernyataan, bukan pertanyaan balik.

"Emang perlakuan saya ngga cukup jelas buat ngasih tau hubungan kita ini apa?" Dendi bertanya lagi.

"Perlakuan yang mana? Mas kan berubah-ubah, di kantor cuek, tapi diluar kantor baik banget sampe bikin Avi tambah berharap."

"Emang saya di kantor cuek?"

Dyvette memutar bola mata, ia ngga percaya pertanyaan itu keluar dari mulut Dendi.

"Banget!"

Dendi menundukkan kepalanya. "Maaf."

Dyvette gemas. Ia berdiri dan memukul bahu Dendi. "Mas, Avi butuh kepastian tentang hubungan kita, bukan kata maaf." Lalu kembali ke kursinya.

"Kita pacaran kalo gitu."

Dyvette mengulum senyum. "Sejak kapan?"

"Hari ini."

"Emang Mas kapan nembak? Avi kapan nerima?" Alis Dyvette naik.

Dendi membelalak. "C'mon, Vi, kamu ngga minta saya nembak ala ABG gitu kan?"

Dyvette menggeleng. "Avi kan cuma nanya kapan Mas Dendi nembak dan kapan Avi nerima, sampe Mas bisa bilang kita pacaran gitu." Ia mengulum senyum.

"Saya ngga mau nanya, kamu ngga perlu jawab, yang perlu kamu tau, kamu pacar saya sekarang."

Dyvette manyun. "Ngga mau."

Wajah Dendi mendadak sedih. "Kenapa?"

"Avi ngga mau pacaran kalo ngga ditembak, nanti pas Mas pergi sama cewek lain terus Avi marah, Mas kan bisa bilang 'saya ngga pernah nembak kamu jadi kamu ngga berhak marah' gitu."

"Ya berhak lah."

Dyvette diam, ia menunggu ditembak. Supaya resmi gitu loh pacarannya.

Dendi menarik nafasnya dalam-dalam. Bahkan otak pintarnya pun ngga berpikir sampai sejauh itu loh.

"Avi..." Dendi memanggil dengan lembut. "Kamu mau kan jadi pacar saya?"

Dyvette sumringah. Ia mengangguk dengan penuh semangat. Ia langsung berlari ke arah Dendi, dan mendaratkan bibirnya di pipi laki-laki itu.

"Dari kemaren-kemaren dong, Mas."

Dendi mengelus puncak kepala Dyvette. Ia tersenyum.

"Kalo gitu, kamu yang trakir ya malem ini."

"Ih ngga mau, Mas."

Dendi menaikan alisnya. "Kan tadi saya udah ngasih kamu coklat yang banyak, gantian dong kamu yang bayar makan malemnya." Dendi bercanda.

Dyvette memanyunkan bibirnya. "Ngga mau, ngga ada uang."

"Masa anak bos ngga punya uang?"

Dendi tertawa lagi. Ngga menyangka ia bisa merasakan kebahagiaan seperti ini lagi.

Dyvette menggeleng. "Punya sih, tapi uangnya buat beli gaun sexy kaya gini." Dia menarik tali spageti gaunnya.

Nafas Dendi tercekat. Menelan ludah pun rasanya sulit. Jantungnya berdebar ngga karuan. Dendi laki-laki normal yang bisa runtuh imannya kalo dikasih godaan terus.

Please, masa kado valentine-nya langsung begini sih? Ngga kuat nolaknya!

"Mas, orang kantor boleh tau ngga kalo kita pacaran?"

Pikiran Dendi yang sudah jauh berkelana kembali ke dunia nyata setelah mendengar suara Dyvette.

"Kamu mau nyebar pamflet?"

Dyvette melotot. "Ya engga lah, kasih tau beberapa orang aja supaya pada ngga genit lagi, terutama si Alin."

"Alin ngga genit, dia emang ramah aja."

"Belain terus." Dyvette melipat tangannya di depan dada. Ngambek pertama setelah resmi berpacaran.

Dendi yang gemas, mendekatkan mulutnya ke pipi pacarnya. Bukan mau nyium, tapi ia malah menggigit pipi Dyvette.

"Gemes."

Dyvette memegang pipinya yang baru digigit Dendi, ngga terlalu sakit sih tapi berasa nyut-nyutan. Dia ngga nyangka laki-laki disebelahnya ngga sekaku yang dia kira, bisa lucu juga ternyata.

"Kasih tau aja orang kantor, biar Arkan ngga deketin kamu lagi."

Jangan iri karna ngga dikasih coklat😂

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

Jangan lupa minta PJ 😜😜

14/06/2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro