Chapter 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tadi ada salah ketik nama Mahesa jadi Mahendra, soalnya aku lupaa 😆😆😆😆😆 kasih tau aja ya kalo ada typo atau salah.

"Drea?"

Drea berbalik. "Mm, ya?"

"Mama cariin, ternyata kamu ada di sini." Mama Natra berdiri di ambang pintu.

Drea mengangkat bahu. "Lagi mau masak."

"Nggak usah repot-repot, Mama sudah makan tadi di rumah sebelum ke sini."

Tadinya Drea sedang merenung di depan lemari es yang pintunya terbuka lebar-lebar ketika mama Natra masuk ke dalam pantri. Ia tidak sempat menyembunyikan keadaan lemari es yang tampak menyedihkan karena hanya terisi secuil daging beku di freezer dan sayur-sayuran yang sudah layu. Deretan botol minuman vitamin C saling bertumbukan ketika ia dengan gerakan cepat menutup kulkas.

"Kamu mau masak apa?" tanya mama Natra. Ia tidak mencoba kembali membuka lemari es dan malah melihat-lihat di sekitar kompor. Drea sempat meletakkan sebuah panci kosong di atas kompor sebelum membuka lemari es.

"Ini, tadinya mau masak, Mam. Tapi, ternyata nggak ada yang bisa dimasak kecuali mie  instant." Drea menelan ludah setelah menjawab. Meskipun mertuanya ini adalah salah satu wanita terbaik dan paling ramah yang pernah ia kenal dan tidak pernah sekalipun melontarkan ucapan bernada sinis padanya, tapi tetap saja ia merasa "salah".

"Kamu delivery aja daripada repot masak." Mama Natra tersenyum. Seperti yang ia duga. Ia salah satu perempuan easy going yang Drea kenal. Tidak ada komplain sama sekali.

Tapi tetap saja rasanya salah.
Ia mungkin bisa saja bersikap cuek dengan keadaan lemari es jika hanya ia dan Natra di rumah itu. Tapi tidak ketika mertuanya secara mendadak muncul di sana.

"Iya, Mam. Nanti dipesan. Aku mau nanya Natra dulu maunya makan apa." Drea lalu bergegas mencari kesibukan. Ia membuka laci penyimpanan pisau dan bersikap seolah-olah laci tersebut butuh penataan yang lebih rapi lagi. Padahal semuanya terlihat baik-baik saja.

"Maaf, Ma. Nggak sempat masak sendiri," tambah Drea, semakin kikuk.

"Kamu gabung sama Mama, sama Natra di luar. Sepi banget dari tadi Mama ngobrol berdua aja sama Natra. Sambil ingat-ingat mau pesan makanan apa."

"Aku beresin ini dulu, Mam."

Mama Natra menarik tangan Drea dengan lembut. "Ayo."

"Iya deh, Mam."

***

Natra menoleh melihat mamanya menggandeng tangan Drea keluar dari pantri. Ia pun baru menyadari jika sejak tadi Drea ada di pantri. Ia mengira tadinya Drea ada di kamar.

Drea terdengar minta ijin ke kamar untuk mengambil ponsel, tapi mamanya melarang dan menyodorkan ponselnya yang sejak tadi ada di meja.

"Pake ponsel Natra aja."

Drea menerima ponsel tersebut dengan ragu. Drea baru akan bertanya apakah di ponselnya ada aplikasi Go Food saat ia memberitahu Drea bahwa aplikasi itu selalu ada di ponselnya dan tidak pernah Natra hapus.

"Kalian biasanya mesan makan siang di mana?"  tanya mama Natra dengan wajah penasaran.

Drea memandang ke arahnya sebelum Natra akhirnya memberikan jawaban. "Jarang mesan sih, Mam. Kalo makan siang. Drea kerja. Natra juga kerja."

"Oh iya, ya? Kan makan siangnya di kantor." Mama Natra tertawa.

"Nat, Drea biasanya suka mesan apa untuk kalian?"  tanya mama dengan sedikit rasa penasaran.

"Chinese food sih, Ma. Kung Pao chicken. Atau makanan Jepang kaya hokben."

"Nggak berubah ya dari dulu?"

Drea menambahkan. "Sekarang udah nggak spesifik sih, Mam. Semuanya dimakan asal nggak gitu pedas."

Natra melirik layar ponselnya. Drea nampak sedang mencari restoran yang ia inginkan. Pilihannya terhenti pada salah satu restoran vegetarian.

"Kalo lagi sakit harus banyak makan makanan organik," kata Drea seadanya.

Selama ini mana sempat Drea memikirkan soal makanan organik atau bukan. Lagipula biasanya Drea juga tidak bertanya makanan apa yang ia inginkan karena Drea tahu ia bukan pemilih makanan.

"Nat, dengerin tuh. Mungkin kamu selama ini makanannya banyakan berlemak. Pipi kamu jadi berisi gini." Mama menjawil pipi Natra.

"Pengaruh nikah kan gitu, Ma. Bahagia terus. Jadi berat badan naik. Makan enak, tidur nyenyak." Natra melirik Drea. "Kan ada yang ngelonin tiap malam."

Drea mengerutkan kening tapi tidak ada protes yang keluar.

"Dasar manja ah." Mama menepuk bahu Natra. "Kalo dikelonin tiap malam harusnya...,"

Mama berhenti bicara. Namun Drea mengerti maksudnya.

"Natra ngerti maksud mama." Natra malah membahasnya. "Natra sama Drea memang belum program."

"Mama nggak bakal nanya kenapa."

"Ya Natra bilang aja biar mama sama papa nggak penasaran apalagi nunggu-nunggu." Natra melanjutkan. "Gitu deh."

Drea mengiyakan dengan anggukan pelan, namun Natra berani menjamin Drea pasti sedang kesal gara-gara ia membahasnya.

***

Selesai makan siang, Drea dan mama Natra beralih mengobrol di teras belakang sementara Natra tidur di kamar setelah meminum obat. Mereka terus mengobrol yang entah mengapa lebih sering membahas soal Natra. Bukan hal aneh memang jika seorang ibu membicarakan tentang anaknya kepada orang lain apalagi jika sang ibu sangat menyayangi anaknya. Natra sangat beruntung memiliki keluarga sehangat itu.

"Dari tadi Mama ngomong soal Natra padahal yang Mama omongin juga kamu udah tau semua ya?" Mama Natra tertawa.

"Belum semuanya, Mam." Drea ikut tersenyum.

"Soal Natra yang suka dikelonin kalo lagi sakit?"

"Itu Drea udah tau, Mam. Sejak dulu."

"Kalau gitu ganti topik aja. Dari tadi kamu pasti bosan Mama ngomong soal Natra melulu, sampai-sampai nggak sempat nanya-nanya soal kamu."

"Soal aku?"

"Iya, kerjaan kamu gimana?"

"Baik sih, Mam. Ya, kaya biasa."

"Jangan terlalu sibuk kerja, Sayang. Ingat jaga kesehatan juga."

Drea membalas dengan senyum.

"Oh ya. Maafin Mama kalo tadi sempat keceplosan soal...itu."

"Nggak masalah kok, Mam." Drea sama sekali tidak masalah dengan mama Natra yang tadi menyinggung soal momongan.

Mama Drea juga pernah membahas hal itu dengan Drea. Sekadar mengingatkan karena mama tahu jika Drea belum begitu mau membuka hatinya untuk Natra. Diana pun tahu persis soal itu.

Mama Natra terdengar membuang napas.

"Mama selalu kepikiran kalo Natra lagi sakit. Waktu Mama dulu mutusin mengadopsi Natra, dia kebetulan lagi sakit panas. Semalaman nggak bisa tidur. Menjelang Subuh baru Natra bisa tidur. Sambil meluk-meluk Mama. Katanya nggak pernah ngerasain pelukan sehangat pelukan Mama. Ya sudah. Mama peluk terus sampai panasnya mulai turun."

Mau tidak mau, Drea membayangkan bagaimana sosok Natra sewaktu kecil. 

"Pernah waktu Mahesa sama Natra barengan sakit, mereka rebutan mau tidur sama Mama."

Drea tidak ingat apakah ia pernah mendengar cerita ini sebelumnya. Ingatannya tentang Mahesa lebih banyak tentang kebersamaan mereka. Lagipula, ia tidak pernah begitu tertarik mengetahui masa kecil seseorang sama seperti ia malas jika mama mengingatkan bagaimana cengengnya ia ketika masih kecil.

"Mahesa di sebelah kiri, Natra di sebelah kanan. Waktu itu Mama nanya kalo Mama sakit siapa yang mau melukin Mama sampai sembuh. masih ingat Mahesa bilang harus dia, karena dia yang lebih tua. Natra bilang kalo harus dia karena dia meluknya lebih hangat, katanya."

Mama Natra tertawa. Drea hanya tersenyum menanggapi.

"Mereka adalah alasan Mama untuk selalu tersenyum."

Drea mengangguk.

"Mama senang kalo Natra bisa hidup bahagia sama kamu. Natra udah bikin hidup Mama bahagia sejak dulu sampai sekarang. Nggak pernah nyusahin. Selalu baik sama Mama. Mama juga yakin dia pasti bisa menjaga kamu dengan baik."

Drea kembali mengangguk.

Natra selalu baik kepadanya. Ia saja yang selalu jahat kepada Natra.

***

Natra merasa kondisinya lebih baik setelah tidur. Panas tubuhnya sudah turun, sekaligus tubuhnya terasa lengket karena keringat. AC di dalam kamar memang ia setel pada suhu minimal sebelum ia tidur.

Ia berbalik dan tidak menemukan Drea di sisi sebelahnya. Ia perlahan bangun. Dilihatnya jam weker menunjukkan waktu telah menjelang sore.

Mungkin mama sudah pulang, pikirnya.

Saat ia membuka pintu kamar, Drea menampakkan diri.

"Mama udah pulang. Tadi nggak sempat nungguin lo bangun." Drea menghampiri dan meletakkan punggung tangan di dahi Natra. "Udah nggak panas."

"Panasnya naik juga nggak pa-pa asal dirawat sama kamu."

Drea menggumam. "Dasar modus."

"Thanks ya, Sa-yang."

Drea menunjukkan wajah skeptis, tapi hal itu tidak menghalangi Natra untuk menangkup pipi kiri Drea.

Dalam beberapa detik ia memandang Drea, kemudian mengecup dahi Drea tanpa ragu.

Drea hanya diam.

"Terimakasih." Natra menghela napas lega karena Drea tidak protes.

***

Chap 32

"Orang yang lagi ulangtahun wajib dapat kado."

"Lo mau hadiah ulangtahun? Umur lo lima tahun?"

"Nenek-nenek aja masih ngerayain ulangtahun."

"Ya udah. Nanti gue cari kadonya."

"Aku nggak mau kado yang biasa."








Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro