18 | love is a losing game

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



seorang ibu menginginkan yang terbaik untuk sang anak — itu, adalah suatu hal yang wajar. keinginan untuk melindungi dari bahaya sudah pasti menjadi naluri alamiah.

namun, apa yang mungkin terjadi jika kasih sayang tersebut justru menabur garam di atas luka?

"aku pulang."

menutup pintu di belakangnya, hyunjin menyusuri lorong gelap yang membawa laki-laki itu mendekat menuju area ruang keluarga. tubuhnya terasa lelah setelah seharian beraktivitas. tetapi sekelebat,

seluruh inderanya kembali terjaga ketika ia melihat seorang perempuan paruh baya yang termenung di antara luasnya sofa.

"i-ibu?" panggil hyunjin ragu dari tempatnya berdiri.

"kau sudah pulang?" nyonya hwang segera bangkit untuk memeluk raga sang anak, meskipun berakhir tanpa balasan. "mengapa malam sekali?"

ia hanya menggeleng tak selera. "ada sesuatu yang harus kuselesaikan terlebih dulu."

"sesuatu apa?"

"jangan khawatir," hyunjin menatap figur yang telah melahirkannya itu dengan tajam. nafasnya semakin tercekat. "aku mampu mengatasinya sendiri."

sontak, yang lebih tua tak terima. kedua tangannya langsung mengepal menahan amarah. "sejak kapan anakku berubah seperti ini?"

yang lebih muda memutar bola matanya malas.

"berubah bagaimana?"

"kau—" nyonya kim memejamkan kedua matanya, kemudian duduk kembali di atas sofa. "—kau jadi suka membangkang, tidak pernah menyapa ibumu dengan hangat! apa ibu pernah berbuat salah?"

hyunjin benar-benar tak tahan lagi. kepalanya ingin meledak akibat tuduhan penuh kekangan yang terus dilayangkan.

"ya, ibu memang berbuat salah!" suaranya kini ikut meninggi. "berhenti mencampuri urusan pribadiku, berhenti menganggapku seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa! aku bersyukur jika ibu menyayangiku, tetapi aku bukan benda rapuh yang selalu harus ibu lindungi! aku tahu apa yang aku lakukan!"

air mata sang ibu meluap.

"h-hyunjin..."

"apakah ibu tahu betapa menyiksanya hidup dengan orang tua seperti kalian?" lanjut hyunjin yang sudah terpancing emosi. "setiap hari diikuti, diatur, dipaksa untuk mengikuti keinginan kalian yang bahkan tidak aku sukai."

hyunjin meremat telepon genggamnya kasar sebagai bentuk pelampiasan. ia mulai menggila.

"tidak... ibu tidak tahu, dan ibu tidak akan pernah tahu. karena ego kalian selalu lebih besar dari kasih sayang yang kalian janjikan."

"kau," sang ibu berhenti sesaat, mengusap air mata sedihnya yang membasahi kedua pipi. "...sudah tak sayang ibumu, ya?"

hyunjin segera mengerang frustrasi.

"kau mau ibumu mati, iya? sama seperti saat kedua anak tersebut menjatuhkan diri?" suara perempuan itu perlahan mulai melemah. kemudian, ia berjalan mendekat menuju sang anak yang masih berdiri di dekat tangga, sebelum akhirnya jatuh bersimpuh di hadapannya. "kau lupa, siapa yang membersihkan bukti-buktinya untukmu? ibu melakukan banyak hal hanya untuk menyelamatkanmu!"

keduanya membuang muka, tanpa sadar bertemu pandang dengan kepala keluarga yang menyaksikan kejadian itu beberapa meter dari mereka. semuanya terasa begitu mencekik.

"semua itu ibu lakukan karena ibu..." perempuan itu hanya tersenyum lirih. "menyayangimu."




P S Y C H O




memarkirkan mobil yang mereka kendarai di pinggir jalan, kedua polisi itu bersiap untuk menyusuri area sungai yang begitu panjang, berusaha mencari bukti yang mungkin sempat tertinggal.

"sunbae," juyeon membuka mulutnya sebelum chris dapat membuka pintu mobil. "apakah sunbae yakin, sudah mengecek rekaman cctv-nya?"

"kamera yang mengarah ke lokasi kejadian sudah kupastikan rusak. tempat ini sudah tidak digunakan sebagai fasilitas publik karena dipindahkan ke area pertunjukan air mancur menari, jadi belum sempat diperbaiki."

"sunbae tahu, dimana terakhir kim seungmin berada, sebelum ia pergi kesini?"

"sekolah," ia mengedikkan bahunya. "memang ada apa?"

juyeon segera terdiam, memikirkan sesuatu sebelum mengambil sebuah laptop berukuran besar dari kursi di belakang. semoga saja tebakannya benar.

"kalau begitu, ada beberapa hal lain yang harus kita pastikan sebelum pergi."

bingung, chris menaikkan alisnya. "untuk apa?"

"kita dapat terlebih dahulu memeriksa seluruh cctv yang terletak mulai dari sekolah menuju sungai han. setidaknya, meskipun kita tidak bisa mengetahui apa yang terjadi, kita masih dapat memprediksikan gerak geriknya selama di perjalanan."

tanpa menunggu lebih lama lagi, juyeon menyalakan beda elektronik tersebut dan membuka beberapa file berisikan kumpulan video yang belum disortir. kedua matanya kini memicing penuh semangat.

"jam berapa seungmin melompat dari jembatan?"

"setengah delapan."

mengangguk paham, ia menyeret kursornya menuju timestamp yang dibicarakan.

selama beberapa menit, tidak ada banyak hal yang terjadi. hanya lautan manusia yang berlalu lalang di antara dinginnya malam — itu, hingga kedua polisi tersebut melihat sosok remaja yang setengah berlari melawan angin penghujung musim dingin.

"bingo!" tunjuk chris cepat, membuat juyeon segera menekan tombol zoom in. "mengapa ia malah berlari seperti itu?"

"entahlah," yang lebih muda menggelengkan kepala. "apakah ia sedang ada janji dengan seseorang?"

"setahuku ia sendiri saat ditemukan."

"hm, semakin aneh."

berpindah-pindah lokasi, keduanya terus mengamati gestur seungmin yang tergesa-gesa, sebelum kamera terakhir tanpa sengaja merekam sebuah kejanggalan yang memaksa dua obsidian chris untuk membulat sempurna.

"tunggu sebentar," ia menunjuk layarnya lagi. "lee juyeon, bawa aku kembali ke detik 59."

juniornya itu mengangguk paham.

"—berhenti!"

tak salah lagi. pada rekaman itu, terlihat seungmin yang tengah berhenti di bibir jembatan, tidak terlalu jauh dari tempat yang hampir merenggut nyawanya berada. video tersebut ia dapatkan dari kamera yang terletak di dekat area parkir.

namun, bukan keberadaan seungmin yang membuat chris begitu terkejut. tetapi potongan gambar ujung kaki berbalut sneakers,

yang menandakan bahwa ia tidak pernah sendiri.




P S Y C H O




pagi ini adalah giliran kim jeongin untuk menemani sang kakak. setelah hampir sebulan menghabiskan waktu di ruangan yang penuh sesak ini, akhirnya, ia berhasil meyakinkan orang tuanya untuk beristirahat dengan santai di rumah.

juga, laki-laki itu masih memikirkan pertemuannya dengan han jisung semalam. bila pada akhirnya titik tengah gagal mereka temukan, apakah jeongin harus mengotori tangannya demi membayar bantuan yang telah diberikan?

ah, ia akan memikirkan itu nanti.

memandang sosok si sulung di hadapannya, jeongin hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.

"hyung, apakah kau tidak bosan tidur terus?" tanya yang lebih muda dengan nada manja. "kau bahkan melewatkan ulang tahunmu sendiri. aku janji, ketika kau sadar nanti, akan menemanimu menonton 'train to busan' seharian. jadi bangunlah, eoh?"

hening.

seperti yang telah ia ramalkan, seungmin masih juga tidak bergeming. teknik merajuknya yang dulu selalu berhasil, kini tidak lagi bekerja seperti sedia kala.

"kau tahu, hyung, hal apa saja yang sudah aku lewati selama kau berada disini?" monolognya lagi. jeongin rasanya ingin tertawa. "terlalu banyak. bertemu dan menyepakati sebuah perjanjian gila dengan seorang senior bernama han jisung, menghukum komplotan hwang hyunjin, bahkan nekat pergi ke sungai han di malam hari. kalau kau berada disini, mungkin kau sudah memukulku bertubi-tubi."

tak terasa, kedua matanya memerah. jeongin segera menyekat air mata yang berjatuhan.

"kumohon... kembalilah, hyung. aku berjanji akan menjadi adik yang baik untukmu. ayo kita buat para pendosa itu menyesali perbuatan mereka."

kini ia semakin terisak.

untuk kali pertama, remaja itu menangis di hadapan sang kakak. mengesampingkan topeng kuatnya yang selama ini terus ia gunakan. mungkin, ia sudah tidak sanggup membendungnya lagi.

dan di antara tangisnya, seakan-akan terdengar oleh semesta, mulut jeongin terbuka lebar ketika sebuah remasan kencang menguasai lengan kirinya. karena yang terjadi adalah,

"—astaga, hyung!"

ya, kim seungmin membuka matanya.












author's note:
halo, apakabar semuanya? semoga baik-baik aja,
ya. tetap jaga kesehatan & hati-hati ♥️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro