31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tanpa menunggu esok hari, Rehan segera pergi ke kantor Vera. Pria itu bahkan langsung menuju ruangan pacarnya tanpa bertemu dengan Rani terlebih dahulu.

Lagi pula, wanita itu tidak ada di meja kerjanya. Mungkin tidak masuk kerja atau bagaimana. N

Klek.

Pintu ruang kerja Vera terbuka dengan lebar. Namun, tidak ada satupun orang di dalamnya.

"Mbak, Mbak Vera," panggil Rehan sembari memutari ruang kerja pacarnya itu.

Hal itu tentu membuatnya kembali bingung.

Tanpa mau membuang waktunya, pria itu segera keluar dari ruangan Vera. Namun, sebelum pergi dia menyempatkan untuk bertanya pada salah satu karyawan di kantor itu.

"Mbak," panggil Rehan sembari menarik tangan salah satu karyawan wanita yang tengah lewat di hadapannya.

"Iya, kenapa, Pak?" tanya wanita itu dengan wajah bingung, dia tentu tau siapa yang tengah berbicara padanya.

"Ibu Vera, enggak masuk ya hari ini?"

Wanita yang tidak Rehan ketahui namanya itu pun menggeleng pelan, "Enggak pak, Ibu Vera enggak turun hari ini. Kemarin juga enggak," jelas wanita itu.

Iya, Vera kemarin juga tidak bekerja karena pergi dengan Rehan.

"Oh gitu, ya sudah. Makasih."

Rehan kembali pergi ke parkiran dan menyalakan motor kesayangannya.

"Kemana ya?" tanyanya entah pada siapa.

"Oh iya, rumah Mbak Vera."

Dengan semangat, Rehan melajukan motornya menuju rumah Vera.

***

Sesampai di rumah Vera, pria itu langsung berlari menuju pintu rumah pacarnya. Karena begitu semangat. Pria itu sampai lupa membuka helmnya.

Tok, tok.

Tok, tok.

Tok, tok.

Entah sudah berapa kali pria itu mengetuk pintu rumah Vera, wanita itu tidak menggunakan bel untuk rumahnya karena menurutnya suara bel itu sangat berisik.

Tok, tok.

Tok, tok.

Lagi dan lagi, Rehan mengetuk pintu rumah pacarnya itu. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam rumah Vera.

Rehan kembali dibuat pusing, karena tidak dapat menemukan Vera.

"Harus kemana lagi?"

***

Rehan kembali ke rumahnya tanpa hasil, dia tidak menyangka bahwa menemukan Vera adalah hal yang tersulit untuk dia lakukan.

Sebelumnya, pria itu sudah bertanya pada siapapun. Karyawan kantor, hotel dan juga restoran. Semua menjawab tidak tahu.

Pria itu bahkan merelakan bahwa identitasnya sebagai pacar Vera terungkap, hanya untuk menemukan pacarnya itu. Namun sayang, dia tak kunjung mendapatnya titik terang.

***

Langit-langit kamar Rehan tiba-tiba saja menampilkan wajah Vera yang tengah tersenyum. Hal itu tentu membuat kesedihan kembali menyerang pada Rehan.

Pria itu bingung harus bertindak seperti apa. Seakan semuanya telah ditutup oleh Vera agar dia tidak bisa menemui pacarnya itu.

Kring, kring.

Sebuah panggilan masuk ke dalam ponsel Rehan, pria itu langsung bangun dari tidurnya dan menatap kesal ponselnya.

Ponselnya menampilkan nomor yang dia tidak kenal sehingga hal itu membuatnya kembali menaruh ponselnya di tempat semula, di meja kecil sebelah kasurnya.

Pria itu kembali menidurkan dirinya, kembali membayangkan wajah Vera yang belum dia temui hari ini.

Kring, kring.

Lagi-lagi, ponsel Rehan berbunyi dan panggilan itu dari nomor yang sama seperti sebelumnya.

Pria itu mendengus kesal dan melempar pelan ponselnya.

Ponsel itu tergeletak pas di samping pria itu. Dia sudah malas mengembalikan ponsel itu sehingga dia membiarkan ponsel itu berada di dekatnya.

Kring, kring.

Rehan kembali mendengus kesal. Pria itu bahkan nyaris melemparkan ponselnya ke dinding. Namun, dia terlalu sayang pada ponsel pemberian pacarnya itu.

"Siapa sih yang ganggu malam-malam," gerutu Rehan.

Iya, dia sudah menghabiskan waktunya hari ini untuk menemukan Vera. Namun, belum juga menemukan hasil.

"Halo, siapa sih ini!" pekik Rehan dengan kesal.

"Halo, Re."

Panggilan telepon itu mengeluarkan suara pelan dari seorang wanita, suara yang pria itu pernah dengar sebelumnya.

"Siapa ya?" tanya Rehan dengan ragu.

"Rani, saya Rani, Re," jelas wanita itu yang berhasil membuat Rehan membelalak kaget.

"Rani? Mbak Rani?" tanya Rehan memastikan.

"Iya."

"Mbak, dimana Mbak Vera?" tanya Rehan dengan nada suara khawatir.

Pria itu sangat ingin bertemu Vera, dia ingin menjelaskan semuanya.

"Iya, ini saya mau kasih tau kamu. Tapi, kamu jangan kesini dulu ya. Vera kayanya masih belum siap bertemu denganmu."

"Kenapa, Mbak?"

"Saya juga enggak tau, tapi sekarang Vera aman kok. Dia lagi di rumah saya."

"Syukurlah, tapi saya mau ketemu Mbak Vera, Mbak."

"Enggak, enggak bisa sekarang. Kamu sabar ya ... ," suara Rani terpotong dan kemudian wanita itu seperti tengah berbicara dengan orang lain.

"Hmm, iya bentar lagi aku ke ruang makan," ucap Rani pada seseorang yang entah siapa.

Suaranya terdengar cukup jauh, mungkin wanita itu kini tengah menjauh dari ponselnya agar tidak ketahuan menelpon Rehan.

"Halo, Re. Kamu masih disitu?" tanya Rani, wanita itu kembali melanjutkan pembicaraannya yang sempat terpotong.

"Terus, kapan saya. Bisa ketemu Mbak Vera?"

Rani menggumam dengan pelan, sepertinya wanita itu tengah berpikir.

"Saya enggak bisa pastiin, tapi saya usahain dalam beberapa hari ini ya."

Rehan terlihat begitu bahagia saat mendengar ucapan Rani. Walaupun, wanita itu tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Namun, ucapannya itu berhasil membuat pacar sahabatnya itu legah.

"Beneran, Mbak. Makasih ya, Mbak. Makasih."

"Iya, kamu tetap urus pekerjaan kamu ya. Untuk Vera, biar saya yang urus."

"Baik, Mbak."

"Ya sudah kalau gitu, saya tutup ya telponnya."

"Iya, Mbak."

Bip.

Panggilan telepon itu ditutup oleh Rani, Rehan kemudian menjauhkan ponselnya dan menatap ponselnya dengan lekat di sana foto Vera masih terpasang sebagai wallpaper.

"Semoga kita bisa cepat ketemu ya, Mbak"

***

Hari-hari berikutnya, Rehan sudah kembali pada aktivitasnya seperti biasa. Namun, kehidupannya terasa begitu hampa. Dia hanya bekerja dan langsung pulang ke rumah setelahnya. Begitu lah kehidupan pria itu setiap harinya, hingga akhirnya. Tanpa dia sadari. Rumahnya seperti kapal pecah. Ada banyak sampah berserakan dan juga tumpukan pakaian yang belum dicuci.

"Ini kamar atau apa sih!" gerutunya kesal.

Dia tidak bisa langsung bersiap untuk pergi bekerja pagi ini, sehingga pria itu memutuskan untuk membersihkan rumahnya terlebih dahulu.

Setelah semuanya beres, Rehan kemudian membersihkan diri dan menuju tempat kerjanya.

Sekarang, dia hanya menggunakan motornya. Tidak, pria itu tidak malu. Hanya saja, dia sangat merindukan Vera. Bukan merindukan mobilnya.

'Kapan ya, bisa ajak Mbak Vera naik motor?' tanyanya di dalam hati sembari memperhatikan motor yang dia gunakan.

Kini, pria itu tengah menunggu lampu lalu lintas berubah hijau dan tanpa dia sadari.

Sebuah mobil melintas di hadapannya mobil yang sangat pria itu kenali.

Tanpa berpikir panjang, pria itu segera mengejarnya. Melupakan bahwa dia harus bekerja pagi ini.

Brom.

Entah sekencang apa Rehan melajukan mobilnya yang ada dipikirannya adalah dia harus bertemu dengan Vera.

Persetan dengan omongan Rani beberapa hari yang lalu.

Citt.

Rehan berhasil menghentikan mobil Vera. Iya, pria itu mengejar mobil pacarnya itu dengan sekuat tenaga. Kini, motornya tepat di depan mobil itu.

Pria itu memarkirkan motornya begitu saja dan berjalan menuju pintu belakang mobil tersebut.

Tok. Tok.

Ketukan demi Ketukan pria itu lakukan agar membuat sang pemilik mobil itu membukakan pintunya.

"Mbak, saya mohon. Buka pintunya," bujuk Rehan dengan lirih.

Pria itu terlihat sangat menyedihkan sekarang. Namun, Vera tidak mau membukakan pintu mobilnya.

"Mbak, saya mohon."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro