[28] Alasan Dyvette Pakai Baju Sexy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Uang itu penting, tapi bukan segalanya.
Jangan rusak masa kecil anak kalian cuma karena obsesi kalian sama karir.

-Dendi-

Hari ini hari keempat Dendi dirawat. Pagi indah ngga dia rasakan seperti kemarin. Caesar ngga mengelap tubuhnya dengan air hangat, melainkan air yang dingin karena baru bangun jam tujuh.

Tapi Dendi cukup bahagia, tubuhnya bisa digerakkan semua dengan normal, kondisinya benar-benar sudah membaik.

Seperti hari-hari sebelumnya, dokter datang untuk mengecek keadaannya. Di depannya dokter yang senior dan yang junior berdebat tentang penyebab penyakitnya.

Dokter senior kukuh mengatakan bahwa penyebab penyakit Dendi itu migrain dengan aura*) karena sebelum pusing, dia selalu merasa matanya kunang-kunang lalu disusul pusing di sebelah kepalanya lima belas menit kemudian. Dokter senior makin yakin karena Dendi mengidap fotopobia **)

Tapi beberapa dokter junior berpendapat, penyebab stroke yang dialami Dendi karena darahnya yang cenderung kental, saking kentalnya jadi menggumpal dan menutupi pembuluh darah di otaknya – waktu itu.

Setelah selesai memeriksa, dokter senior pergi untuk memeriksa pasien lain diikuti dokter-dokter muda lainnya. Tersisa satu dokter yang dari kemaren secara intensif mengunjungi Dendi.

"Dok, emang hubungannya migrain sama stroke apa?" Caesar bertanya.

Dendi lagi-lagi mengucap syukur karena sahabatnya itu menyuarakan pertanyaannya dalam hati.

"Satu persen penyebab stroke itu migrain."

"Satu persen? Dan saya kena yang satu persen itu dok?" Dendi ngga percaya.

Dokter mengangkat bahu. "Belum bisa dipastikan Mas, kalo menurut saya sih karena darah Mas terlalu kental, jarang minum air putih ya?"

Dendi mengangguk.

"Iya nih Dok, dari hari pertama di rawat sampe hari ini botol yang 1,5 liter belom abis."

Dendi melirik sinis ke Caesar.

Dokter itu geleng-geleng kepala. "Jangan gitu Mas, ngga baik, pantes aja darahnya kental banget, tadi pagi saya cek INR***) Mas rendah banget."

"INR itu apa Dok?"

"INR itu simpelnya angka yang menunjukkan seberapa cepat darah Mas memeku, semakin kecil angkanya berarti darah Mas kental."

"Normalnya berapa Dok?" Caesar bertanya.

"Kalau ngga minum obat, dari 0,7 sampai 1,2 – tapi karena Mas-nya ini minum obat harusnya 2 sampai 3, tapi obatnya juga ngga akan bekerja maksimal kalau Mas-nya minumnya sedikit."

Dendi sebel. Jadi penyakitnya ini – menurut si dokter junior – cuma perkara dia malas minum? Sepele banget, tapi sakitnya langsung parah.

"Tadi hasilnya dia berapa Dok?"

"Satu." Dokter geleng-geleng kepala. "Ini kental banget darahnya loh Mas, biasain minum air yang cukup."

Dendi mendengus. "Cuma karena air Dok? Sepele banget penyebabnya."

Dokter itu menaikan alis. Ia memasangkan alat pengukur tensi di lengan Dendi. "Sepele tapi penting Mas, selain minum juga musti istirahat yang cukup, tidur maksimal jam sepuluh."

Dendi membuka mulut. Ngga percaya. Apa-apaan. Dikira dia anak SD yang jam tidurnya diatur-atur.

"Lebih baik tidur cepet terus bangun subuh dibanding tidur kemalem bangun siang, Mas."

"Kalo dia mah tidur kemaleman, bangun kepagian."

Dendi merutuki sahabatnya. Bukannya membela, malah makin mojokin.

"Mas tidurnya semalem nyenyak ngga?"

"Ngga terlalu Dok, badan saya yang kiri nyeri semalem."

"Iya, pantes tensinya tinggi." Dokter itu merapikan alat-alatnya. "Sebentar, saya balik lagi bawa obat pereda nyeri ya."

"Makasih Dok." Itu suara Caesar – bukan Dendi, karena Dendi masih ngedumel.

Siang ini, senior Pak Bos dan Bu Bos datang menjenguk Dendi – tapi sayangnya Dyvette lagi ngga jaga karena dia kepengen nginep lagi nanti malem.

"Bisa juga sakit kamu, Den?"

Dendi memilih duduk daripada berbaring. Badannya mulai sakit-sakit karena dari kemaren tiduran terus.

"Kata dokter sakit apa?" Itu Bu Bos yang nanya.

"Stroke ringan, Bu."

"Waduh, jompo juga kamu Den."

Dendi menelan ludah. Mau marah karena dikatain jompo tapi ditahan. Ngga boleh marah sama calon mertua yang sekaligus bos. Bisa-bisa batal nikah terus dipecat pula.

Dendi hanya tersenyum akhirnya.

"Kalo stroke itu pantangannya banyak kan ya?" Pak Bos bertanya.

Dendi menggeleng. Tes kolesterol, tensi, gula dan tiroidnya normal semua. Jadi sebenernya dia ngga ada pantangan makan apa pun, cuma musti jaga pola hidup aja. Musti minum air yang cukup, musti tidur minimal enam sampai delapan jam, jangan stress sama minum obat rutin.

"Pantangan makan sih ngga ada pak, tapi katanya ngga boleh stress aja."

Sebenernya ini kode. Kode supaya Dendi dikasih kerjaan yang gampang-gampang aja, kerjaan yang ngga perlu nguras otak dan tenaganya, kerjaan yang ngga harus bikin dia lembur, tapi gajinya musti segede yang sekarang. Kalo gajinya dikurangin, stress lagi.

Dendi emang gitu, suka manfaatin keadaan.

Bahu Dendi dipegang sama Pak Bos. "Kamu stress karena ngadepin Avi ya?"

Dendi melotot. Bukan, bukan itu maksudnya. Dan matanya lebih membulat lagi waktu melihat sahabatnya menahan tawa di belakang kedua calon mertuanya.

"Tuh, kamu bilangin anak kamu, pake baju yang bener." Pak Bos ngomong ke Bu Bos. "Dendi stroke gara-gara Avi pake baju kebuka, besok-besok bisa Papi yang stroke."

Bu Bos mendelik. Lalu mengetuk-ngetuk jidat dan meja dengan tangannya. "Amit-amit, jangan sampe."

Dendi jadi penasaran, apa Dyvette emang udah kebiasaan pakee baju terbuka begitu. Terus emang Pak Bos sama Bu Bos ngga marah apa ya kalo anaknya pake baju begitu. Kalo dia jadi bapak sih, mencak-mencak pasti kalo anak perempuannya pake baju kaya gitu.

"Emang Avi daridulu udah pake baju begitu ya?"

"Iya." Pak Bos jawab dengan enteng.

"ENGGA." Bu Bos sewot.

Oke, Dendi terjebak dalam pertengkaran rumah tangga lagi.

"Dia gitu buat cari perhatian kamu doang, Den, dia tuh dari kecil cara nyari perhatiannya emang aneh-aneh." Pak Bos menjelaskan.

Dendi bisa melihat mata Bu Bos hampir mau keluar waktu melototin suaminya. "Anakku ngga aneh-aneh ya."

"Iya." Pak Bos mengalah. "Dulu waktu kecil..."

Dendi mendengarkan cerita yang mengalir dari mulut Pak Bos.

Katanya, dari kecil itu Dyvette anak Si Mbok – karena orang tuanya super sibuk dan emang nyerahin anak mereka ka Si Mbok. Bahkan dulu waktu di kasih cuti hamil tiga bulan, Bu Bos cuma ambil satu minggu.

Dyvette tumbuh sebagai anak yang dimanjakan dengan boneka-boneka dan mainan mahal, tapi ngga ada orang tuanya di sampingnya. Bahkan setiap anak itu sakit orang tuanya ngga pernah tau, ngga pernah dibawa ke rumah sakit juga.

"Kata Si Mbok, Avi bilang mending di rumah aja, pasti nanti malem Mami sama Papi liat Avi, kalo di rawat di rumah sakit makin ngga ketemu."

Padahal mah boro-boro ngeliat. Tiap pulang ke rumah tengah malem, Pak Bos dan Bu Bos udah capek banget dan langsuung tidur. Senin sampe jumat rutinitasnya sepenuh itu. Sabtu pun kadang pergi ketemu klien. Cuma hari Minggu ketemu, ngajak ke mall paling lama tiga jam – dibeliin mainan yang banyak terus pulang juga pada masuk kamar karena mau istirahat.

Dendi ngga menyangka, Dyvette tumbuh seperti itu. Dia kira, tunangannya itu udah dimanjain dari kecil.

"Puncaknya waktu kelas lima SD, dia nonjok anak laki sampe mimisan."

Mulut Dendi terbuka. Ngga nyangka tunangannya se-bar-bar itu. Untung mereka ngga satu SD. Untung waktu dulu dia bertindak nyebelin ngga dapet bogem.

Pak Bos melanjutkan ceritanya. Waktu nonjok teman sekelasnya, selama dua minggu berikutnya Dyvette ngga masuk sekolah. Orang tuanya ngga tau sama sekali karena mereka berangkat lebih pagi dari itu.

Bahkan, dulu, wali kelasnya ngga tau nomor telpon Pak Bos dan Bu Bos – karena dulu waktu isi lembaran data murid dan data orang tua, Dyvette ngisi nomor ponsel Si Mbok dan supirnya.

"Saya juga ngga tau gimana, pokoknya bu guru-nya dapet nomor kantor, terus nanyain Avi kenapa ngga masuk sekolah."

Pak Bos langsung nelpon Bu Bos dan setelah itu mereka langsung pulang ngeliat putri satu-satunya lagi enak-enak berenang daripada sekolah.

Bu Bus udah marah-marah, bahkan sempet nanya, anaknya itu gedenya mau jadi apa kalo dari kecil aja udah nonjok anak cowok terus udah bolos-bolos. Pokoknya marah banget.

Tapi katanya pertanyaan yang keluar dari mulut Dyvette malah bikin Bu Bos nangis, sakit hati. Sakit hati sama dirinya sendiri.

"Avi udah bolos dari minggu lalu, kok Papi sama Mami baru nanyain sekarang?"

Dendi mengerti arti pertanyaan itu.

Sama aja kaya misalkan kalian ketinggalan berita Jessica Iskandar dan Richard Kyle udah tunangan. Kalian terlambat tau atau sama sekali ngga tau berita itu karena pasti kalian ngga tertarik sama pasangan itu.

Beda cerita kalo kalian mengidolakan pasangan itu, pasti kalian bakal mantengin sosial media mereka, bakal ngasih perhatian berlebih ke pasangan itu kan?

Nah ini berarti, Pak Bos dan Bu Bos se-ngga perhatian itu sama anak mereka. Makanya sekalinya dapet pertanyaan gitu, nyeseknya bukan main.

"Terus karena saya bingung, saya malah ngejar istri saya, terus saya baru jalan dikit, saya denger Avi ngomong dan itu malah bikin saya makin sedih."

"Ih, kok Papi sama Mami pergi lagi? Baru juga Avi seneng Papi Mami ada di rumah."

Bisakah kalian membayangkan betapa kesepiannya Dyvette waktu itu?

Rumahnya ngga sepi, banyak orang yang kerja di rumah saking besarnya itu rumah. Dyvette juga punya banyak mainan canggih pada jamannya yang bisa dimainin. Pak Bos dan Bu Bos juga ngga pernah melarang anaknya kalau mau ke jalan-jalan ke mall sama temen-temennya. Pasti dikasih kok duitnya.

Tapi sayangnya, bukan itu yang Dyvette butuhkan di umurnya dulu. Yang dibutuhkan Dyvette belasan tahun lalu adalah sosok kedua orang tuanya.

Dendi mengucap syukur masa kecilnya cukup membahagiakan. Kedua orangtuanya ada untuknya, ditambah tiga kakaknya yang hobi banget ngisengin dia.

"Terus saya minta istri saya resign dari kantornya, ngurus anak di rumah, ajak jalan-jalan, ajak main." Pak Bos menutup cerita memilukannya.

"Avi emang gitu Den tingkahnya kalo mau dapet perhatian, dia bakal ngelakuin apa yang orang ngga suka supaya di-notice." Bu Bos berbicara.

Dendi menganggukan kepala. Ia paham. Tapi kan selama ini dia udah sering melarang, emang itu kurang perhatian?

"Avi suka dikasih tindakan, bukan omelan."

Lah? Kan dia juga udah suka ngasih tindakan. Udah sering juga milihin baju yang lebih pantes dipake, itu kan tindakan. Kurang emang?

Oke, nanti pas gue sembuh, gue ke rumahnya gue buang-buangin aja baju seksinya.

✖✖✖✖✖

*) Migrain dengan aura = fenomena neurologi fokus yang muncul sebelum atau selama sakit kepala.

**) Fotopobia = sensitif terhadap cahaya.

***) INR = suatu uji laboratorium untuk menentukan seberapa lama waktu yang diperlukan darah untuk membentuk bekuan. 

Masih ada yg sebel sm Avi kalo dia nakal?

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro