5 - PRECIOUS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terlalu sakit untuk diredam hanya dengan permen kapas atau es krim.

Maka malam ini, Sasha yang lama telah kembali.

Selamat datang kembali depresi, terima kasih karena telah menghancurkan kepercayaan seseorang dengan begitu mudahnya.

Kembali mendandani diri seperti dirinya yang lama.

Biar saja keterpurukan menguasainya, toh, tak akan ada lagi yang peduli.

Ia bukan barang berharga, kan?

Bahkan sebenarnya, menurut Sasha sendiri, tak ada pula yang menghargainya.

Buktinya, setelah hari itu, Sasha masih menahan untuk menunggu Nathan menjelaskan semuanya barang sehari. Menceritakan siapa yang ia temui saat itu, seperti hari-hari sebelumnya dimana kekasihnya itu selalu bercerita jika habis bertemu teman.

Tapi justru dua hari terlewati tanpa kabar, bahkan bertemu di sekolah saja Nathan hanya sekedar melayangkan kata-kata manis untuknya.

Sudah cukup basi untuk menerima semua perlakuannya.

Karena bagi Sasha, manusia itu munafik.

Ya dirinya tak mengecualikan siapapun disini, karena ia sendiri juga merasa dirinya terlalu munafik.

Munafik karena telah jelas-jelas memercayai cinta-hal yang ia bantah setengah mati karena keberadaannya dipercaya banyak orang.

Munafik juga karena telah menganggap tak semua laki-laki itu sama.

Sasha kini tengah duduk di sebuah kursi bartender, tanpa minuman apa-apa. Hanya duduk dalam diam. Jika biasanya ia akan menuggu seseorang datang kepadanya sambil minum-minum, maka tidak malam ini.

Entah lah, ada rasa aneh saat kembali ke tempat seperti ini.

Seperti merasakan sebuah kesalahan, tapi logikanya terus memerintahkan hati untuk mengalah.

"Tumben, biasanya pesan minum?" Seorang bartender laki-laki menghampiri Sasha seraya mengelap gelas-gelas kaca di tangannya.

"Sedang tidak berselera." Jawab Sasha sekenanya.

"Patah hati, ya?"

Karena pertanyaan yang satu ini, perhatiannya terpusat penuh kepada sang bartender dengan tag nama 'Kevin' tersebut.

"Tau apa soal patah hati?"

"Siapa? Aku?"

"Siapa lagi yang kuajak bicara disini."

Sang bartender hanya tertawa kecil, kemudian meletakkan gelas di tangannya di etalase meja bar. "Semua orang bisa patah hati, nona. Semua manusia disini, lihat, kan? Mereka semua sepertinya patah hati. Buktinya, mencari keramaian ditengah hati yang kesepian. Mencari kepuasan tapi dari orang lain." Kevin menunjuk beberapa orang yang terhuyung sambil masih menikmati dentuman musik disana.

"Kenapa kau menyimpulkannya langsung begitu? Tidak tahu saja kan kalau sebenarnya hidup mereka itu bahagia, hanya ingin bersenang-senang saja disini." Sasha masih mencoba membantah argumen Kevin saat ini.

Bartender tersebut lalu menggeleng pelan. "Dari sekian banyak pengunjung yang datang aku berani jamin sembilan puluh persen dari mereka korban batin. Entah itu patah hati, depresi, broken home, dan masih banyak lagi. Mereka cuma tidak tahu bagaimana caranya menghargai diri sendiri, membuat diri mereka bahagia tanpa harus kesini. Mereka sendiri yang cerita kepadaku."

Detik itu juga, Sasha bungkam. Benar juga, tadinya ia begitu bukan? Tapi karena sepercik rasa kecewa, semua perubahan baiknya menguap begitu saja ke udara. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Kalau kecewa, bisa jadi penyebab patah hati juga?"

"Nona kecewa? Kepada siapa?"

"Ada, seseorang. Yang sudah sangat berpengaruh di hidupku selama satu bulan ini."

Kevin hanya tersenyum manis, lalu kembali menatap intens mata gadis yang jauh lebih muda dibawahnya. "Bisa. Pasti dia sudah merubah banyak darimu, ya? Satu bulan ini juga kurasa aku tidak melihatmu berkeliaran atau sekedar memesan minum disini."

"Aku memang tidak kesini. Si tuan baik hati menawarkanku tiket emas agar aku juga bisa hidup lebih baik."

"Syaratnya?"

"Tidak ada. Dia teman sekolahku, tuan. Tolong lah, kami masih sekolah."

"Haha, aku hampir lupa." Kevin hanya menepuk dahinya pura-pura. Tapi sebenarnya pantas saja jika ia betulan lupa. Mengingat dandanan Sasha yang seperti ini tak menggambarkan anak sekolah sama sekali. Terlihat lebih tua dari usianya.

Sasha kemudian menceritakan semuanya kepada si bartender. Ia memang sudah kenal cukup lama, dan ia tahu bahwa bartender tersebut berkerja disana bukan tanpa suatu alasan. Ia berada disana karena hanya ingin mengamati lingkungan sekitar club. Menulisnya dalam laporan kemanusiaan di salah satu web internet dengan nama aslinya.

Ya, ia bekerja disini sebagai Kevin-nama samarannya. Semacam agen rahasia untuk meriset perbuatan manusia di tempat gelap seperti ini. Namun keterusan bahkan hingga risetnya selesai. Ada seseorang yang membuatnya tertarik katanya, tapi terlalu sulit untuk diraih mengingat status sosial mereka yang cukup berbeda.

"Itu semua bukan salahmu. Wajar kalau kau sakit hati. Wajar juga kalau kau menangis. Itu manusiawi, kok. Jangan terus mengalah seolah-olah kau bersalah, kasihan hatimu, ingin memberontak tapi tak bisa."

Sasha hanya mengangguk membenarkan. Tak tahu lagi harus apa, bahkan orang-orang yang menghampirinya selalu ditolaknya hanya karena konsultasi cinta mendadak dengan seorang Kevin.

Pasalnya, dua insan manusia itu sudah tampak jatuh cinta terlalu dalam. Bunuh diri namanya jika salah satu dari mereka berselingkuh ketika yang lainnya berusaha menguatkan.

Karena bagi keduanya, mereka adalah rupa dari nirvana yang membutuhkan semesta untuk sekedar nyata. Untuk dianggap keberadaannya di muka bumi. Jangankan nirvana, manusia saja jika semesta tidak tercipta, tak akan menjadi nyata, bukan?

"Boleh aku tebak ciri-ciri kekasihmu seperti apa?"

Sasha mengangguk.

"Kulit tan, tubuh dengan postur tegap, matanya tajam dengan manik cokelat gelap, rahang tegas, alis tebal, hidung kelewat tinggi, dan lesung pipi saat tersenyum?"

Saat Sasha sadar bahwa ciri-ciri yang disebut terlalu detail, ia langsung menengadahkan wajah ke arah Kevin. Melihat Kevin yang memajukan dagu, seolah menunjuk seseorang yang entah sejak kapan sudah berada di belakangnya.

***

"Kenapa kau ke tempat itu lagi?"

"Bukan urusanmu."

"Jelas urusanku. Kau tak bilang apa-apa, atau mau kemana, tiba-tiba saat aku mencarimu, aku menemuimu di tempat seperti ini lagi."

Gadis di depannya hanya tertawa garing. "Jam segini, lebih baik kau pulang kerumahmu. Lalu tidur, daripada bicara tidak jelas. Lupakan semua yang pernah terjadi." Dan bersiap pergi sebelum tiba-tiba langkahnya kembali dihadang laki-lakinya.

"Maksudmu?"

"Aku menyuruhmu tidur."

"Bukan, kalimat terakhir."

"Lup-oh, iya. Lupakan saja. Semuanya."

"Apanya?"

"Tentang kita. Berakhir sampai disini."

***

Note :

Masih ada 1 chap lagi!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro