[6] Kamu Gila, ya?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan lupa jejaknya😘

Aku suka bacain komen kalian😂 Sebisa mungkin bakal kubales😊

Follow instagramku: chocodelette.
Thankyou😘

Hal yang paling menyakitkan adalah ditinggal waktu lagi berjuang keras.

-Dendi-

Bus yang bermuatan 35 orang berjalan dengan lancarnya melewati daerah yang sangat terkenal sering macet. Cikarang. Masih pukul lima. Ke arah Bandung belum terlalu macet, biasanya macet jam delapan ke atas.

Dendi dan Jason memilih duduk di kursi paling belakang yang harusnya diduduki lima orang. Hampir 70% isi kantornya adalah perempuan. Kalau yang laki-laki pasti anak baru. Jadi Dendi dan Jason merasa berkuasa untuk menjajah daerah belakang.

Dyvette memilih duduk di bagian tengah. Ngga mau deket-deket sama Dendi karena masih sebel ternyata laki-laki itu udah punya pacar dan ngga bilang. Tapi ngga rela juga kalau duduknya kejauhan.

Dendi sebenarnya berusaha tidur karena dia males ngapa-ngapain. Sebenernya dia masih belom rela, akhir pekannya harus diganggu oleh orang-orang kantornya. Sekalipun untuk jalan-jalan.

Jason yang duduk di sebelahnya terus mengecohkan usaha temannya itu. Ia yang sudah membawa gitar daritadi bernyanyi dengan keras. Untung suaranya yang bagus.

"Diem napa!" Dendi sewot. Lalu menutup wajahnya dengan topi di hoodie-nya. Tadi sebelum berangkat, mereka emang ganti baju yang lebih santai dulu. Kan males ya kalau di bus tapi pake kemeja. Gerah.

Jason tertawa sebentar. Namun tak mengabulkan permintaan Dendi.

"Dito, Rendi, Leon, Anju," panggil Jason pada teman-teman kantornya yang lain. Mereka laki-laki hanya ber-enam. "Karokean sini."

Ke-empatnya yang duduk di bagian tengah langsung menghampiri kursi belakang. Menyanyikan lagu-lagu Indonesia yang hits pada jamannya.

Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa,

Percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang melepas semua kerinduan yang terpendam

Dendi memasangkan handsfree ke telinganya karena males denger lagu yang dinyanyikan. Lagu itu kembali mengingatkannya ke kejadian dua tahun lalu, waktu mantannya (re: Dinda) bilang kangen sama dia dan minta dia pulang.

Dendi menyalakan kamera di laptopnya. Di layarnya kini sudah terpampang wajah Dinda, mantan pacarnya waktu kuliah dulu. Walaupun mereka putus, mereka masih sering video call seperti ini.

"Lagi ngapain?" tanya Dendi.

"Abis mandi." Dinda menggunakan kaos kuning dengan handuk yang melilit rambutnya.

Jadwal mereka video call adalah tiap di tanggal genap alias dua hari sekali. Tapi setiap harinya mereka bertukar pesan. Dinda mau tau keadaan Dendi di Belanda, dan Dendi juga wajib tau apa yang dilakuin Dinda di Jakarta. Bahkan kadang mereka masih saling minta ijin untuk melakukan sesuatu.

Masalah status, mereka memang tidak terikat. Tapi hati masing-masing masih saling terikat. Dulu, waktu kuliah Dinda minta putus karena demi kebaikan Dendi. Dulu, waktu pacaran Dendi bilang mau lulus bareng sama Dinda padahal Dendi lebih tua satu angkatan. Dinda mau pacarnya fokus untuk menyelesaikan kuliahnya.

Walau diiringi tangisan drama Dendi namun ia sadar hal itu adalah pecutan untuk dirinya. Dan hebatnya, ia kuat ngga berkomunikasi sama Dinda selama menyelesaikan skripsinya namun tetap mencantumkan nama perempuan itu di daftar terima kasih dalam skripsinya. Setelah Dendi lulus pun, mereka memilih untuk menjalani hubungan tanpa status.

"Kangeen, kamu kapan pulang sih Den?" Dinda memberengut manja.

Dendi sungguh menikmati pemandangan yang terpampang di layar laptopnya. "Hm, liburan natal kali ya?"

"Yah, empat bulan lagi dong?"

Dendi mengangguk. "Yang liburnya bisa rada lama itu doang."

Dinda mengerucutkan bibirnya. "Kamu emang ngga kangen aku?"

"Kangen." Dendi memberikan senyum yang sangat tulus. "Tapi gimana? Kan aku beasiswa, ngga bisa sembarangan bolos."

Walaupun dalam hati sedih, namun Dinda mengangguk, berusaha mengerti."Iya sih."

Obrolan dilanjutkan selama lima belas menit, sampai akhirnya Dinda bilang dia mau tidur. Maklum, perbedaan waktu di Belanda dan Jakarta terpaut lima jam. Di Jakarta sekarang sudah hampir jam dua belas malam.

Dendi melipat tangannya di depan dada. Memasang lagu dengan volume paling keras. Sedangkan Jason dan yang lainnya masih berusaha mengganggu Dendi yang ngga mau ikutan.

Sampai hampir setengah jam, Dendi yang pura-pura tidur masih belum bisa terlelap dan lagu di ponselnya mati. Reflek, ia langsung membuka mata dan menemukan ponselnya sudah mati karena kehabisan baterai. Dengan kesal, ia akhirnya memasukkan ponselnya ke dalam tas dalam keadaan dicharge menggunakan power bank.

"Mas, kemaren gue denger live music gitu lagunya enak banget." Anju bercerita.

"Judulnya apa?" Jason bertanya. Hampir semua lagu Indonesia yang enak pernah dia denger dan dia suka. Dia bahkan lebih suka lagu Indonesia dibanding lagu luar.

"Jangan tergesa-gesa, Mas."

"GUA TAU!" Jason berteriak semangat. "Fix nyanyi."

Jaga dulu jarak kita jika tak ingin akhirnya kau menangis lagi

Dendi mendengar lirik per lirik dengan seksama. Karena emang ngga ada lagi yang bisa ngalihin perhatiannya. Mau tidur juga susah. Bukannya jam tidurnya. Biasanya kan jam segini dia masih kerja dan baru pulang paling cepet satu jam lagi.

Mungkin kau dapat perannya tapi hanya sebagai bayang-bayangnya saja.

Tentu suara itu sampai ke bagian tengah bahkan depan. Dyvette di tempatnya pun kedengeran. Ia ingin sekali menoleh ke belakang dan ingin sekali mendengar suara Dendi bernyanyi.

Jangan minta jatuh cinta luka lamaku juga belum reda beri dulu aku waktu untuk sembuh sendirinya,

Jangan minta jatuh cinta sakit sebelumnya masih kurasa beri waktu hingga aku mampu lupakan semua

"Kasian Mas Dendi kesiksa di belakang." Alin bergumam di sebelah Dyvette.

Dyvette ngga merespon apa-apa. Namun ia yang tadinya fokus melihat ke arah jendela, memerhatikan rintik hujan, kini melirik ke Elin.

"Pasti jadi keinget Mba Dinda, deh." Alin menengok ke belakang.

Dyvette menaikan alisnya saat mendengar satu nama disebut. Dinda.

"Dinda siapa?" Dyvette akhirnya bertanya karena ngga kuat menahan rasa penasarannya.

Alin menoleh. "Apa Mba?"

"Dinda siapa?" ulang Dyvette. "Pacarnya Mas Dendi?"

Alin terdiam. Ngga berani menjawab. Karena orang kantor yang tau mengenai drama percintaan Dendi yang tragis cuma dia dan Jason. "Mba anggep aja ngga pernah denger nama itu."

Semuanya sampai di villa yang dituju pukul sebelas malam. Yang perempuan langsung menuju kamar masing-masing. Tiap kamar dihuni dua orang. Dyvette gemas karena dia harus tidur dengan Gita, bagian keuangan di kantornya. Gemes karena ngga bisa mengorek lebih dalam tentang siapa Dinda. Sedangkan Alin merasa beruntung ngga sekamar sama Dyvette melainkan sama Bu Yuni karena takut dicecer pertanyaan, takut ngebongkar rahasia Dendi.

Dyvette memilih untuk keluar kamarnya, pergi ke belakang villa untuk menenangkan pikirannya. Ia harus melakukan aktivitas yang biasa ia lakukan saat merasa hatinya ngga enak.

Sedangkan Dendi dan Jason setelah meletakkan barang bawaan di kamar langsung turun ke bawah dan memesan nasi goreng yang berjualan persis di depan villa yang mereka akan tinggali sampai dua hari ke depan.

"Den, lo masih bête gara-gara ikut kesini?"

Dendi menoleh. Lalu menggeleng. "Engga."

"Bo'ong," tuduh Jason. "Lo daritadi ngga ngomong apa-apa Den."

"Bener anjir!"

"Nah kalo gini gue tau lo udah ngga bête." Jason cengengesan.

Nasi goreng sudah ada di tangan mereka. Mereka makan dengan lahapnya hingga kurang dari sepuluh menit, nasi goreng yang menggunung itu habis.

Dendi langsung berdiri untuk mengembalikan piring ke bapak penjual nasi goreng. Lalu mengatakan, "temen saya yang bayar ya pak." Dan melengos pergi.

"Kampret." Jason mengutuk.

Setelah membayar, Jason bergegas mengejar Dendi. Ingin memukul kepalanya. Emang kadang suka seenaknya sendiri si Dendi ini. Baru tangannya melayang ingin memukul kepala Dendi dari belakang, namun pergerakkannya terhenti karena mendengar pertanyaan yang terlontar.

"Dinda apa kabar ya, Son?"

Jason kenal Dinda karena dulu sering jalan bareng Dinda dan Dendi. Dinda juga sering nyamperin Dendi ke kantor.

Jason ingin memaki namun saat menyadari raut wajah temannya, ia langsung mengurungkan niatnya.

Wajah Dendi sangat terlihat mengenaskan. Ia berjalan dengan tatapan nanar. Ia masih belum bisa melupakan perempuan yang mungkin sampai detik ini menguasai hatinya. Perempuan yang membuatnya berjuang untuk melakukan segala sesuatu untuk menjadi mapan seperti sekarang ini. Perempuan yang membakar semangatnya untuk bekerja keras supaya suatu saat nanti mereka menikah perempuan itu ngga perlu repot mencari uang.

Namun, perempuan yang sama yang mematahkan hatinya hampir dua tahun lalu. Perempuan yang jauh-jauh datang ke Belanda demi memberi kejutan tepat di hari ulang tahun Dendi. Perempuan yang saat kehadirannya di Belanda membuat hari-hari Dendi sangat bahagia, namun memberikan perpisahan yang menyakitkan. Saat Dendi menghantarkan perempuan itu ke bandara, mereka berpelukan dengan air mata masing-masing. Dendi menangis karena harus membiarkan perempuannya ke Jakarta sendiri. Sedangkan perempuan itu menangis karena harus memberikan undangan pernikahannya pada Dendi. Kado ulang tahun terburuk bagi Dendi.

Perempuan itu, Dinda.

"Den..."

Dendi ngga menjawanb, namun melangkahkan kakinya ke kolam renang di belakang villa ini. Diikuti Jason di belakangnya.

"Buka hati, Den, lo bisa dapet yang lain." Hanya itu yang bisa Jason berikan saat ini untuk Dendi.

"Tapi gue yakin dia jodoh gue."

Jason menggeram. Kedua tangannya sudah terkepal di samping tubuhnya.

"Kenapa bego banget sih lo?"

Dendi enggan membalas. Ia tau ia memang bodoh. Masih menaruh hati pada perempuan yang sudah menikah. Dan menikahnya disaat ia sedang berjuang keras di luar negeri. Ia menyetujui untuk kuliah di luar negeri untuk memudahkan karirnya, saat karirnya lancar maka pemasukannya akan lancara. Jadi ia bisa menikahi perempuan itu.

"Kamu tunggu aku dateng ke rumah bawa cincin ya," kata Dendi dulu tepat di hari wisudany setelah menerima bunga dari perempuan yang menjadi pemilik hatinya.

Belum sempat Dendi membawakan cincin itu, tapi udah ada laki-laki lain yang memasangkan cincin di jari perempuannya. Waktu itu, Dendi bingung harus berbuat apa. Perempuannya waktu itu berumur 27 tahun, memang sudah siap untuk menikah. Namun Dendi masih merasa belum cukup secara financial.

Suara hentakan air masuk ke telinga Dendi, membuatnya kembali ke masa sekarang. Matanya langsung membulat saat melihat pemandangannya. Tanpa ba-bi-bu, ia langsung menyeburkan dirinya ke tengah kolam renang dan menarik Dyvette.

Jason yang masih merutuki kebodohan Dendi sampai kaget.

"KAMU GILA YA BERENANG TENGAH MALEM GINI?!"

25/05/2019

Gimana part ini menurut kalian?

Dear Dendi...

Dear Dyvette...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro