07 | multiple faces

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



—klik.

menutup pintu di belakangnya, kim jeongin berjalan memasuki apartemennya yang sunyi dan gelap, yakin jika kedua orangtuanya saat ini masih menemani anak sulung mereka di rumah sakit.

langkah gontainya membawa laki-laki itu pada sebuah pintu bercat putih yang sedikit terbuka, sebuah pintu dimana suatu kamar tidur tidak pernah lagi digunakan pemiliknya.

"masih sama," jeongin menyalakan lampu utama dan menatap sekelilingnya. beberapa kali ia melihat sang
ibu yang diam-diam memasuki ruangan ini, namun sepertinya, tak ada susunan yang berubah selain sprei berdebu yang terlepas akibat di duduki.

entah mengapa, setelah pertemuannya dengan jisung beberapa saat yang lalu, jeongin merasa yakin bahwa seungmin selama ini telah menyembunyikan sesuatu dari keluarga mereka. suatu hal yang penting, yang mungkin dapat memberikan jawaban atas kecelakaan yang ia alami — sesuatu, yang berdasarkan intuisinya tidak akan ia sukai.

"pelajaran matematika, fisika . . ." jeongin mengamati tumpukan catatan dan latihan soal yang berserakan
di atas meja belajar. "bahasa inggris, dan— ah, tunggu sebentar. buku apa ini?"

sebuah jurnal bersampul hitam kulit tersusun rapih di antara sederet kebutuhan sekolah lainnya. berbeda dengan sang ibu, ia tahu betul bentuk setiap buku teks yang diberikan oleh sma hanbyul.

kemudian, jeongin membuka halaman pertama.


shadow
"sisi gelap manusia yang tidak ingin mereka
akui dan selalu berusaha mereka sembunyikan, baik
dari dirinya sendiri maupun orang lain."


"eh?" jeongin mengernyitkan dahinya. "apa maksud dari kalimat ini?"

segera, laki-laki itu membalikkan halaman-halaman berikutnya dengan gegabah, meskipun pada akhirnya yang ia temukan hanya tumpukan kertas kosong yang tidak tersentuh. bukankah ini penemuan yang janggal dan cenderung . . . aneh?

"sepertinya aku harus menggeledah kamar ini."

jeongin beranjak dan memasukkan jurnal misterius itu ke dalam tas yang masih ia bawa, sebelum kembali ke mengecek setiap sudut kamar yang berantakan. entah mengapa, ia merasa begitu yakin bahwa malam ini sang kakak akan mengantarkannya satu langkah lebih dekat menuju kebenaran.

meja belajar,

lemari pakaian,

kotak penyimpanan alat tulis,

dan yang terakhir—

—dug! tak sengaja, kepala jeongin menghantam keras kayu penopang tempat tidur seungmin, membuatnya terhuyung ke belakang sembari mengerang kesakitan. kedua tangan mungilnya tidak sekalipun terlepas dari kepala, hingga tanpa sengaja, ia melihat selembar kain berukuran persegi panjang yang ditempel pada salah satu penopang tersebut.

sedikit meringis, perlahan jeongin bangkit dari posisi tidurnya dan melepas kain itu — tersadar bahwa benda yang kini ia genggam adalah sebuah kasa yang dilapisi plester bekas luka. lalu ia membaliknya.

"d-darah yang sudah mengering?" jeongin mengepal kasa tersebut tak percaya. "jadi, selama ini seungmin hyung menyembunyikan cedera luka yang disebabkan oleh oknum-oknum sialan itu?"




P S Y C H O




di depan sebuah rumah bercat abu, han jisung tengah menyenderkan tubuhnya pada mobil mewah yang ia kendarai, merokok sembari menatap kearah jendela — sebuah jendela berukuran besar yang memperlihatkan seorang perempuan, sedang duduk diam tak berkutik seakan-akan jiwanya pergi.

parasnya indah, kulitnya bersih dan rambutnya disisir dengan rapih. persis seperti sebuah boneka.

secara kasat mata, siapapun yang berjalan melewati jalan tersebut pasti tidak akan menyadari bahwa luka batin yang terukir di dalam hati perempuan itu begitu sulit untuk disembuhkan. bahwa hidup dan angannya telah hancur berkeping-keping, dan mungkin tak akan pernah kembali seperti dulu lagi.

dan untuk itu,

jisung meminta maaf.

"lee mina . . . setidaknya kau baik-baik saja," remaja itu tersenyum di antara hembusan asapnya. "maaf karena aku hanya berani melindungimu dari jauh. namun satu hal yang pasti, mulai detik ini dan seterusnya, aku telah berjanji pada orang yang kucintai untuk melindungimu setiap hari."




P S Y C H O




berjalan memasuki ruang kerja, chris menghela napas kasar dan duduk di dalam sebuah kubikel bertuliskan namanya. ia benar-benar tidak habis pikir bahwa kasus percobaan bunuh diri kim seungmin akan berakhir begitu saja.

"nilai yang turun?" ia mendongakkan kepalanya dan memejamkan mata, berusaha mencerna kalimat yang keluar dari mulut woojin kemarin. "cih, apakah kalian pantas menyebut diri kalian polisi?"

jutaan pertanyaan terus menghantui kepalanya, hingga sebuah suara sekelebat membuyarkan lamunan.

—sret.

chris kembali membuka kedua matanya, kini menatap heran kearah rekan kerjanya, lee juyeon, yang menaruh segelas kopi di atas meja.

"sunbae, minum ini dulu," ia mengangkat pundaknya santai. "kau terlihat sangat lelah."

"bagaimana aku tidak lelah jika harus menghadapi kim woojin yang selalu mencari aman? aku benar-benar tak mengerti jalan pikirannya," chris menerima minuman tersebut dan mengangguk tanda terima kasih.

"hmm, entahlah," juyeon menggeleng santai. "apakah sunbae ingin menceritakannya lebih lanjut? kebetulan
aku sedang tidak sibuk."

mendengarnya, yang lebih tua hanya mengangguk tak kuasa.

"kami diberikan sebuah kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh remaja sma. menurutku kasus ini sangat ganjil," mulainya malas. "tak ada alasan untuk anak itu mengakhiri hidupnya, tetapi bukti yang kami temukan di lapangan tak cukup kuat untuk membuat hipotesis lebih lanjut bahwa kasus ini mengarah pada pembunuhan berencana — atau setidaknya, kematian yang terjadi di luar kendali pelaku. aku telah berusaha mendiskusikannya lebih lanjut dengan woojin-hyung, namun entah mengapa, ia terus meyakinkanku bahwa kasus ini hanya didasari oleh grafik nilai yang menurun. benar-benar aneh."

"mungkinkah woojin-sunbae hanya mengikuti perintah atasannya?"

"entah."

"kalau begitu, sunbae sudah mencoba mengecek cctv
di lokasi kejadian?"

"kameranya tidak berfungsi. sepertinya pemerintah
tidak terlalu memperdulikan fasilitas umum bagi para rakyatnya."

"memangnya dimana siswa itu melakukan percobaan bunuh diri?" juyeon mengangkat alisnya bingung.

"jembatan sungai han."

"lalu—"

—drrt, drrt! suara getaran telepon genggam milik chris seketika mendominasi telinga mereka.

"sebentar, ya. ponselku berbunyi."

dengan sigap, laki-laki berwajah kebarat-baratan itu mengambil benda elektronik tersebut sebelum raut wajahnya berubah.

"juyeon-ah," chris memperlihatkan layar ponselnya
pada sang junior yang masih setia berdiri di samping meja. "sebuah pesan dari nomor tak dikenal. apakah
aku harus membukanya?"

"hmm! aku jadi penasaran," juyeon segera memajukan dagunya, yang direspon anggukan singkat.

sebuah gudang dengan pencahayaan minimal menjadi hal pertama yang mendistorsi indera. di dalamnya, dua orang siswa laki-laki dengan pakaian seragam lengkap tengah berhadapan dengan seorang siswa lainnya. laki-laki pertama terlihat membawa pemukul baseball, dan yang kedua memilih memanfaatkan kepalan tangannya sebagai senjata.

jelas, sepasang remaja itu tengah merundung lawannya dengan kekerasan.

sebuah pukulan keras membuat yang sendiri tersungkur. darah segar mulai mengalir di sudut bibirnya, mungkin juga membuat kepala terasa lebih berat akibat pukulan yang kencang. laki-laki itu berusaha untuk berdiri, tapi gagal setelah mencoba berkali-kali.

"satu banding dua," tatihnya perih. "ah, bukankah hal itu membuat kalian terlihat seperti pengecut?"

"jaga lisanmu, kim seungmin!" laki-laki bertubuh kekar dan tak terlalu tinggi itu segera menaikkan intonasinya, membuat sang kawan yang lebih ringkih segera berlari untuk menenangkan.

"mengapa aku harus menjaga lisanku di saat kalian memperlakukan aku seperti ini?" seungmin mengusap darahnya dengan seringai tajam. "seo changbin, felix lee . . . ayolah, hentikan semua omong kosong ini. apakah kalian tidak lelah terus dibodohi?"

"sialan, tahu apa kau tentang hidup kami?!"

laki-laki bernama changbin berusaha memukulnya lagi, namun sebelum itu, seungmin terlebih dahulu menatap remeh pihak ketiga di yang sedang memegang kamera menggunakan dagu seakan-akan ia telah mengetahui segala hal yang ada di luar nalar . . .

segala hal, yang lebih kompleks dibandingkan sebuah perundungan remaja biasa.

"tentang itu," seungmin menggeleng, masih dengan air wajah yang sama. "mengapa kalian tak coba tanyakan padanya?"

setiap manusia memiliki sisi yang mereka perlihatkan pada dunia dan sisi lain yang hanya tersimpan untuk konsumsi pribadi. ada yang memilih untuk membumi, dan ada yang tidak puas sebelum mampu melambung tinggi. baik buruknya — semua itu adalah pilihan yang subjektif.

namun satu hal yang pasti,

apapun pilihan yang diambil, konsekuensi akan selalu datang mengikuti.
















author's note:
pelan-pelan mulai kebuka sedikit ya, hehehe. tapi
udah pasti aku selingin misteri baru 😉 sampai sini
ada yg mau berteori & berkomentar?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro