06 - 02 - 2021 : Jebakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke-6: Buat karya dengan tema dan genre berikut:





...

Jebakan

Tim penggalian memutuskan untuk masuk lebih dalam. Setelah penemuan mumi dan naskah kuno sebelumnya, para peneliti yakin masih banyak makam-makam lainnya yang belum ditemukan di bagian bawah kuil.

Elvan menjadi salah satu orang yang terlibat. Bersama Dion, Kandhi, Ray, dan Cyon, mereka menelusuri bagian kuil yang belum terjamah.

Sebelum penelusuran, dia bersama tim melihat bagian makam yang telah dibuka terlebih dahulu. Ruangan itu cukup luas. Dindingnya dihiasi tulisan dalam Bahasa Alaf dan ada beberapa gambar dewa-dewi bangsa Alafathe. Gambar-gambar itu mengisahkan tentang perjalanan setelah kematian.

Beberapa pekerja terlihat sibuk meneliti peti-peti itu ditemani cahaya obor di dinding  dan senter di tangan. Suara gema langkah dan obrolan bergema di seluruh ruangan.

Elvan dan tim mulai bergerak. Mereka menyusuri lorong dari sisi kiri pintu masuk. Dinding batu granit bertuliskan huruf-huruf kuno menemani perjalanan. Lembap, pengap, dan bau tanah. Semua bercampur satu dengan lantai yang agak berair.

"Kau tidak mau menjelaskan apa arti dari tulisan-tulisan ini?" Dion yang sedari tadi diam membuka suara. Pertanyaan itu untuk Elvan.

"Aku bukan pemandu wisata, sayangnya," Elvan menjawab tanpa melihat si penanya. Mata hijau pemuda itu fokus mengamati tulisan di dinding.

"Ayolah, kami juga, kan, penasaran."

Elvan mengarahkan senternya ke wajah dari bawah, membuat kesan horor. Dia lantas menghadap Dion dan yang lainnya. "Dalam hening kami terlelap, ke dalam hampa kami berada."

"Itu artinya apa?" Ray, anggota termuda, memberanikan diri untuk bertanya.

"Itu perandaian tentang kematian." Elvan mengangkat bahu. "Ayo, kita lanjutkan."

Baru beberapa langkah, Elvan memperingatkan. "Hati-hati. Kita sudah mulai dekat dengan kamar utama."

"Kalian tahu? Biasanya di film-film akan ada sesuatu yang terjadi kalau latarnya seperti ini—" Cyon yang berniat berkelakar terhenti karena peringatan Elvan.

"Berhenti, Semua!" seru Elvan sambil merentangkan tangan.

"Ada apa?" Ray yang penasaran menyusul ke arah Elvan yang ada di depan.

"Jangan mendekat!" titah Elvan, tetapi terlambat. Ray sudah keburu menginjak lantai jebakan. Bunyi "klik" mengiringi. Dan pijakan Elvan hilang.

"Aaa!!!!" Suara teriakan Elvan bergema. Dia jatuh.

Sebelum benar-benar mencapai dasar, tangan lelaki itu ditahan oleh seseorang. Ray dengan sigap menahannya dari kematian. Lantai dasar yang diterangi cahaya senter memperlihatkan duri-duri tajam. Mata Elvan membulat, keringat dingin mulai bercucuran, degup jantungnya semakin cepat. Telat sedetik saja dia tinggal sejarah.

Pegangan Ray mulai melemah. Tenaganya tidak cukup kuat untuk menahan bobot Elvan lebih lama.

"Bantu aku, jangan diam saja!" pinta Ray kepada tim. Mereka terlalu syok dengan apa yang baru terjadi.

Hampir saja tangan Elvan tergelincir, tangan lainnya berhasil menggenggamnya. Disusul tangan-tangan lainnya. Mereka menarik pemuda itu dalam satu tarikan sampai jatuh menindih tubuh masing-masing.

"Aku ... Aku kira ... akan mati ... tadi ...." Elvan terengah, susah payah mengambil napas.

"Apa kita tunda saja ekspedisi kali ini?" usul Cyon.

Elvan melihat teman-temannya. Mungkin itu ide yg bagus mengingat dia hampir saja mati tertusuk.

"Kita sudah sejauh ini. Lagi pula, ini sudah risiko pekerjaan," ucap Kandhi sambil berdiri. "Profesional, lah."

"Kita lanjutkan sedikit lebih jauh. Setelah itu kita tandai dan langsung kembali," usul Elvan. Ray membantunya berdiri.

Dion agak ragu dengan usul tersebut. Dia hampir saja kehilangan temannya di hari pertama bertemu. Namun, seperti kata Kandhi, dia harus profesional.

Mereka melompati pintu jebakan. Menyusuri lorong sampai bertemu pertigaan. Elvan menyorotkan senter ke tulisan yang ada di dinding di depannya. "Ini peringatan agar tidak ada yang mendekati makam raja dan mengganggunya."

"Kita bisa kembali?" tanya Ray. "Mungkin kita harus meminta bantuan tim lainnya untuk membantu."

Elvan melihat temannya satu per satu. Ekspedisi ini lebih berbahaya dari yang dia kira. "Oke—"

Klik.

Pintu jebakan lain muncul dari bawah mereka. Dion tidak sengaja mengaktifkannya ketika bersandar.

Suara teriakan bersahutan. Mereka semua jatuh ke kegelapan. Cahaya senter menari menerangi wajah mereka yang panik.

Kandhi mengeluarkan pisau dari tas pinggangnya dan berusaha menancapkan benda itu ke dinding. Ia menahan kejatuhannya bersama Dion yang menempel di kakinya disusul Cyon kemudian. Sementara itu, Elvan dan Ray terus jatuh sampai sinar senter mereka tidak terlihat.

"Aaaw ... Sepertinya tulangku ada yang patah."

"Dion? Ray? Cyon? Kandhi?" Elvan memanggil nama teman-temannya, tetapi hanya ada satu suara yang terdengar.

"Aku ... di sini," sahut Ray.

Kegelapan menyerang. Senter mereka tidak menyala.

"Aku tidak bisa melihat! Aku buta!" Ray berteriak histeris.

"Tenanglah, aku juga tidak bisa melihat." Elvan berusaha berdiri. Tangannya menggapa-gapai mencari dinding.

"Kak ... Kak El!"

"Aku di sini. Dengarkan suaraku."

"Tidak bisa. Suaramu bergema. Aku tidak bisa menentukan arah," rengek Ray.

"Kalau begitu, teruslah berbicara, biar aku yang ke sana."

Elvan berjalan tertatih menuju gumaman Ray yang tidak jelas. Kakinya terantuk sesuatu. Sebuah senter. Diambilnya benda itu lantas mencoba menyalakannya.

"Kak El!" Ray menghampiri Elvan yang memiliki sumber cahaya. Langkahnya terseret serta tangan kirinya terluka.

"Apa ... Apa yang terjadi padamu?" Elvan melihat tangan Ray, jaringan kulitnya terbuka lebar. Luka itu menganga.

"Ini tidak apa-apa. Hanya luka kecil."

Elvan hanya menatap anak itu iba. Dia tidak punya peralatan untuk membantu.

Pemuda itu mengarahkan senternya ke sekeliling. Reruntuhan dan batuan tersebar di mana-mana. Belum lagi air yang menggenang hasil kebocoran dari Danau Lakuna.

"Ayo, kita harus bergegas." Elvan berjalan tertatih sementara Ray menyeret kakinya. Kedua pemuda itu menyusuri lorong perlahan.

Klik.

Suara gemuruh muncul. Tanah di sekitar bergetar. Bola batu raksasa jatuh di belakang mereka.

"Lari!!!"

Tanpa diperintah pun, mereka akan tetap menghindar.

Ray dan Elvan berlari sekemampuan mereka. Rasa sakit yang mendera seolah hilang sesaat.

Ray terantuk batu. Keseimbangannya hilang. Dia hanya sejengkal dari tergilas sampai menemukan celah untuk bersembunyi.

"Ray!" teriak Elvan. Napas anak itu satu-satu mengingat dia hampir saja mati.

Elvan membantunya berdiri. Kini mereka benar-benar masuk ke ruang jebakan. Lorong itu penuh dengan patung-patung naga yang menghadap mereka dengan moncong terbuka.

Siap atau tidak, mereka harus menghadapinya.

-oOo-

A/N

Nggak tau mau nulis apa lagi Σ(っ°Д °; )っ
Makasih loh bang rayhidayata
Love you (。ŏ_ŏ)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro